Sudah tiga puluh menit kurang dua detik aku terduduk bersama arabikaku yang kian mendingin. Selain karena sentuhan air conditioner di kafe ini, mungkin juga karena waktu yang sudah seharusnya membuat dia berada di hadapanku saat ini. Bahkan, sudah telat dari pertama kali aku memintanya datang pukul 7 malam.
Ya, aku sedang menunggu seseorang.
Mengecek berkali-kali ponselku yang tidak menunjukkan reaksi apapun, hanya perubahan jarum jam yang semakin menembus angka 8. Aku juga tidak menghitung seberapa banyak aku bolak-balik membuka aplikasi pesan, dengan harapan ada salah satu pesan baru yang membuat aku tidak risau untuk menunggu lebih lama lagi.
Menunggu lebih lama lagi… Tidak, aku tidak bisa menunggu lagi. Tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Tidak bisa
Pandanganku hanya berpusat pada ponsel dan denting pada setiap kali pintu masuk kafe terbuka. Namun, hanya pupus yang aku dapatkan. Tidak ada pesan, dan bukan dia yang datang.
Sebenarnya kemana, sih, dia? Apakah dia lupa jika memiliki janji denganku? Lupa tentang hari ini? Tentang hari lahirnya ke bumi?
Sudah kali ke—ah entahlah, sudah kubilang, aku tidak bisa menghitung sudah kali ke berapa aku menghubunginya, meneleponnya, dan tetap tidak ada jawaban.
“Ck, kamu kemana, sih, Bil?” Aku mengusap gusar wajahku. Jantungku tidak berhenti untuk berdetak abnormal, terpacu dengan tidak konstan.
Karena tidak tahan, aku bergegas meninggalkan tempat ini untuk mencari dia yang semakin membuatku resah. Tapi, belum sempat langkah kakiku menapaki luar kafe, dia mucul dengan napas terengah, membungkuk untuk menormalkan deru napasnya. Perasaan lega sekaligus panik datang padaku secara bersamaan.
“Bil, kamu kenapa?”
Masih dengan sedikit terengah, dia menatapku dengan sorot mata penuh luka. Mata sayu itu selalu membuatku semakin larut dalam pesonanya. Dalam setiap pandangnya yang mengarah padaku. Membuat segala anomali tubuhku menjadi disfungsi. Seolah-olah terdistraksi dengan pancaran bola mata hitam legam miliknya. Dia Abil, gadis yang membuatku berpaling pandang dari bintang terindah di langit malam seluruh penjuru bumi.
Dia mengepalkan tangan kanan dan membawa pada paras dadanya lalu dibuatnya kepalan tangan itu suatu pusingan arah jarum jam.
Ya, dia Abil, gadis tunawicara yang kupandang sebagai seorang pembawa obrolan paling menarik sejagat raya. Setiap jengkal kata yang disusunnya menjadi kalimat, adalah suara yang paling ingin sering untuk kudengar setiap saat.
‘Maaf’, ujarnya, lalu menunduk lagi, seperti anak kecil yang ketahuan mengambil buah di kebun tetangga tanpa izin.
Melihat aku yang sudah berteman dengannya sejak duduk di bangku SMP, membuat aku sama sekali tidak kesulitan dalam membaca gerakan tangannya agar kami bisa saling bicara. Becerita tentang apapun tanpa batas, tuntas. Melihatnya menggerakkan tangannya mampu mengalahkan penampilan hebat Anna Pavlova yang menjabat sebagai balerina Rusia paling terkenal sedunia. Dengan kekurangannya yang tidak aku indahkan, Abil tetap paling menawan di mataku.
“Nggak apa, yang penting kamu baik-baik aja,” ucapku sambil memegang bahunya. Mengisyaratkan agar dia berhenti menunduk.
Lalu senyum itu terbit setelahnya, disusul dengan cengiran manis yang menampakkan gigi gingsul gadis itu.
Kemudian dia menarik tanganku untuk masuk kembali ke dalam kafe. Kami duduk di tempat yang sama aku duduki tadi. Aku memesan arabika lagi dan memesankan Abil jus manga kesukaannya. Kami tidak memesan makanan karena Abil menolak dengan alasan sudah kenyang.
Kini, lagi-lagi dia menatapku dengan raut wajah sedih. “Hei, kamu kenapa, sih? Ada masalah?” Bibirnya mengerucut. Menambah intensitas kemanisan yang ada pada wajah lugunya.
Dia menghadapkan kedua telapak tangannya ke atas lalu menunjuk dirinya dan beralih pada wajahnya. ‘Apa aku jelek?’ tanyanya, lalu menggembungkan pipi. Aku melebarkan mata, siapa yang berani-beraninya bilang gadis ini jelek? Sini, mari berhadapan denganku!
“Kata siapa?” aku berbicara juga sambil menggerakkan tangan sesuai pembicaraan. Pasalnya, pendengaran Abil juga sedikit terganggu. Kemudian Abil menggebu-gebu bercerita. Bermacam ekspresi dia tunjukkan, terkecuali ekspresi wajah gembira. Bahkan, jus mangga yang menjadi kesukaannya tidak ia sentuh sama sekali. Begitu juga arabikaku yang sepertinya akan mendingin untuk kedua kalinya.
‘Ibu yang bilang. Ibu bilang aku jelek, terus nggak bisa ngomong dan sedikit tuli. Aku sedih mendengar ibu bicara begitu, walau tidak sepenuhnya aku mendengar secara jelas, tapi aku yakin, pada saat Ibu mengatakan itu, tatapan yang Ibuku berikan menyampaikan semuanya, menyampaikan jika Ibu tidak suka dengan kehadiranku,’ katanya. Gerakan tangannya cepat sekali, sampai-sampai aku hampir kelewatan satu kata yang dia sampaikan. Aku menghela napas. Selalu saja ibunya.
Ibu Abil memang memiliki emosi yang selalu terpatri pada Abil. Abil sering cerita jika ibunya selalu marah-marah jika ia punya—atau sama sekali tidak punya salah. Yang ibunya minta, pasti selalu Abil turuti. Namun, di mata ibunya, Abil selalu salah. Hanya Ayah yang selalu membela, selalu memberi peluk kala sedih mendera jiwa dan raganya, kata Abil.
Lalu Abil lanjut bercerita. ‘Tadi juga Ibu bilang, kalau nggak ada yang mau sama aku. Nggak akan ada yang sayang dan aku nggak bakalan dapat cinta dari seseorang. Aku sedih. Walau itu bukan pertama kali Ibu memarahiku, tapi itu adalah kali pertama Ibu berbicara seperti itu’, Abil berhenti cerita dengan desahan napas panjang yang menguar setelahnya. Dia menunduk, memainkan kukunya.
‘Habis itu aku nangis dan mengurung diri di kamar, lalu sepertinya aku tertidur karena terlalu lelah menangis, dan mungkin ponselku habis daya, jadi tidak sempat menghubungimu, maaf’, lanjutnya dengan raut wajah menyesal. Aku yang mendengar ceritanya barusan merasa seperti terbesit bilah bambu runcing. Ini adalah hari ulang tahunnya. Dan dia bersedih di hari ini.
Genggaman tanganku menghentikan kegiatannya memainkan kuku. Perlahan kepalanya terangkat, menatapku. Lalu aku melihat ada genangan yang memenuhi pelupuk matanya, dan genangan itu akhirnya luruh. Menciptakan riak-riak pada pipi tirusnya. Abil menangis. Hal yang sangat jarang aku lihat ketika aku bersamanya.
Kuusap air mata itu. Lalu jariku menunjuk dirinya dan membawa jariku pada dagu. “Kamu cantik. Sangat-sangat cantik,” kataku. Dia melebarkan mata bulatnya. Lalu mengerakkan jari-jari lentiknya. Kamu serius? Aku mengangguk mantap.
Abil mengigit bibirnya, lalu tersenyum—sangat manis.
Benar, aku benar-benar tidak bisa menahannya lagi. Nurani dalam hatiku sudah mendemo masal, memberontak akan sifat pengecutku yang sudah terlampau batas. Aku mengenal Abil sejak umur 13, dan kini usiaku 23. Satu dasawarsa adalah bukan waktu yang sebentar. Dan selama itu, aku menahan rasa yang semakin menguap. Aku mencintai gadis itu, gadis mahaindah itu. Abil.
Dengan detak jantung yang sepernano detiknya menggila seperti ingin keluar dari tempatnya, aku menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan.
“Bil, semua yang ibu kamu bilang, sama sekali tidak bisa dibenarkan. Tidak ada fakta tentang itu. Dan ternyata faktanya adalah… ada seseorang yang memandang kamu lebih dari supermoon paling indah pada siklusnya, kejora paling terang pada rasinya, dan pelangi paling nyata pada garis pendarnya. Aku, Bil. Aku pemilik pandangan itu.
Kamu adalah maha karya Tuhan paling menawan. Pemberi terang mentari, bintang, bulan, dan bumi. Kalau boleh aku membantah Nicholaus Copernicus tentang teorinya jika matahari adalah pusat jagat raya, akan kubilang lantang-lantang, bahwa sebenarnya kamulah yang menjadi titik pusatnya. Pusat dari segala semesta yang aku cipta.”
Aku menggenggam erat tangan ringkihnya. Dia mengernyit heran, aku menghela napas, lalu menciptakan kalimat ini dengan gerak tanganku.
Aku mengepal tangan kananku, lalu mengangkat jari kelingking dan disusul dengan jari telunjuk hingga menyerupai tanduk, kemudian ibu jariku dengan akhiran kalimat singkat yang sudah terpendam selama sepuluh tahun, “Aku cinta kamu.”
Dia terlihat kaget, lalu menunduk, dan kulihat wajahnya memerah.
“Bil?” tanyaku, belum ada respons yang Abil berikan padaku. “Kamu mau… jadi pasanganku?”
Abil mengangkat wajahnya, tersenyum malu-malu. Lalu, sepersekian detik, ekspresinya berubah.
‘Tapi, kata Ibu…’, ucapnya terpotong karena dengan segera aku menginterupsi, “Ayo, kita ketemu Ibu. Untuk bilang makasih.” Aku mengajaknya beranjak dengan tangan kami yang masih saling menggenggam.
Dia semakin heran. ‘Makasih untuk?’ tanyanya.
“Sudah mengandung, melahirkan, dan membesarkan kamu menjadi gadis secantik ini, semenawan melebihi rembulan, sekuat tali-tali besi di perapian. Karena hari ini adalah harinya bumi mendapatkan kado terindah. Kamu, adalah hadiah terindah bumi.”
Cerpen Karangan: Fina Aryadila