Jarak bukan lagi hal yang menjadi penghalang bagi kita yang masih bergejolak pada asmara.
Di awal September lalu kita terpaksa berlabuh di kejauhan. Engkau berusaha meraih mimpi di kota seribu Gereja, sedangkan aku melangkah perlahan di kota panas dan mengejar impian. Tak hanya jarak maupun waktu, namun begitu banyak yang datang menyiksa asa pada rasa. Salah satunya adalah rindu yang menghantuimu di setiap ujung malam.
Engkau terpaksa terkurung dalam sunyi dan terperangkap dalam keheningan di waktu malam. Mungkin siang akan selalu menemani langkahmu dengan sejuta suara insan semesta yang terus mengusik disisi. Namun, berbeda dengan malam, Ia akan selalu menyiksamu dengan banyak hal. Malam akan menghadirkan kedinginan, kesunyian dan bahkan kesedihan. Dari situlah rindu-rindumu mulai terkumpul dan perlahan-lahan memukul hayalmu.
Di suatu sore, senja di pesisir pantai terlihat berpanorama. Desiran angin runtuhkan benteng-benteng pertahanan tubuh. Ditengah kepenatan isi kepala, aku duduk termenung di bawah pohon asam. Suara ombak bergemuruh seakan berbisik padaku. “Hey… Siapa yang kau nantikan di pesisir pantai ini?”
Aku yang termenung hanya diam dan membisu. Bukannya tak mampu menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan sang ombak, hanya saja aku lebih memilih diam dan tak berbicara.
Sejam lamanya aku membisu di pesisir pantai itu. Terlihat senja perlahan tenggelam dan siap digantikan oleh malam. Perlahan aku beranjak pulang ke seberang.
Waktu terus berjalan, kemudian malam menerjang begitu cepatnya. Aku tak pernah memikirkan hal itu, karena malam di kota panas tak sama dengan malam di kota seribu Gereja. Aku memikirkan tentangmu yang selalu dipeluk kedinginan kota. Dicumbu oleh rindu yang menghantui. Di setiap waktu engkau tersiksa oleh pisah yang sekian lama tak kunjung usai namun terus mendera.
Hari-harimu terasa sepi dan terus menerus mencekam rasa yang membara. Sejujurnya engkau tak pernah mengucapkan sepatah kata pun tentang rindu. Mungkin engkau memilih memendamnya.
Di suatu malam, aku kembali duduk termenung di sisi tirai jendela kamar kos-kosan. Hanya bisikan suara transportasi yang selalu kudengar. Ku menatap awan hitam tanpa rembulan. Hanya bayangan wajahmu yang terlintas di langit malam. Namun sayangnya itu hanya hasil hayalanku saja.
Terlalu lama ku meratap di bawah atap kamar kos-kosan itu. Seorang kawan datang dari belakang lalu menyuguhkan secangkir kopi untuk kuminum. Dengan suara sayup Ia berkata. “Minumlah kopi ini, lalu nikmati dengan sungguh-sungguh. Aku tahu engkau sedang memikirkan tentang wanita di kota seribu Gereja. Mungkin dia di sana tersiksa oleh rasa rindu. Namun, yakin saja waktu akan mempertemukanmu dengannya nanti.”
Kopi yang masih hangat tak segan-segan kucicipi. Dengan demikian aku berterima kasih pada kawanku. “Terima kasih kawan, engkau memang terlihat diam. Namun, kepedulianmu terhadapku tak pernah tenggelam.”
Malam semakin larut, tirai jendela kututup. Mataku mulai sayup dan perlahan-lahan mulai tertidur dengan pulas.
Waktu terus berlalu, bulan terus berlanjut, dan kita sama sekali belum pernah bertemu dan masih tersiksa oleh rindu. Waktu itu, di pagi yang begitu cerah. Rencana-rencana mulai mengusik isi kepala. Dengan segala niat yang ada, aku bersama kawanku memilih menempuh jarak yang jauh.
Sebelum berangkat, aku menitipkan pesan singkat di whatsAppmu. “Hari ini aku akan hadir di kota seribu Gereja. Kota kita bersama. Kehadiranku ini ingin melepaskan segala siksaan rindu yang membelenggu dirimu di kota itu.”
Setelah itu aku dan kawanku bergegas pulang, dan tidak lupa berpamitan dengan saudariku yang ada di kos-kosan. Perjalanan ini memang akan menitipkan kenangannya nanti. Sejauh apapun jarak yang kutempuh, itu bukan lagi menjadi sesuatu yang baru. Yang terpenting adalah aku harus melepaskan siksaan rindu yang membelenggu dirimu.
Dua jam dalam perjalanan, keasikan bercanda tanpa sadar tibalah kami di kota itu. Kota yang selalu saja menyimpan ribuan kerinduan, ribuan rasa, dan ribuan kenangan. Tak langsung menemui dirimu, karena masih ada hal yang harus kupersiapkan. Aku memilih hari esok untuk bertemu denganmu.
Di sore hari, senja perlahan sayup warnanya dan dingin mulai terasa. Aku kembali menyapa dirimu lewat pesan singkat. “Hay… Aku sudah sampai.” “Baguslah kalau begitu kak, besok baru bertemu ya.” “Baik Enu.” Percakapan yang singkat dan melekat sambil menunggu malam yang akan kembali menyapa.
Aku hanya bisa melewati malam dengan segala mimpinya. Baik buruknya mimpi yang dihadirkan oleh malam, aku akan tetap menerima segalanya.
Pagi kembali, fajar terlihat lagi. Aku yang baru terbangun dari mimpi malam, perlahan berjalan dan membuka tirai jendela. Tidak lama, mulai bergegas menyiapkan diri untuk berangkat ke kampus. Kampus yang sudah lama kutinggalkan lantaran aku harus pergi mengembara untuk sementara waktu.
Setelah semuanya siap, aku pun berangkat dengan cepat. Selang beberapa menit, aku tiba di kampus itu. Tidak lama kemudian aku memulai bertanya tentangmu di pagi yang masih penuh dengan ambisi. “Hay… Enu dimana?” “Saya di kampus kak, lagi ujian!” “Ok… Baiklah, saya akan tunggu sampai ujiannya selesai.” “Baik kak.”
Aku tidak bisa memaksa dirimu untuk menemui diriku dengan secepat mungkin. Karena aku tahu engkau sedang bertempur dengan soal ujiannya. Aku hanya bisa diam dan menunggu di teras gedung itu.
Dua jam berlalu, ujian pun selesai. Dia perlahan bertanya. “Kak kami sudah selesai ujian?” “Baguslah kalau begitu!” “Sekarang bisa ketemu dengan saya kah?” “Bisa sekali enu!” “Ite dimana?” “Saya di lantai 4 enu!” “Saya segera ke sana kak.”
Tidak lama setelah chattingan di whatsApp, dia pun nongol di sisi tangga lantai 4 itu. Kami pun berbincang selama beberapa menit dengan percakapan yang singkat. Karena terlalu banyak kesibukan yang harus dikerjakan dengan cepat, kami berdua pun tidak sempat menggunakan waktu utuh untuk melanjutkan percakapan di gedung itu.
Tidak apa-apa jika hanya sebatas menatap dan sedikit menitipkan kata-kata yang penuh bermakna, yang terpenting siksaan rindu yang membelenggu dirimu di kota itu sudah berakhir karena kehadiranku.
Ruteng, Oktober 2022.
Cerpen Karangan: Ronaldus Heldaganas Blog / Facebook: Ronaldus/Nalld Ronaldus Heldaganas merupakan salah satu mahasiswa Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng yang bergiat di dunia literasi.