Hari ini merupakan hari yang membahagiakan bagiku. Pasalnya, aku akan menjalani libur panjang karena aku baru saja lulus dari jenjang Sekolah Menengah Pertama. Hal yang pertama harus aku lakukan adalah dengan memanfaatkan liburan ini sebaik mungkin. Aku akan merebahkan badanku di kasur yang empuk seharian, membaca buku novel yang belum selesai kubaca, dan menulis jurnal liburanku sambil memakan eskrim sundae yang kubeli di minimarket kemarin. Ah, alangkah indahnya liburanku. Namun, baru saja aku merebahkan badanku di kasur, terdengar suara ibuku yang memanggilku sebanyak 3 kali. Niatku untuk bermalas-malasan hari ini sirna sudah.
“Tolong beliin bahan masakan dong, itu udah ibu tulis di note,” ibuku menyodorkan selembar kertas bertuliskan barang apa saja yang harus aku beli. “Banyak amat, bu. Mau ada hajatan, ya?” tanyaku dengan raut muka yang agak masam. “Iya, udah buruan sana beli.” “Ah, males bu. Panas, nanti lah agak sorean” ucapku sembari membaringkan badanku di sofa. Lalu dengan tak sengaja, ada suatu benda keras menghantam punggungku. “AW!” jeritku kesakitan. “Duh, pinggangku. Benda apaan sih ini? Kok ada di sini, sih?” aku mulai mengomel di dalam hati. Aku agak terkejut kala mengetahui benda yang menghantam punggungku adalah sebuah ponsel lipat, tapi entah siapa yang punya barang seperti ini di rumah. Lalu aku mencoba menanyakan ibuku yang sedang memasak di dapur. “Bu, ini hape punya ibu, ya? Kok bisa ada di sofa, sih?” “Loh, ini bukan hape ibu, kok. Ini bukannya hape ayah, ya?” ibuku pun heran dengan adanya benda ini. Namun, ibuku tak mau ambil pusing. Beliau langsung menyuruhku untuk segera membelikan barang yang telah beliau tulis di note. “Ah, males banget, bu. Cuacanya panas banget, nanti aja deh agak sore,” keluhku sambil merebahkan diri di sofa tadi sembari membuka ponsel lipat yang aku temukan tadi. “Itu ada kembaliannya, kok. Kalau ga mau yasud-” “Iya iya, ini aku ganti baju dulu,” dengan secepat kilat, aku sudah mengganti baju piyamaku dengan baju yang pantas untuk dipakai keluar. “Ini doang kan, bu? Kalo gitu aku berangkat dulu, ya!” lalu aku pun berangkat menuju supermarket di tengah kota.
Tiga puluh menit kemudian, akhirnya aku sampai di pusat kota. Aku memilih untuk berbelanja di sini, karena aku bisa sekalian refreshing, itung-itung menambah kegiatan liburanku.
Aku sudah sampai di toserba, aku melihat kembali note yang aku bawa tadi.
“Minyak, gula, susu. Duh, banyak juga,” aku menggelengkan kepalaku. Ketika aku menengadahkan kepalaku kembali, aku melihat seseorang yang tidak asing bagiku. Aku melihat Farel dari kejauhan, seorang murid populer di sekolah karena memiliki paras tampan. Setiap hari dia pasti dikerubungi oleh cewe di sekolahku dulu. Tidak mungkin dia akan mengenaliku, karena aku tidak termasuk salah satu cewe yang mengerubunginya. Tapi kulihat di kejauhan, Farel melambaikan tangannya. Aku tak mau kegeer-an, jadi aku tak membalas lambaiannya, karena jika dipikir lagi, tak mungkin dia akan melambaikan tangan padaku padahal dia tak kenal padaku, kan? Jadi kurasa, lambaiannya pasti untuk orang lain. Namun aku salah, Farel ternyata mendekat kepadaku.
“Hai, Aurel,” tepat di depanku, Farel menyebut namaku. Aku terkejut bukan main, pasalnya, hal apa yang membuat Farel mengetahui namaku? Padahal aku tak populer di sekolah, ada beribu-ribu pertanyaan yang mungkin akan aku tanyakan kepadanya.
“Kamu disapa kok diem aja sih? Aku jadi sedih tau!” ia cemberut, tapi raut wajahnya tidak merubahnya menjadi jelek, tapi ia malah terlihat seperti anak anjing yang lucu. Ingin sekali aku mengacak-acak rambutnya. “Kok kamu bisa kenal aku?” tanyaku. “Kan kamu waktu itu pernah ikut lomba puisi di sekolah, pembawaannya bagus. Jadi pas kamu tampil kedepan itu memorable banget buatku,” serius demi apa? Aku orang yang memorable banget buat Farel, OMG!
“Oh, iya, kamu ngapain di sini?” tanyaku kepada Farel. “Aku mau refreshing aja, sekalian mau nyari buku buat referensi novelku nanti.” “Wow, kamu suka baca novel juga?” “Aku suka semua buku, selagi bisa kubaca, ya, why not?” ucapnya sembari mengangkat bahunya. Aku baru tau ternyata Farel mempunyai hobi yang sama denganku. Apakah ini yang dinamakan takdir? “Oh iya, kamu mau makan eskrim, gak? Aku yang traktir,” OMG! Apa ini? Jantungku berdegup sangat kencang, oh, ayolah, apa yang terjadi pada tubuhku?
Lalu, kami pun memakan eskrim kami masing-masing di sebuah taman di pusat kota. Di saat cuaca yang panas ini, badanku malah semakin terasa panas, apalagi jantungku makin berdegup kencang kala aku duduk bersebelahan dengan Farel. Kami berbincang mengenai hobi kami, buku favorit, dan hal-hal lainnya. Lalu tiba-tiba, Farel menempelkan jarinya ke pipiku. Jantungku semakin berdegup kencang. Ya, Tuhan! Tolong kuatkan jantungku.
“Ada eskrim di pipimu, kamu makannya kaya anak kecil, ya, hehe.” ucap Farel sambil menjilati eskrim yang sudah dia ambil di pipiku. Astaga, aku harap aku tak pingsan saat ini juga. “Boleh aku minta nomor telepon rumahmu?” sial, aku keceplosan menanyakan nomor telepon rumahnya saking senangnya. “Boleh kok, boleh aku minta kertasnya?” aku tak mengira dia akan memberikan nomornya, biasanya orang populer tak akan membagikan nomornya kepada orang secara percuma, kan? “Ini nomorku, biasanya telepon rumahku aktif sampai jam 10 malam. Aku masih bisa mengangkat telepon sampai jam 9 malam.” ucap Farel seraya memberikan kertas berisikan nomor teleponnya kepadaku. “Ya sudah, aku berangkat les dulu, ya! Sampai jumpa lagi, Aurel,” ucapnya seraya melambaikan tangannya padaku. Aku merasa tertimpa durian runtuh, entah mengapa aku merasa hari ini berpihak kepadaku.
Sesampainya di rumah, aku diomeli oleh ibuku karena pulang terlalu lama. Tapi itu tidak berpengaruh, karena aku sudah mendapatkan nomor rumahnya Farel.
Selesai makan, aku segera mencuci piring dan segera mengambil telepon rumah. Aku mulai berdiskusi dengan batin. “Apa yang harus aku lakukan ketika Farel mengangkat teleponnya, ya? Apa aku nyatakan perasaan saja, ya?” ucapku membatin. Namun tiba-tiba, ayahku menghampiriku.
“Sudah, malam. Tidur. Anak gadis ga baik tidur malam-malam” ucap ayahku sembari mengambil gagang telepon yang sedang aku pegang. “Tapi yah, aku mau menelpon temenku. Bentar aja kok yah,” ucapku sedikit merengek. “Temanmu sudah tidur sekarang, paling yang angkat juga salah satu keluarganya. Besok lagi saja,” ucap ayahku sembari mencium keningku. “Cepat tidur, mimpi indah nak,” “duh, aku kan bukan anak kecil lagi, aku harap Farel yang mengucapkan ‘selamat malam’ kepadaku,” ucapku membatin. Dengan terpaksa, aku pun tidur dengan perasaan sedih karena tak bisa menelponnya.
Keesokan harinya, aku menjalani hari liburanku yang kedua. Kedua orangtuaku pergi bekerja, karena ini merupakan hari Senin. Jadi, aku di rumah sendirian. Aku sedikit bosan, sambil memakan eskrim sundae, aku membaca buku novel yang belum selesai kubaca di ruang tamu sambil menggoyangkan kakiku. Ketika aku sedang asik membaca, tiba-tiba saja telepon rumah berdering. Aku mulai bertanya-tanya, siapa ya yang menelepon? Apa mungkin ayah ketinggalan lagi dokumennya? Tanpa berlama-lama, aku mulai mengangkat teleponnya. Sontak aku terkejut kala mendengar suara Farel dari seberang telepon. Lalu, aku dengan sedikit tergagap menyapanya.
“Ha… Halo, Farel. Ada apa, ya?” ucapku sedikit tergagap. “Kamu hari ini sibuk gak?” ucap Farel. Aku tidak menduga akan ada lelaki yang menanyakan apakah aku sibuk atau tidak, tidak salah lagi, pasti Farel ingin mengajakku kencan. “Aku hari ini free, kok. Ada apa emang, Rel?” “Kamu bisa gak, ke atap sekolah kita? Ada yang mau aku bicarakan,” aku rasa tak mungkin dia mengajakku kencan di atap sekolah, tapi apa yang mau dia bicarakan? “Oke, aku akan ke sana sekarang.” “Oke, kalau aku belum datang, tunggu saja. Gak akan lama kok, sampai jumpa, Aurel,” ucapnya dengan suaranya yang lemah lembut. Aku jadi tak sabar untuk bertemu dengannya, dan apa yang akan ia bicarakan nanti. Aku berharap dia menyatakan perasaanya padaku meskipun itu adalah hal yang mustahil.
Aku membuka pintu atap sekolah, dan aku melihat Farel berdiri di tengah atap sekolah. Rambut panjangnya yang terkibas oleh angin membuatnya semakin terlihat tampan. Jantungku tiba-tiba saja berdegup kencang, lagi. Tetapi, raut wajah Farel sungguh tak mengenakan. Dia sepertinya terlihat sedang … Kesal?
“Apa yang mau kamu bicarakan, Farel?” ucapku seraya melangkah mendekatinya. “Apa maksudmu kemarin malam?” “Hah?” aku kebingungan, apa maksudnya ‘kemarin malam’? Bukannya kami berpisah siang hari, ya? “Kau mengucapkan bahwa aku akan mati besok setelah aku pulang dari tempat les,” hah? Apa maksudnya itu? “Dan kau juga melarangku untuk keluar besok, apapun yang terjadi. Padahal aku ada jadwal les hingga petang. Apa kau mau melihatku dimarahi oleh ibuku karena aku tidak pergi les?” raut wajahnya semakin terlihat tak mengenakkan, sepertinya ia sangat kesal atas apa yang ‘aku’ ucapkan. Tapi aku bersumpah, aku bahkan tak meneleponnya kemarin malam. Apa yang sebenarnya terjadi?
Cerpen Karangan: Dhafin Fauzan Blog / Facebook: Dhafin Halo, jika kalian suka dengan cerita ini. Bisa dong, komen part mana yang kalian suka. Oh iya, jikalau berkenan. Boleh kunjungi igku @grayyfinn. Terimakasih semua yang sudah mau membaca cerita ini. ^^