Tak terasa hari-hari aku berada di rumah sakit telah berakhir. Aku diperbolehkan untuk pulang. Akhirnya, aku bisa beraktivitas lagi, aku berjanji akan lebih berhati-hati lagi, mengerjakan tugas sekolah yang aku tunggakan dan hal-hal yang lain. Minggu keempat, minggu terakhir yang akan menjadi akhir pada bulan Juni. Aku pulang ke tempat aku tinggal, rumah sederhana yang telah melindungi aku dan keluargaku dalam jangka waktu yang panjang. Tentu saja, sekeluarga sangat merindukanku. Bunda sangat sering menjengukku namun saat ini ia sedang menangis, suaranya sangat parau, terdengar sangat menyakitkan. Adik perempuanku tidak memeluk ataupun mengucapkan hal baik kepadaku malah merampas boneka beruang dariku. Ia berkata,
“Ih, gara-gara kakak, aku nggak bisa tidur sama bearry. Hmph!” Kesalnya sembari memeluk erat bearry dan berlari ke arah kamarnya. Aku hanya maklum, padahal dia yang memberikannya sambil menangis mengingat aku harus mendekam di rumah sakit. Ayah memeluk aku dan memarahiku. Katanya,
“Kamu itu dari kecil memang ceroboh. Demi permainan barbie kamu itu, kamu hampir ditabrak truk sampah dan kamu masih umur lima tahun saat itu. Beruntungnya, orang yang mengendarai mobil tersebut dapat menginjak pedal rem dengan cepat. Kalau nggak, nyawamu udah melayang.” Jelasnya sambil menyentil dahi ku namun itu tidak terasa sakit.
“Sekarang, demi anjing.. Ya ampun, Nak.” Ayah menepuk dahi nya. Ia melandaskan kedua lengannya ke atas bahuku, mengusapnya pelan. Ayah menatapku lembut, memberikan afeksi ketenangan kepadaku. “Nyawa kamu itu cuman satu, nggak ada duplikatnya. Jangan sia-siakan. Itu hal yang baik namun tidak benar, kamu membahayakan nyawamu, Anakku, Sulungnya Ayah. Tuhan pasti sayang kamu makanya Ia tidak ingin mencabut nyawamu.” Ucapnya. Aku tak bisa menahan tangisku, aku baru merasa salah sekarang. Aku pikir itu hal yang benar, ternyata tidak. Namun, anjing juga makhluk hidup. Mereka juga pantas hidup, ‘kan? Ayah menghapus air mata yang mengalir di kedua pipiku. Ia memeluk Mewa yang masih terisak, mengelus punggungnya sebari mengatakan kata-kata yang menenangkan hati. Bunda, ia memelukku erat.
“Maaf, Mewa merepotkan Ayah dan Bunda.” Ucapku. Mereka mengangguk dan menyuruhku beristirahat di kamar. Ya, aku merindukan ranjang empukku. Dan juga, My Jelly. Anjing yang aku pelihara sejak dua tahun yang lalu. Aku beranjak ke kamarku, kuhempaskan badanku ke ranjang dan memeluk Jelly erat.
“Kamu rindu aku nggak sih? Kamu pasti sibuk menggoda anjing tetangga kan? Kamu dimana saat aku sakit dan merindukanmu?” Ngomel aku. Namun, Jelly menatapku dengan tatapan kosong. Hah! Jelly ini tidak merindukanku ya? Hmph, padahal kita menghabiskan waktu bersama. Tapi, kau tidak menjengukku lagi? Aku terdiam sebentar. Aku seharusnya berbicara kepada Jelly namun, mengapa batinku yang berbicara? Apakah aku sedang berbicara kepada orang? Oh. Ternyata ini bukan tentang Jelly.
Pagi ini, aku mengawali hari pertama, minggu keempat pada bulan Juni dengan mengerjakan tugas-tugas yang aku tunggakan. Pak David? wali kelasku mengirimkan pesan bahwa aku dapat masuk pada hari rabu. Aku diperbolehkan libur selama dua hari agar tidak merasa kecapean. Padahal aku sudah banyak beristirahat saat masih menginap di rumah sakit. Tiba-tiba, aku teringat bahwa sahabatku, Hana, mengirimkan hadiah kepadaku sebagai peringatan aku keluar dari rumah sakit. Ia meletakkannya di kotak surat rumahku. Aku bangkit berdiri. Kubuka pintu kamarku dan menuju ke luar namun, langkahku terhenti karena melihat Bunda tengah menonton TV di ruang tamu.
“Bunda, udah ngecek kotak surat?” Tanyaku. “Aduh, Nak. Bunda lupa, kamu cek dulu yaa. Bunda udah nggak buka kotak surat hampir dua minggu. Tolong bantu Bunda ya.” Balas Bunda kembali menyaksikan acara masak-masak. Aku mendesah pasrah. Aku berjalan ke arah pintu dan keluar dari rumah. Kuhampiri kotak surat yang berada di luar pagar yang tingginya sebahuku. Ya, aku hampir melewati ketinggian pagar tersebut. Aku membuka kotak surat dan.. Boom! Banyak sekali kertas yang tertinggal di dalam. Aku sangat yakin itu tagihan listrik. Aku mengambil kertas-kertas tersebut dan beberapa surat dan merapikannya. Aku membawanya ke dalam rumah. Aku meletakkannya di ubin ruang tamu. Bunda terkejut melihatnya.
“Banyak banget, kak. Bunda shock.” Ucap Bunda sebari melihat aku sibuk mencari-cari hadiah yang diletakkan oleh Hana. Gotcha! Eh? surat toh. Kukira hadiah isi uang, gelang emas atau apalah itu. Aku menjitak kepalaku. Sudah baik dikirimkan surat. Aku membalik surat itu untuk melihat apa ada yang tertulis di belakang. Dan, aku melotot kaget. Aku berdiri tiba-tiba dan berlari ke arah kamarku.
“Kakak, jangan dibiarkan suratnya berantakan gini.” Teriak Bunda. “Bunda, tolong rapikan ya. Aku sibuk!” Jawabku meninggikan volume suara dan mengunci pintu kamarku. Bunda mendengus kesal. “Gimana sih, kakak? Dapat surat cinta ya.” Ujar Bunda yang diakhiri kekehan kecil darinya.
Aku terduduk di meja belajarku. Aku tidak mengalikan atensiku dari surat tersebut. Kubuka perlahan surat tersebut dan mengeluarkan isinya. Ada kertas yang terlipat. Tertuliskan nama pengirimnya adalah Hana namun, aku sangat mengenal Hana. Ia tak akan pernah mengirim surat seperti ini kepadaku, ia akan mengirim pesan lewat e-mail. Jika ia mengirimkan hadiah, itu benar-benar sebuah hadiah bukan surat. Dan, ia tidak mengetahui daun Ginkgo. Ya, stiker Ginkgo yang tertempel di belakang surat inilah yang membuatku kaget. Ini pasti dari Yoga. Pasti. Kubuka lipatan surat itu. Aku menarik nafas dalam lalu aku membukanya. Kuharap, ini kamu, Yoga.
Halo, Mewa Adiwarna! Aku baru tau nama lengkap kamu looh. Kamu gimana kabarnya? Kalau kamu membaca surat ini berarti kamu sudah keluar dari rumah sakit yaa. Aku minta maaf. Aku tiba-tiba tidak menjengukmu lagi. Mau tau berita buruk atau baik? Buruknya dulu ya. Buruknya… Aku harus pindah rumah. Ayahku pindah kerja ke Jakarta, Mewa. Maka, aku tidak di sekolah yang sama denganmu 🙁 Aku menyesal tidak memberitahu kamu. Aku tidak mengetahui nomor ponsel kamu, e-mail kamu bahkan tempat kamu tinggal. Aku nggak bisa jenguk kamu karena sore itu, pada hari terakhir minggu ketiga, aku telah pindah. Beruntungnya, temanku memiliki nomor Hana, sahabatmu. Aku mengirimkannya isi surat ini dan ia mencetaknya setelahnya ia meletakkannya di kotak surat rumahmu. Baiknya, aku baru menyadarinya. Selama beberapa hari di bulan Juni bersamamu, rasanya cukup panjang padahal “cuman” beberapa hari. Aku selalu suka untuk mencarimu dan melihatmu. Kupikir, jika aku menjengukmu mungkin kau tak akan tertarik dan benar.
Kau tidak tertarik tapi aku hanya maklum. Kita ini hanya orang asing kan? Aku hilang harapan. I lost my own war. Aku menyerah. Sebelum kau menginap di rumah sakit, selalu aku menyapamu, kau hanya tersenyum kaku. Kau menatapku seolah aku mengganggu, mungkin benar, kau memperlihatkan perilaku yang menunjukkan ‘aku nggak tertarik sama kamu’ Aku pendam lagi perasaan nggak asing itu, rasanya sesak. Namun, seiring waktu berjalan, setiap detik bersamamu. Aku mulai mengenalmu. Walaupun cuek, kamu itu lembut dan nyaman. Aku merasa nyaman bersamamu, mungkin saat itu hujan ya. Perasaanku jadi melankolis. Saat waktunya tiba, aku pasti akan memperlihatkanmu Daun Ginkgo. Ia adalah living fossil. Daun yang dapat hidup lebih dari 1.000 tahun. Aku ingin hidup bersamamu, Mewa. Bahkan dalam waktu pendek namun, jika bersamamu, itu akan menjadi waktu yang panjang.
Terima Kasih, Mewa. Salam, Yoga Hernanda.
Inilah tulisan Yoga. Nama panjangnya adalah Yoga Hernanda. Setelah membaca surat tersebut, aku menyesal. I knew you, Yoga. Lelaki yang memberi makan anjing depan parkiran sekolah. Itu adalah anjing yang coba aku selamatkan. Aku tak pernah berani berteman dekat dengan lelaki karena itu aku cuek padanya. Aku pendiam namun, prestasiku sering dimuat di akun instagram sekolah. Karena itu, aku dikenal banyak murid. Aku selalu melihat namanya di setiap postingan prestasiku, selalu aku menemukan komentarnya pada postingan tentangku. Aku hanya maklum.
Aku menyimpan surat itu. Aku akan jadikan itu kenangan. Memori paling berharga pada bulan Juni. Bulan Juni melambangkan kebahagiaan, sebab hujan telah berhenti pada bulan tersebut dan dimulailah musim panas. Memang benar, saat ini, Juni sedang bersedih. Ia sedang menunggu pujaan menanggapi kesedihannya. Aku harap Juli mendatangkan kebahagiaan untuk menghilangkan perasaan sedih yang masih menyelimuti Juni. Tentu saja, untuk kamu, Yoga. Aku harap akulah Juli itu.
selesai.
Cerpen Karangan: Graciela Donna Siswi asal SMP Tarakanita 1.