Dalam sekejap ia kembali dengan sebuah teleskop bintang melingkar di lengannya. Ia memasang dudukan teleskopnya lalu menyetel kiri dan kanan. “Ini silakan.” Ia mempersilahkanku melihat teleskopnya. Sebuah bintang kecil—tidak, bintang itu besar—terlihat dengan teleskop. “ini—” “Sagitarius,” potongnya. “atau mungkin lebih tepatnya, bagian atas sagitarius. Yah meski sebenarnya tidak ada atas dan bawah di luar angkasa. Jadi yang kau lihat lebih jauh itu Milky Way” “luar biasa…” Gumamku sambil terus memperhatikan bintang itu. “kosmik, angkasa, luas, cthulhu, gelap, seram… Sepertinya aku akan mencoba menulis horor kosmik seperti Lovecraft.” “Tidak, tidak, tolong jangan menulis sesuatu yang seram tentang langit. Langit itu indah. Tidak ada hal yang menyeramkan di luar sana. Mungkin.”
Aku melepaskan diri dari teleskop dan kembali menengadah ke langit. “kau benar, langit itu indah dan memiliki kisah-kisah indah di dalamnya. Starry Night karya Vincent Van Gogh, kisah Kaguya-hime, Tsuki no Usagi, Milky Way, Bimasakti, cincin Saturnus, lagu Twinkle Twinkle Little Star, Hoshi no Yo yang kau nyanyikan, kau benar, langit begitu indah.” Ribuan ide memasuki otakku. Aneh sekali, padahal setiap malam aku melihat langit tapi baru kali ini langit memberiku inspirasi. Tidak, aku salah, bukan langit, melainkan Yamamoto-san lah yang memberiku tahuku semua ini.
“Aku berhutang rasa terima kasih, Yamamoto-san.” Ia tersenyum dan menggeleng. “Kau boleh memanggilku dengan nama depanku kalau kau mau.” Aku pamit pulang dan langsung terjun ke dalam kertasku. Namun tak sampai lima menit, aku tertidur pulas.
Paginya seluruh tubuh serasa tertimpa seekor kerbau. Mataku lebih gelap dari milik panda dan seperti ada dua batu yang bergelantungan di kelopak mataku. “Takechi, oi, Takechi!” Aku memaksa mataku terbuka. Tepat di depan mataku Shoto dan Kimura mencoba membangunkanku dengan mengguncang bahuku. “Kantin, kuy!” “Tidak biasanya kau tidur di kelas. Sebaiknya kita ke kantin dan mencari sebotol kopi untukmu.” “Terdengar bagus.” Mataku terbelalak mendengar Shoto menyebut kopi. Akan jadi masalah jika aku terus tertidur hingga jam pelajaran dimulai. Aku bangkit meski dengan kabut di kepalaku.
“Oi, Kagima, kantin, kuy!” Kimura mencoba membangunkan Kagima. Namun raja tidur itu hampir tidak berkutik. Kagima menaikkan jempolnya. “Yosh, aku akan melakukan apa pun demi temanku! Mari kita cari dua kaleng kopi hingga kau akan merasa seperti baru bangun di langit! Shoto, beri tumpangan!” “Aku tidak mendengar ada ‘kita’ di awal kalimatmu. Dan analogimu aneh,” keluh Shoto meski ia tetap membantu Kimura memanggul Kagima. Andai masih ada tempat, aku ingin dibawa dengan cara seperti itu dalam keadaan tidur juga.
Tepat saat di pintu, seseorang bertabrakan dengan Kimura. “Oi, kalau jalan gunakan matamu, Kimura!” ucapnya kesal. “Haah? Kau yang pertama menabrakku, Sakurai!”
Beberapa orang perempuan kemudian muncul meleraikan mereka. Lalu memegang lengan Sakurai yang masih mengoceh dengan Kimura. “Baiklah, cukup sampai di situ Sakurai, maaf untuk gangguannya Kimura.”
Sesuatu yang cepat melesat tiba-tiba melewatiku saat di pintu kelas. Terlambat sedikit saja, mungkin dalam waktu kurang dari satu menit ada yang dua tabrakan di tempat yang sama. Orang itu berbalik menatapku. “Oh, Takechi!” Aku balas menyapanya. “Oh, Yamamoto-san.” “Kau tampaknya masih kurang tidur. Untuk yang tadi malam, terima kasih.” Ia berlari tanpa memedulikanku. Aku berteriak. “Tidak perlu dipikirkan, harusnya aku yang berterima kasih. Dan juga, jangan berlari di lorong!”
Aku lanjut berjalan, kedua teman di depanku menyipitkan mata mereka kepadaku. Keduanya saling menatap kemudian mengangguk seirama. Mereka meletakkan Kagima di lantai. Dengan cepat, tanganku genggam. Sesaat kemudian punggungku sudah rapat ke tembok dengan kedua tanganku ditahan oleh kuda temanku.
Kagima tiba-tiba telah kembali segar ikut bergabung bersama mereka. “Apa maksud semua ini, tuan Ta. Ke. Chi? “Tunggu, aku yang tidak mengerti. Dan sebenarnya, kau sudah bangun sejak tadi?!” “Jangan membelokkan pembicaraan, apa arti ‘tadi malam’ tadi?” tanyanya “Mencurigakan,” ucap Shoto. “Padahal, kukira aku bisa mempercayaimu seperti saudaraku sendiri, sungguh kejam kau Takechi, ah, rasanya aku mau mati.” Kimura memulai akting bodohnya. Aku menghela. “Aku mengerti, aku mengerti. Akan kuceritakan.” Aku menuruti keinginan mereka, menceritakan secara garis besar apa yang terjadi.
Tiba-tiba ponselku berdering, sebuah pesan masuk. Pesan itu berbunyi: “Kalau kau mau, mampirlah sekali lagi. Aku menantikannya!” dari Yamamoto-san. “Sus…” tuduh mereka bertiga. Tolong jangan mulai, kataku.
Entah kenapa, aku benar-benar kembali malam itu tapi dengan membawa buku catatanku, mempersiapkan segala kemungkinan jika ide itu kabur dari kepalaku. Sekali lagi kami menghabiskan malam bersama di bawah langit, bercerita hal-hal acak yang menyenangkan. Begitu pun malam selanjutnya dan terus berlanjut. Tidak hanya di atap sekolah. Kami pergi ke mana pun selama masih ada atap gelap di atas kami. Kami jadi semakin sering duduk bersama, kian dekat, ikatan kami juga semakin kuat. Sampai suatu waktu aku memutuskan pergi ke luar kota untuk melanjutkan pendidikanku.
Aku mencoba mengajaknya tapi memilih tetap tinggal di desa. Ia menghargai keputusanku dengan tidak menghalangiku. Meski begitu, rasanya cukup menyedihkan.
“Kita tidak benar-benar berpisah, masih ada langit yang sama menaungi kita.” Dengan ucapan seperti itu kami berpisah selama kurang lebih tujuh tahun lamanya. Hanya saling terhubung lewat telepon seluler. Tapi kini aku kembali, berada di atas tanah yang sama dan di bawah langit yang benar-benar sama. “Namida ga koborenai youni.” Sial! Aku masih belum mengetahui arah suaranya. Akan keren kalau suara itu berasal dari langit. Tapi itu mustahil! Itu hanya ada dalam cerita fiksi! Aku telah bersumpah, tidak akan pulang sebelum menemukan suara itu. Aku masuk ke taman, melihat sekeliling.
Di bawah sebuah pohon, seorang gadis, dalam kegelapan bayangan menatap ke arah luasnya langit, duduk membelakangiku sendirian di ayunan yang terikat pada dahan pohon tersebut. Di lihat dari lebar bahunya nampaknya ia seumuran denganku. Tidak salah lagi, dia hantu yang bernyanyi sejak tadi!
“Nakinagara aruku. Hitoribocchi no yoru.” Aku bersiul, mengikuti nada lagu yang dinyanyikannya. Ia agak tersentak tapi tetap mengacuhkan siulanku. Aku terbatuk, kemudian menyambung lagunya. “omoidasu aki no hi. Hitoribocchi no yoru.”
Gadis itu berdiri dengan tergesa-gesa. Ia perlahan keluar dari bayangan pohon. Air mukanya seperti baru saja bertemu penulis favoritnya di supermarket. Tapi, ia tetap seperti dulu. Mulutnya bergetar, ia berjalan semakin cepat ke arahku. “T—t—takechi?” “Selamat malam, Hoshi—Ugh.” Ia menabrakku hingga telentang di tanah. Kedua kakinya mengunci tubuhku, kepalaku dijitak dengan keras. Aku merintih kesakitan. “Adudududuh. Oi, itu sakit, tahu!” Kuncinya semakin kuat. “Ah? Begitu? Sekarang jelaskan alasanmu mengagetkan orang di taman malam-malam begini!” Ia semakin semangat menjitak. “Inikah sambutan yang pantas untukku? Pertama keluargaku yang menghantamku, sekarang kau. Lagi pula salahmu sendiri kenapa melamun di sana!” bantahku. “Kau memang pantas mendapatkannya! Kenapa kau masih menyimpan kemampuan menyelinapmu!”
Hoshino berhenti menjitakku, kuncinya melemah. Kedua lengannya memutari kepalaku. Ia menghela nafas di atasku. “ini kau! Benar-benar kau! Kalau ingin datang setidaknya kirim pesan.” ucapnya lirih “aku hampir mengira kau mati di sana dan yang berdiri tadi adalah hantu dirimu yang datang untuk mengucapkan selamat tinggal.” Aku tertawa. “Maaf soal itu, ngomong-ngomong, tolong lepaskan tangan dan kakimu. Rasanya seperti kau akan memisahkan kepala dan tubuhku.” “Tidak mau,” ucapnya serius. “kalau kulepas, prajurit bulan akan datang lalu membawamu pergi selamanya dan melupakanku di bumi.” Aku kembali tertawa. “Kau tahu kalau Kaguya itu perempuan, ‘kan? Bicara soal itu, apakah sang ratu meminum ramuan keabadian yang diberikan oleh pangeran Kaguya? Karena aku terkejut kau masih muda. Kukira kau sudah menjadi nenek-nenek selama aku pergi—adu uduh, baiklah! Aku minta maaf!” ia menjitakku lebih keras.
“Buku yang terakhir kau kirimkan itu jeleknya tidak main-main. Aku tidak suka kau seenaknya memakai namaku untuk tokohmu tapi ia tidak berakhir bersama sang kekasihnya. Aku tidak suka itu,” keluhnya. “Kesampingkan hal itu, apakah kau masih sering menatap langit malam?” tanyaku. “Sudah kubilang ‘kan? Aku terikat dengan langit dan malam. Maka selama kau melihat langit, maka aku akan ada di sisi lain menatap langit malam yang sama. Tapi akhir-akhir ini rasa sepi menumpuk sampai aku merasa sedih ketika menatap ke atas.”
Kami berdua menengadah ke langit, menatap bulan. Bulan pun yang menatap dua sejoli yang seperti dimabuk asmara. “Bulan… tampak sangat indah malam ini ‘kan?” “Kau tahu, salah satu sastrawan jepang, Natsume Soseki mengartikan kalimat ‘aku mencintaimu’ menjadi “bulan sangat indah malam ini’.” “Aku tahu. Memang itu maksudku.” Hoshino melepas lilitan tangannya. “Memang benar, bulan tampak sangat indah malam ini. Tapi ketika aku menghadap ke atas, aku melihat bintang ribuan kali lebih indah dari bulan.” Wajahnya memerah dalam balutan sinar bulan, ia mencubit kedua pipiku.
—
Aku mengutip satu kalimat dari film lama yang kutonton, yang bahkan aku sudah lupa judulnya: “Setidaknya, cinta itu datang bukan karena kebetulan. Aku percaya datangnya karena kemauan.”
Cerpen Karangan: Muh Khairan Katsira Blog / Facebook: Muh Khairan Katsira Sebagai tambahan: Bahasa Jepang Bintang adalah Hoshi. Jadi bintang yang Takechi maksud di akhir adalah Hoshino dan bukan bintang secara harfiah. Lagu yang Takechi dengar di sekolah adalah Hoshi no Yo. Lagu yang Hoshino nyanyikan sebelum bertemu Takechi lagi adalah Ue no Muite Arukou yang dinyanyikan Kyu Sakamoto. Kalimat Soseki yang dimaksud sebenarnya berbunyi “Tsuki ga Kirei desu ne.”