Pukul 15.00 sore aku menelusuri sebuah lorong kecil. Kesepian di lorong itu membuat aku tercekam. Dalam benakku, aku selalu berharap agar bisa berjumpa dengan Sovia, kekasihku. Aku terus melangkah, dari jauh aku melihat gadis bertubuh kecil sedang asyik-asyiknya bernyanyi sembari menelusuri lorong sunyi itu. Aku berusaha mendekat. Aroma kebahagiaan mulai tampak. Tiba-tiba, gadis itu berdiri tegak tanpa mengucap sepatah kata. Di wajahnya, aku melihat sinar senyuman seperti panorama di tepian. Memang benar, dia adalah Sovia. Aku sempat tidak percaya. Baru kali itu isi pikiranku benar.
Aku dan Sovia bercengkrama. Berbagi cerita tentang kangen yang menjerat di hati. Namun, sore itu sepertinya waktu tak berpihak pada aku dan Sovia. Secepat kilat senja meninggalkan aku dan Sovia di lorong itu. Penyesalan terbesarku bukan karena tidak sempat mencium keningnya atau pun membasuh pipihnya. Tetapi, pertemuan itu membuat aku kesusahan mengatur waktu kapan bisa bertemu lagi.
Malam semakin larut, aku tak kunjung bisa memejamkan mata. Entah apa yang aku pikirkan, aku sendiri tidak tahu. Sementara Sovia, setelah berpamitan untuk tidur lebih dulu melalui pesan singkat, aku tahu dia sudah tidur lelap. Aku bayangkan tidurnya sangat nyenyak. Aku senang jika setiap malam dia tidur dengan tenang. Dengan itu, setidaknya tidak ada yang membuat aku gelisah.
Keesokkan harinya, selepas latihan drama di kampus, aku melihat Sovia diantar sama teman sekelasnya. Itu kerap kali terjadi. Setiap sore setelah selesai kuliah pun masih sempat-sempatnya dia diantar sama temannya. Aku yakin, dia sangat mengharapkan agar aku marah melihat dia diantar sama laki-laki lain yang bukan aku. Jika tidak, pasti dia juga mengharapkan aku menegurnya. Memang benar, sikapku berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya. Sering sekali aku melihat dia berpura-pura mesra dengan temannya seketika berada di atas motor. Karena Sovia sangat yakin, saat ia berduaan di atas motor aku melihat kemesraan mereka. Namun, yang terjadi tidak sesuai dengan harapan dan diluar dugaan Sovia. Bagaimana tidak? Aku berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada temannya karena telah mengantar Sovia.
Suatu hari, waktu Sovia keluar dari ruang kuliah, dia dengan beraninya menarik tanganku. Sovia memarahiku karena bersikap biasa-biasa saja terhadap teman kelasnya yang sering mengantar Sovia. “Aku heran dengan sikapmu, Kak. Kamu tidak pernah cemburu lagi dengan semua laki-laki yang dekat denganku. Kenapa, Kak?” Sovia menggenggam tanganku dengan erat. “Pulanglah! Aku mau kuliah. Lagipula pertanyaanmu tidak perlu kujawab”. Tidak ada pertanyaan lain, kah? Jawabku dengan sedikit cuek.
Pertanyaan seperti itu sering diucapkan oleh Sovia seketika bertemu di kampus. Sebagai seorang perempuan yang setia, pantaslah jika ia selalu bertanya soal perilakuku. Soal perubahan yang terjadi pada diriku akhir-akhir ini. Tapi aku sendiri sangat malas untuk menjawab pertanyaan konyol dari Sovia.
Memang benar, setelah mendengar curahan hati Sovia semenjak pertama kali bertemu bahwa mantan pacarnya sangat setia. Jadi, Sovia dilarang dekat sama laki-laki lain selain mantan kekasihnya. Hal ini membuat aku tertegun. Apa mungkin Sovia menginginkan hal yang sama dari aku? Tapi sejujurnya aku tidak suka jika aku harus berubah hanya karena ingin membuat Sovia merasa dicintai. Di sisi lain aku juga berpikir bahwa apa mungkin Sovia bisa tidur nenyak kalau aku belum bisa menjawab pertanyaannya.
Di kantin dekat kampus, dibalik strali jendela aku melihat Sovia sedang asyik menikmati kopi hitam. Dengan warna merah maron pada bibirnya, membuat kegairahan dalam hatiku membuncah. Ingin sekali merasakan seperti apa manis bibirnya seketika dicium sedetik saja? Ahhh, aku kembali berhalusinasi. Tadinya aku cengar-cengir senyum sendiri karena terhanyut dalam lamunan akan indahnya bibir Sovia. Gema suara tawa dari anak-anak Teknik Sipil menyadarkan aku dari halusinasi itu.
Aku berjalan menuju Sovia. Sedetik saja aku duduk, Sovia kembali mendesak jawaban dariku. Sinar matahari yang baru nampak ikutan mengintip dibalik jendela kaca. Sinaran matahari itu membuat aku berpikir bahwa apakah aku harus memberi kejujuran kepada Sovia soal sikapku. Tak lama kemudian, setelah aku berpikir, aku mengambil tangan Sovia dan menggenggam penuh kelembutan sebagai jawaban atas pertanyaannya itu. Walaupun baru pertama kalinya aku memegang tangan Sovia di depan banyak orang, namun setidaknya membuat dia sedikit merasa bahwa dirinya berperan penting dalam kehidupanku. Tetapi, genggaman itu tidak membuat hatinya luluh. Dia melepaskan tanganku dan kembali bertanya. “Mengapa kamu tidak pernah cemburu?” Pertanyaannya sangat singkat. “Cemburu itu apa sih artinya buat kamu? Jika aku tidak cemburu, apakah kemu mengartikannya bahwa aku tidak mencintaimu?” Aku kembali bertanya pada Sovia. Pertanyaanku itu membuat Sovia sedikit kesal. Perlahan Sovia menghela napas. Aku tahu ia kebingungan mencari jawaban.
Getaran HP yang ada di saku tasnya terdengar jelas. Angin dengan kencangnya menggoyangkan tirai jendela serta rimbunan daun daun Mahoni. Bukan hanya itu, dahi Sovia mulai mengerut membentuk garis-garis menunjukkan dia marah. “Sovia, cemburumu kurang tepat. Kamu tahu, cemburu yang kurang tepat seperti itu akan menghancurkan fondasi yang kita bangun selama ini. Lalu, kepada siapa aku harus cemburu, jika ada keyakinan dan pengakuan dari dalam dirimu bahwa akulah pemilik jiwa dan ragamu?” Ujarku.
Mendengar perkataanku, Sovia hanya terdiam. Aku tahu alasan mengapa Sovia selalu bertanya soal itu. Sovia menanyakan soal itu lantaran awal pacaran, aku selalu bersikap kasar pada Sovia jika berdekatan dengan laki-laki lain. Walaupun aku tahu bahwa sikapku itu membuat Sovia menjadi bahagia dan sedih. Bagaimana tidak, pantas jika ia bahagia, setidaknya sikapku membuat Sovia percaya bahwa aku memang benar mencintainya. Di sisi lain, sikapku itu membuat Sovia merasa sedih dan kecewa. Dia sering kali diabaikan oleh sahabat laki-lakinya.
Namun, perlahan semuanya berubah. Kecemburuan yang ada padaku tidak begitu nampak. Hal itu terjadi setelah aku berpikir bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan dari sebuah hubungan sekalipun itu kehilangan. Namun, Sovia tetap saja berpikir bahwa aku memiliki hubungan dengan perempuan lain selain dirinya. Tetapi, hal itu tidak begitu tampak dari wajah Sovia.
Pada suatu hari, aku menganjurkan kepada Sovia untuk tetap fokus dengan kuliahnya. Mulai saat itu, Sovia mulai sibuk dengan tugas kuliahnya. Jarang sekali ia kembali bertanya soal kecemburuan itu seketika bertemu denganku. Di samping kesibukan dengan tugas kuliah, jam istrahat aku kerap kali melihat ia menikmati kopi hitam di kantin. Tanpa diketahui Sovia, aku diam-diam memantau sekaligus menikmati indahnya bibir Sovia saat menyeduhkan kopi hitam. Setelah menghabiskan kopi itu, lagi-lagi aku melihat Sovia diantar sama laki-laki lain. Tetapi, hal itu tidak membuat aku cemburu. Aku malah senang karena masih ada laki-laki yang peduli padanya. Di satu sisi, aku juga kasihan pada Sovia karena tidak pernah diantar sama kekasihnya.
Kesibukanku waktu itu cukup banyak. Sebagai salah satu mahasiswa yang aktif di berbagai komunitas, pantaslah jika aku tidak memiliki waktu untuk mengantar Sovia pulang. Memang benar, aku akui bahwa aku jarang sekali menjemput dan mengantar Sovia. Tetapi, hal itu bukan berarti aku tidak mencintai Sovia.
Hari Minggu pukul 15.00 sore, aku bertamu di gubuk Sovia. Tanpa pikir panjang, di tokoh dekat kos Sovia tersedia kue kesukaannya. Aku membeli kue itu agar bisa membuat Sovia percaya bahwa aku masih peduli dengannya, peduli dengan makanan kesukaannya, dan peduli dengan segalanya tentang Sovia. Sore itu aku dan Sovia asyik berbagi cerita tentang perjalanan cinta yang kami jalani. Tetapi, diakhir cerita, Sovia kembali bertanya soal kecemburuan itu.
“Akhir-akhir ini, kamu berubah, Kak! Kamu tidak pernah cemburu lagi”. “Sovia, apa yang harus aku lakukan? Apakah aku mesti cemburu pada hal-hal kecil yang kamu lakukan? Lagipula, aku tidak perlu cemburu untuk menunjukan cintaku, Sovia! “Tidak, Kak! Kamu berubah. Dulu, kamu tidak seperti ini. Aku pikir kamu tidak peduli lagi denganku. Akhir-akhir ini, aku sering menghabiskan waktuku di kantin hanya ditemani segelas kopi hitam. Sedangkan kamu, tidak pernah sedikitpun meluangkan waktu untuk aku. Bukan hanya itu, kamu sering tidak peduli jika aku diantar sama laki-laki lain”.
“Dengarkan aku, Sovia! Kita ini mahasiswa. Kita mesti sadar, mana yang harus diprioritaskan mana yang tidak. Sovia, kamu tahu, aku mencintaimu dengan caraku. Yang pasti aku akan tetap menjadi mahasiswa sebelum menjadi kekasihmu”. Mendengar perkataanku itu, Sovia terdiam. Sambil menikmati kopi hitam, aku melihat di pelupuk mata Sovia terbendung air mata. Aku tahu Sovia ingin sekali jika aku cemburu pada semua orang yang mendekati Sovia sekalipun itu sahabatnya sendiri.
Keesokan harinya, aku bertemu Sovia di depan ruang kuliah. Kecantikan Sovia membuat aku terlena. Sepanjang pelajaran, wajah Sovia memengaruhi isi pikiranku. Melalui pesan singkat, aku mengajak Sovia untuk menikmati kopi di kantin bersama-sama. Tanpa pikur panjang, Sovia menerima ajakkan itu. Sesampai di kantin, aku melihat Sovia duduk termenung seorang diri. Aku mendekati Sovia.
“Hy. Sudah dari tadi?” “Iya, kak.” “Kamu tahu mengapa aku mengajakmu ke sini?” “Tidak, kak. Tidak sama sekali. Silahkan duduk!” Lanjut Sovia. “Terima kasih”.
Waktu itu, suasana di kantin tidak seperti biasanya. Sepih. Aku dan Sovia asyik menikmati kopi hitam yang telah disiapkan. Sementara itu, aku diam-diam memperhatikan wajah Sovia yang begitu memesona. Aku sangat terpikat dengan semua hal yang ada pada Sovia. Dia sangat cantik. Kecantikkan Sovia kembali membuat aku berhalusinasi. Aku merasakan saat itu aku sedang berada di sebuah istana para raja yang duduk di singgasana dan ditemani oleh ratu yang begitu cantik. Mata Sovia dengan lentiknya menatap gelas kopi hitam bagaikan mata sang bidadari yang menatap indahnya surga. Sungguh, sebelum mengenal Sovia aku tidak percaya kalau bidadari itu benar-benar ada.
Tanpa pikir panjang, aku mengambil tangan Sovia. Gemetar tangan Sovia sangat kencang. Perlahan, aku mulai mengucapkan kata-kata manis yang membuat Sovia tertegun. “Dengarkan aku, Sovia! Mungkin selama ini kamu berpikir aku tidak mencintaimu dengan tulus. Saat ini, aku ingin mengatakan satu hal kepadamu Sovia bahwa selama ini aku mencintaimu dengan caraku. Aku tidak peduli dengan apa tanggapanmu mengenai hal itu. Aku juga tidak merasa takut jika suatu saat kamu lebih memilih pergi meninggalkan aku. Aku yakin, waktu akan memberi kamu jawaban atas semua sikapku selama ini, ketidakcemburuanku pada laki-laki yang mendekatimu sekalipun itu sahabatmu. Karena bagiku, cemburu hanya untuk mereka yang tidak percaya diri. Jangan sampai jika aku cemburu dengan semua hal yang kamu lakukan, kamu malah berpikir aku tidak percaya denganmu. Bukan itu yang kita inginkan dari sebuah hubungan, Sovia. Aku memilih kamu karena aku percaya bahwa di dalam hati kamu tertulis dengan jelas namaku. Aku tahu itu. Memang benar, Sovia. Aku cemburu. Tapi cemburuku bukan pada laki-laki yang mendekatimu, bukan juga pada sikap kekanak-kanakanmu. Sovia, aku hanya cemburu pada gelas kopi hitam milikmu. Hanya itu”.
“Apa maksudmu, kak? Aku sama sekali tidak mengerti”. “Iya, Sovia. Aku cemburu pada gelas kopi hitam milikmu. Mungkin kamu berpikir gelas ini hanya sebuah benda tak bernyawa. Tapi, gelas ini sangat berpengaruh terhadap isi pikiranku, Sovia. Bagaimana tidak, setiap saat gelas ini dengan sombongnya mencium bibirmu setiap kali kamu menyeduhkan kopi hitam. Sedangkan aku, tidak pernah sedikitpun kamu memberiku ruang untuk bergerak menikmati manisnya bibirmu. Mungkin ini lucu, tapi itu yang aku rasakan selama ini, Sovia”.
Mendengar semua perkataanku, Sovia hanya tersenyum. Aku tidak bermaksud agar Sovia memberiku sedikit waktu agar bisa mencium bibirnya. Tapi, setidaknya membuat sovia percaya bahwa aku mencintainya. Karena memang benar, aku cemburu pada gelas yang dengan seenaknya saja mencium bibir Sovia setiap saat.
Cerpen Karangan: Oktavianus Nokar Blog / Facebook: Ovan Noakrno