Perjalanan Surabaya-Malang terasa singkat sekali ketika di sebelahku duduk seorang gadis cantik. Dia menjadi teman perjalanan yang asyik bagiku sejak bus patas yang kutumpangi berangkat dari terminal Arjosari Malang.
“Boleh duduk di sini, Mas?” katanya ketika ia baru naik bus ini. “Silahkan,” kataku agak tertegun karena sebenarnya masih banyak bangku yang kosong. “Mau ke mana?” tanyaku berbasa-basi. “Ke Surabaya kan bus ini?” jawabnya retoris. “Ya. Tapi barangkali mau transit saja di Bungurasih.” “Ah, bener Mas. Aku mau ke Jogja.” “Wah kebetulan nih, aku juga mau ke Solo.” “Kamu wong Solo?” “Bukan. Aku wong edan, eh, maaf Medan, maksudku” “Hihihi.” Kami tertawa lirih. Bus terus melaju membelah malam. Sesekali terdengar klakson telolet bus ini mengusik keasyikan kami berbincang.
“Bener dari Medan?” “Nggak kok. Aku asli Arema.” “Oh… Singo Edan?” “Enggaklah, mungkin nanti aku edan sama kamu.” “Nggak mau ah, ikut-ikut edan.” “Please keep talking ya. Aku mabuk kalau naik bus nggak ada yang ngajak ngobrol,” katanya ketika aku sesaat terdiam. “Oh… gitu…”
“Ngapain ke Jogja?” “Pulang ambil jatah biaya hidup.” “Kamu?” “Kuliah.” “Oh, jadi kamu kuliah kan di Malang?” “Ya” “Aneh ya. Aku yang orang Jogja ingin kuliah di Malang dan kamu yang orang Malang kuliah di Jogja.” “Ya, biar ganti suasana aja.”
“Kalau aku sejak SMP emang ingin sekolah di Malang.” “Kenapa?” “Malang udaranya sejuk, enak di badan. Kalo kotaku panas.” “Tapi sekarang Malang juga jadi kota yang puanas.” “Oh ya? Kenapa? Pemanasan global?” “Enggak. Karena Matahari buka cabang di Malang.” “Hahaha, bisa aja kamu ini. Itu kan departement store alias plaza.”
Satu jam setengah perjalanan Malang-Surabaya terasa sebentar. Mungkin karena ada gadis cantik di sebelahku. “Langsung transit apa istirahat dulu?” tanyaku ketika sudah sampai di Terminal Bus Bungurasih. Aku berjalan berdampingan seperti sepasang kekasih. “Istirahat dulu saja. Kamu terburu-buru?” “Ah, tidaklah. Aku biasanya cangkruk dulu di sini.” “Hmm… Sip.”
Aku menuju peron terminal itu. Beberapa kernet bus, makelar bus, menawari kami untuk naik busnya. Secara refleks kugandeng tangannya supaya tidak diganggu para kernet-kernet itu. Dia menurut saja ketika kuraih tangannya.
Bus ekonomi adalah pilihan favorit para mahasiswa seperti aku karena karcisnya lebih murah. Bus patas agak mahal dan tidak cocok dengan kantongku. “Naik patas lagi?” “Enggaklah, pengiritan.” “Lha tadi kok naik patas?” “Kondekturnya tadi saudaraku. Aku enggak bayar. Gratis.” “Oh…”
Setengah jam cukup untuk istirahat. Kami asyik mengobrol apa saja. Yang jelas waktu tak akan cukup jika terus ngobrol. Malam terus beranjak. Pelan tak terasa tapi pasti. “Ayo berangkat?” “Oke.”
Akhirnya aku dan dia menumpang bus Mira jurusan Jogja. Bus yang terkenal “banter” itu adalah bus yang biasa aku tumpangi bila kembali ke Jogja. “Pernah naik bus ini?” tanyaku ketika kami sudah memilih bangku sebelah kanan. “Pernah sekali,” jawabnya sambil duduk, “Ini bangku untuk tiga orang Mas?” katanya kemudian. “Enggak apa-apa. Kalo bukan malam minggu biasanya busnya enggak full.” “Oh, gitu.” “Dingin AC-nya.” “Kalo panas itu heater kan?” “Hihihi,” sederet giginya yang rapi tersungging di senyumnya yang so sweat.
Bus keluar dari terminal Bungurasih dan melaju kencang ke barat. Guncangan-guncangan yang cukup keras sesekali terasa karena jalan yang banyak berlubang. Aku terus mengajaknya berbicara apa saja supaya dia tidak mabuk. Tapi aku pun sudah siap plastik kresek jika dia mabuk. Di Bungurasih diam-diam aku beli kresek itu ketika aku pamit ke toilet.
“Sampai mana ini?” “Sebentar lagi Madiun. Mungkin nanti busnya berhenti sebentar di terminal. Mau kubelikan sesuatu?” “Terima kasih. Nggak usah. Cukup ini saja,” katanya sambil menunjukkan sebotol air mineralnya. “Banter sekali ya. Baru tiga jam sudah Madiun.” “Ya. Mungkin sampai Jogja belum subuh.” “Eh, by the way Jogja mana?” “Wates, Kulon Progo.” “Waduh, masih oper bus lagi kan?” “Ya. By the way kamu kuliah di mana sih?” “Emangnya kenapa?” “Kayaknya kamu paham Jogja deh…” “UGM.” “Gitu bilang ke Solo.” “Masak aku bilang gitu?” “Iya, waktu di Arjosari. Waduh kok udah pikun?” “Itu tandanya aku mau jadi profesor.” “Hahaha.”
“Aku ngantuk.” “Tidur aja,” kataku sambil menyelimutkan jaketku. Kulihat ia kedinginan dan tak pakai jaket. Ia salah tingkah. Antara menolak dan menerima jaketku. “Kamu?” katanya sambil menatapku. “Enggak apa-apa. Aku biasa kedinginan.”
Sebentar kemudian tampak matanya terpejam. Cantik sekali dia ternyata. Dia bersedekap. Laju bus semakin kencang. Ketika memasuki terminal Madiun bus istirahat kira-kira setengah jam. Aku berinsut pelan-pelan turun untuk ngopi. Kubiarkan dia tidur dalam damai. Mungkin ia merasa bus masih berjalan karena mesin bus tak dimatikan meskipun bus sedang parkir.
Bus meninggalkan terminal Madiun setelah kernet memeriksa keutuhan jumlah penumpangnya. Aku kembali ke tempat duduk semula dan kulihat dia masih pulas. Ah, aku lupa belum nanya siapa namanya. Ingin aku ambil fotonya waktu ia tidur tapi aku takut ia tersinggung.
“Solo, Solo… Solo, siap-siap….” terdengar teriakan kernet bus. Kulihat ia terbangun sambil mengucek-ucek matanya. “Sampai Solo Mas?” tanyanya kepadaku. “Ya, mau masuk terminal Tirtonadi,” jawabku santai. Kulihat ia melihat jam tangannya. “Masih terlalu pagi ini,” katanya. “Tenang saja, akan kutemani kamu. Kalau boleh aku temani sampai rumah,” jawabku. “Wuih…, mau ngantar aku?” tanyanya dengan mimik lucu. “Emangnya gak boleh? Takut dibilang adikmu embak pulang bawa pacar?” kataku menggodanya. Dia melotot kepada sambil mencubit lenganku. Tapi pipinya memerah. Aku yakin ia tersipu dan aku sangat yakin ia masih single, alias jomblo. “Aduh, aduh, ampun, ampun,” kataku merengek seperti anak kecil. Ia melepaskan cubitannya.
“Jogja, Jogja, Jogja akhir,” terdengar kondektur bus dan kernet bersahutan memberi peringatan bahwa bus sebentar lagi masuk terminal bus Jogjakarta. Kulirik jam tangannya. Waktu menunjukkan pukul 03.40. masih terlalu pagi. “Gimana, berani pulang sendiri?” tanyaku ketika bus sudah berhenti dan semua penumpang bersiap keluar dari bus. “Katanya mau nganter aku?” jawabnya manja. Aku bersorak dalam hati. “Dengan senang hati nona…” jawabku sambil mempersilahkan dia jalan duluan. Tiba-tiba ia menahanku. Ia meraih tanganku, “Aku Inas. Kamu?” “Aku Sani,” jawabku sambil mengajaknya tetap berjalan ke luar bus. “Kita istirahat lagi?” tanyanya. “Aku biasanya salat subuh dulu di mushala terminal ini. Sebentar lagi sudah subuh. Mau salat dulu?” jawabku. “Aku nggak bawa mukena,” katanya. “Gampang. Di mushala pasti ada. Oke?” Dia hanya mengangguk lalu mengikutiku berjalan ke mushala.
Setelah salat subuh perjalanan dilanjutkan dengan ganti bus mini jurusan Wates. “Ayo duduk di kursi depan,” ajakku. “Kenapa?” tanyanya. “Biar aku hapal jalan ke rumahmu,” jawabku santai. Dia cuma tersenyum. Meski belum mandi, ia tampak cantik. Diam-diam aku ingin memilikinya. Kurasa aku jatuh cinta. Tak pernah aku begitu perhatian pada seorang cewek.
Sejak bus berangkat ia lebih banyak diam. Mungkin masih mengantuk. Mungkin juga melamun atau memikirkan sesuatu. “Masih jauh?” tanyaku. “Bentar lagi,” jawabnya sambil melirik jam tangannya. Dan benar, sebentar kemudian ia berdiri bangkit dari duduknya sambil mengajakku mendekat ke pintu bus. “Rumah pagar putih itu Mas,” katanya pada kernet bus. “Depan, pagar putih kiri,” teriak kernet memberi aba-aba kepada sopirnya.
Kami turun di depan rumah berpagar putih. Halamannya luas sehingga jarak antara pintu pagar dengan teras rumah cukup jauh. “Mas, tolong nanti kalau ditanya papaku kamu bilang kamu…” “Teman kuliahmu,” potongku. “Bukan,” katanya. “Lalu?” “Pacarku,” katanya sambil mendekatkan bibirnya ke telingaku. Mak deg. Jantungku serasa berhenti. Hatiku diam-diam bersorak bahagia. Terasa seperti sedang mimpi saja.
Tiba-tiba pintu pagar terbuka dan nongol seorang pria paruh baya. “Monggo Den,” sapanya pada Inas. Aku bertanya-tanya dalam hati mungkinkah ia kerabat darah biru keraton Jogja? Aku berjalan memasuki halaman yang luas. Jalan ke rumah yang bergaya joglo itu kira-kira seratus meter.
“Tolong antar Mas ke paviliun,” katanya kepada pria itu. Aku yakin pria itu pembantu empunya rumah ini. “Waduh, ini keluarga “ayak,” kataku dalam hati. Aku menurut saja ketika pria itu membukakan pintu paviliun, kamar yang terpisah dari rumah utama keluarga itu. “Silahkan istirahat dulu Den,” katanya kepadaku. “Nama saya Soni, jangan panggil saya Den”, jawabku sambil tersenyum. “Nanti kalau sudah jadi suami den ayu Inas, juga akan dipanggil raden…” katanya lagi. Aku terkejut tapi berhasil kututupi. Ternyata benar ini keluarga ningrat. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi pada keluarga ini, terutama Inas. Aku penasaran. Namun, aku sudah sangat mengantuk. Kurebahkan badanku di kasur yang empuk di kamar ini. Sejenak terpikir Inas. Saat ini mungkin ia sedang istirahat juga, mengingat semalaman tidurnya putus-putus. Pasti dia kariban. Aku tertidur entah berapa jam.
Pintu kamar diketuk sesorang sehingga aku terbangun. “Bangun, bangun, bangun,” kata Inas yang sudah berdiri di depan pintu yang terbuka karena tidak aku kunci. Sebentar kemudian, pembantunya datang membawakan handuk bersih untukku. “Mandi dulu Mas, trus sarapan,” kata Inas lalu meninggalkan aku. Pintu ditutupnya.
Setelah bersih dan rapi, pagi itu sekitar pukul 09.00 aku diperkenalkan Inas ke keluarganya melalui makan pagi di ruang keluarga yang menurutku luas dan lux. Aku merasa kikuk karena ini terjadi tak terduga dan tak terencana. Mereka keluarga yang hangat dan ramah.
“Kuliah di UGM ambil jurusan apa?” tanya mamanya Inas. “FE, manajemen Bu,” jawabku. “Kok tidak ambil di UB saja?” tanya papanya Inas. “Ya, biar ganti suasana. Ingin tahu rasanya jadi anak kos,” jawabku. “Oh,” kata mamanya Inas.
“Mohon maaf hari ini saya ada kuliah, setelah ini saya mohon pamit,” kataku. “Oh, iya, biar diantar Inas nanti,” kata ibunya. “Ndak usah bu, saya naik bus saja, biar istirahat dia,” kataku sambil menoleh ke Inas yang duduk di sebelahku. Di bawah meja kakiku diinjak Inas. Aku tak tahu maksudnya.
—
“Ini sandiwara kan?” “Maksudmu?” “Kau menyuruhku jadi pacarmu di depan orangtuamu. Dan itu sudah kuperankan dengan baik.” “Maaf sebelumnya. Aku dijodohkan. Kalau hari itu aku tak bawa pulang pacar, maka aku harus terima perjodohan itu.” “Begitu ya papamu?” “Bukan orangtuaku. Kalo orangtuaku moderat, tak memaksakan jodoh anaknya meski papa dari keluarga …” “Darah biru,” sahutku. Inas terdiam.
“Lalu?” “Keluarga lain yang menghendaki aku jadi menantunya.” “So, what’s next?” kataku. “Do you want to end this stage?” jawabnya. Kutatap matanya lekat-lekat. Dia menunduk. Aku kesal tapi aku kasihan.
“May I love you?” jawabku. “Of course, I hope so,” jawabnya sambil tersenyum. “I love you too,” katanya.
Aku bahagia sekali. Jodoh memang Tuhan yang tentukan tanpa kutahu bagaimana jalannya. Kurasakan pertemuan yang tak terduga. Kurasakan cinta yang begitu cepat. Setahun kemudian aku dan Inas lulus kuliah dan memutuskan menikah dan hidup berbahagia di Malang.
Cerpen Karangan: Suwarsono Blog / Facebook: Suwarsono S