Cahaya bulan terlihat remang. Awan gelap telah menutupi pesona sang ratu malam. Dari atas balkon apartemen, jalan masih terlihat ramai oleh kendaraan. Desir angin yang lumayan kencang membuat seorang gadis yang berdiri di atas balkon itu menggigil kedinginan. Belum lagi rasa pusing yang menyerangnya membuat dirinya ingin tumbang, ingin hilang kesadaran. Untuk selamanya, bolehkan?
“Aku benci Ibu,”
Satu kalimat itu terlontar dengan nada pelan. Ingatan yang menyeruak membuat dirinya kembali terisak. Dia benci ingatan menyakitkan itu. Dia benci suara cacian itu. Dia benci bentakan dan tamparan keras itu. Tapi dia lebih benci. Dia lebih benci pada dirinya sendiri.
“Akh, hiks … hiks …”
Jalan di bawah sana terlihat melambai ke arahnya. Apa jalan itu mengajaknya pergi? Satu kaki gadis itu mulai naik ke pagar pembatas. Jalan di bawah sana masih melambai, masih menunggunya.
“Aku benci kalian,” kata itu terlontar setelah kedua kakinya berhasil duduk di atas pagar balkon. Jalan yang tadinya tersenyum manis, tiba-tiba berubah menjadi sosok yang dirinya benci. Senyum itu berubah menjadi senyum mengerikan. Gadis itu tersentak. Hampir saja terjatuh jika saja tidak ada seseorang yang menahan tubuhnya.
“Fi,” panggilan itu berasal dari seseorang yang menahannya. “Aku benci mereka, Zale …” “Sial!” Umpat lelaki itu saat menyadari Fi telah pingsan. Zale segera menurunkan tubuh Fi lalu membalikkannya dengan hati-hati. Membawanya masuk ke apartemen sebelum tubuh keduanya beku kedinginan.
Zale membaringkan tubuh lemah itu. Mengecek dahi Fi sebentar yang ternyata bersuhu panas. Namun, tangan dan kaki gadis itu terasa dingin.
Selama semalaman suntuk, Zale menjaga Fi. Lelaki itu tak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Dia tak pernah peduli pada orang lain, apalagi pada lawan jenis. Tapi, mengapa saat melihat Fi yang menangis, dirinya jadi merasa kesal sendiri?
Bukankah Fi hanya gadis yang dirinya tolong tiga hari yang lalu? Gadis dengan wajah penuh luka dan mata sembab. Gadis dengan raut pucatnya yang terlihat menyayat. Gadis dengan pancaran netra yang redup nan sendu. Gadis yang tiba-tiba mimisan dan pingsan di hadapannya. Gadis asing itu, “Apa yang kau lakukan padaku?”
Ingatan Zale kembali mengulang kejadian tiga hari lalu. Saat pertama kali Zale dan Fi bertemu.
#FLASHBACK ON
Zale menyetir mobilnya dengan kecepatan tinggi. Kabar yang dia dapatkan dari asistennya bahwa ada yang melakukan korupsi pengurusan dana panti asuhan yang dibangun oleh sang mama, yang kini telah menjadi miliknya, membuat lelaki itu emosi.
Zale tahu ada yang tidak beres dengan panti asuhan itu. Orang yang ditunjuk sebagai ketua pengurus panti ternyata bukan orang baik-baik. Dia harus menemukan cara agar kejahatan ketua pengurus panti terbongkar. Tapi bagaimana caranya? Zale sedang malas turun tangan langsung.
Jalan yang sepi membuat Zale leluasa menyetir. Lelaki itu kemudian menghentikan laju mobilnya untuk memastikan sesuatu. “Siapa yang berani sendirian di jalan sepi saat dini hari begini?” Gumam lelaki itu.
Lelaki itu turun dari mobil, di pinggangnya yang tertutup jas telah terselip pistol. Setidaknya jika itu orang jahat, Zale dapat menembaknya. Dia sedang malas untuk bertengkar dengan penjahat. Tanpa suara, lelaki itu berjalan mendekat.
“Aku benci Ibu,”
Zale menaikkan alis mendengar ungkapan itu. Tetapi masih tetap bergeming. Tanpa suara sedikitpun.
“Aku benci panti asuhan. Hiks, aku benci semua orang.” “Aku benci dilahirkan. Kenapa orangtuaku tidak membunuhku saja sebelum aku lahir ke dunia? Kenapa mereka membuangku?”
Seseorang yang ternyata seorang gadis itu makin meringkuk kedinginan di sudut halte. “Tuan Zal. Apa dia memang pemilik panti asuhan? Kenapa dia tidak pernah datang? Aku akan mengadu padanya bahwa Ibu membuat pesta berisik di panti.”
“Siapapun, tolong culik aku. Bunuh aku juga tidak apa-apa. Atau setidaknya, bawa aku pergi dari sini. Aku lelah hidup dengan luka.”
Bagi Zale, itu adalah permintaan yang aneh dari seorang gadis yang mungkin berumur 17 tahun. Tetapi, bukankah lebih aneh Zale? Lelaki itu malah merasa tertarik pada gadis di hadapannya.
“Shhh, sakitt …” Gadis dengan dress biru laut itu tiba-tiba mendongak, memegang kepalanya. Mengerang pelan. “Akhhh, sakitt …”
Tetesan darah dari hidung sang gadis berhasil membuat Zale tersentak. Dengan sinar bulan purnama dan lampu halte, Zale dapat melihat dengan jelas wajah penuh luka–entah luka lebam atau luka bekas berdarah— raut pucat dan mata sembab, pancaran netra kecokelatan yang redup.
Hati Zale terasa nyeri sesaat. Apalagi saat gadis di hadapannya mendongak ke arahnya. Menatap Zale dengan netranya yang redup. Gadis itu tersenyum simpul pada Zale sebelum akhirnya hilang kesadaran. Refleks, Zale menangkap tubuh lemah itu sebelum menghantam lantai halte yang dingin.
“Dia—”
Zale tidak mampu berkata-kata lagi saat teringat sesuatu. Gadis ini, bukankah gadis yang dirinya lihat petang tadi?
“Kyle, bersihkan apartemenku. Aku akan pulang ke apart sekarang.”
Setelah menyimpan ponsel, Zale mengangkat tubuh gadis bergaun biru menuju mobilnya. Tanpa kesulitan, lelaki itu membuka pintu mobil bagian penumpang. Membaringkan tubuh gadis yang entah siapa namanya lalu menyelimuti dengan jaket.
“Sweet girl,” gumam Zale sembari menatap wajah sang gadis. Seringai lelaki itu muncul saat mengingat perkataan gadis yang ditolongnya. “Bagaimana jika aku yang menculikmu, Nona? Apakah kau akan berusaha kabur dariku?” Tanya Zale sembari mulai menjalankan mobil.
#FLASHBACK OFF
Fi terbangun saat mendengar suara hujan yang mengguyur hebat. Kepalanya terasa berat. Tunggu? Apa ini? Sebuah tangan? Fi meraba puncak kepalanya. Mengabaikan dahinya yang terdapat kain basah.
“Za-le?” Panggil Fi dengan nada ragu. Fi sedikit takut dengan lelaki yang ada di hadapannya ini. Auranya menakutkan. Belum lagi wajah datar dan tatapan tajam khas netra hitam kelamnya. Rasanya Fi seperti sedang diintimidasi oleh lelaki itu.
Zale mengerjab, melirik tangannya yang berada di atas kepala Fi lalu menatap Fi yang sedang melamun. “Tidur lagi,” ucap lelaki itu tanpa memindahkan tangannya. Tubuhnya pegal karena tidur di sofa. Walau empuk namun tetap saja sofa itu tidak dapat membuat tubuh Zale yang tinggi ideal.
Fi mengerjab mendengar kalimat itu. Buru-buru dirinya bangun dari posisi tidurnya setelah menyadari bahwa dia tidur di kamar Zale. Bukankah semalaman aku berada di balkon lalu pingsan? Kenapa aku di sini? Apa Zale yang membawaku? Batin Fi bertanya-tanya.
“Akh, shh …” Pandangan yang berputar dan kaki bagai jelly adalah hal yang kini dirasakan Fi. Gadis itu mengerang pelan, merasakan kepalanya nyeri seperti ditusuk-tusuk. Zale yang sedari tadi duduk di sofa dan menutup mata, segera membuka matanya saat mendengar suara erangan. Walau pelan, dia tetap bisa mendengar berkat telinganya yang tajam nan peka.
Zale menyipitkan mata, bergegas berdiri lalu segera menarik Fi yang limbung agar terjatuh di atas ranjang. Lelaki itu menjauhkan tangan Fi yang lain dari wajah gadis itu.
“Za-le kau—” “Diam!”
Fi tersentak mendengar geraman itu. Tangannya tanpa sengaja mencengkeram erat kaos Zale. Kepalanya sakit. Seperti ada batu di atas kepalanya. Tangan gadis itu bergetar karena saat menunduk dirinya dapat melihat dengan jelas darah yang menetes dari hidungnya. “S-sakit, hiks—”
“Mendongak. Jangan menunduk.”
Zale mencoba melepaskan cengkraman Fi. Bukan karena terasa sakit, namun lelaki itu berniat mengambil kotak P3K yang tergeletak di meja depan Televisi. “Fi, coba lepaskan.”
Fi menggeleng pelan, dirinya butuh sesuatu untuk menyalurkan rasa sakit. “Akhhh, sakittt …”
“Astaga Fi. Berhenti lakukan itu,” Zale menjauhkan tangan Fi dari kepalanya agar tak lagi menjambaki rambut sendiri. Lelaki itu menarik kaosnya untuk menampung darah mimisan Fi yang belum juga berhenti.
Dengan hati-hati, Zale membaringkan Fi yang kini terisak. Tanpa berucap apapun lagi dan entah inisiatif dari mana, lelaki itu mengelus lembut kepala Fi. Berusaha mengurangi rasa sakit yang gadis itu rasakan.
“Coba lihat,”
Setelah beberapa menit berlalu, Zale membuka suara. Memegang kedua sisi kepala Fi. Mimisan gadis itu sudah berhenti mengalir. Zale melempar kaosnya yang penuh darah ke tempat sampah yang ada di sudut kamar.
“Aku benci Ibu,”
Diiringi suara hujan yang masih mengguyur hebat, Fi membuka suara. Fi tidak peduli apakah Zale mendengarkan ceritanya atau tidak. Fi tidak peduli jika Zale akan marah karena ceritanya yang tak penting. Fi tidak peduli jika setelah ini dirinya diusir karena kemarahan Zale.
Fi hanya ingin memperoleh sesuatu sebelum dirinya menghilang, yaitu sebuah kesempatan untuk bersuara bahwa selama ini dia benci pada semua orang. Mungkin, satu pengecualian untuk seseorang, Zale.
“Aku benci panti asuhan itu. Aku benci jatah makananku yang tidak enak. Aku benci suara kemarahan Ibu. Aku benci ejekan dari kakak-adik di panti. Aku benci tamparan yang Ibu lakukan padaku setiap adik panti melakukan kesalahan. Aku benci hukuman yang diberikan Ibu.” Ucap Fi dengan nada pelan.
Gadis itu mendongak menatap Zale yang berdiri di hadapannya. “Tapi aku lebih benci, aku benci karena aku dilahirkan di dunia ini. Aku benci karena aku dilahirkan sebagai pengecut yang lemah. Katakan Zale, ketika seseorang ingin menghilang, suara siapa yang harus dirinya percaya?”
“Jika orangtuaku saja tidak ingin aku hidup dan mereka malah membuangku. Jika Ibu dan anak-anak panti membenciku. Bukankah tak apa-apa jika aku tiada? Aku bukanlah salah satu poros semesta. Semesta kan tetap berputar sebagaimana mestinya.”
Fi menghembuskan napas lega. Tersenyum ketika mendapati tatapan Zale yang mengarah padanya. Gadis itu tersenyum bersama air mata.
“Di mana?” Zale membuka suara setelah beberapa saat terdiam.
“H-hah?” “Waktu dulu, di panti mana kau tinggal?” Fi menatap heran atas pertanyaan Zale. “Panti Asuhan Sun Flower.” “Apa? Sun Flower?” Zale menaikkan alis. Lelaki itu menyambar ponselnya yang berada di atas nakas. Terlihat menghubungi seseorang.
“Kau ada data pengurus Panti Asuhan Sun Flower?” Zale berbicara pada orang di seberang telepon. “Bagus. Kirimkan data terbaru padaku. Kirimkan apapun yang berhubungan dengan Sun Flower.” Terdengar sebuah notif. “Ya, sudah masuk ke emailku. Kerja bagus.”
Rahang Zale mengeras mendapati sebuah rekaman cctv yang berisi adegan seorang gadis sedang mengepel lantai lalu ada segerombolan gadis lain yang melewatinya dengan santai. Sangat terlihat mereka sengaja melakukannya. Lalu ada rekaman lain seorang wanita yang berdiri di depan gadis yang terduduk. Gadis itu terlihat menangis terisak sembari memegangi pipinya.
Rekaman terakhir berisi adegan seorang gadis yang sengaja didorong sampai tercebur kolam renang. Gadis-gadis yang menjadi pelaku hanya tertawa lalu pergi, membiarkan gadis yang didorong berusaha menepi dengan kekuatan sendiri.
Rekaman yang dikirim oleh anak buahnya membuat dirinya emosi. Tangan lelaki itu terkepal kuat. Netra hitam kelam Zale berkilat marah. Auranya menggelap.
“Tolong siapkan mobil. Hari ini aku akan menuju ke Panti Asuhan Sun Flower. Tidak perlu mengabari mereka. Kita akan datang tiba-tiba.” Setelah selesai menelpon anak buahnya yang lain, Zale melempar ponselnya ke atas sofa.
Fi yang sedari tadi menonton tingkah Zale sampai tersentak. Dia tak berani berucap. Jadi, yang dapat Fi lakukan hanya menunduk. Berusaha menghalau ketakutannya atas aura Zale dan suara petir yang memekakkan telinga.
“Kau kabur dari panti?” Tanya Zale tiba-tiba.
Fi tidak bisa berbohong. Gadis itu mengangguk. Benar, dirinya kabur dari panti saat pengurus panti yang dipanggil ‘Ibu’ sedang berpesta bersama gadis panti yang lain. Pesta ala Barat itu diadakan di panti. Fi benci saat Ibu memutuskan hal itu. Gadis itu tidak menyukai suasana pesta.
Saat gadis panti lain sibuk berbelanja untuk membeli dress maupun gaun atau sibuk merawat diri, Fi lebih sibuk merangkai cara agar dirinya bisa keluar dari pesta. Menyiapkan segala keperluan mulai dari ransel yang berisi pakaiannya yang memang tak seberapa, buku-buku, peralatan pribadi, uang, dompet dan ponselnya yang rusak karena terkena air.
Suasana yang ramai merupakan kesempatan bagus untuk keluar dari panti yang bagi Fi seperti neraka. Neraka mengerikan yang menggores luka.
Zale menghela napas. Lelaki itu tiba-tiba berpindah tempat. Duduk bersandar di kepala ranjang. Membuat Fi yang masih berbaring terkejut dengan pergerakan Zale yang tidak terduga.
“Kau kabur saat pesta itu?” Tanya Zale tanpa menatap Fi. “Dari mana kau tahu?” Fi balik bertanya. Dirinya yakin saat berhasil keluar dari panti, tak ada seorang pun yang melihatnya.
Gadis itu memilih kabur lewat pintu belakang. Melompati pagar, berjalan menyusuri hutan di belakang panti, dikejar ular yang berakhir jatuh ke jurang, pingsan, berjalan lagi, sampai menemukan jalan raya yang tak pernah dirinya lihat. Karena selama ini, Fi terkurung di dalam panti.
Hanya anak-anak kesayangan Ibu yang boleh keluar-masuk panti sesukanya. Ah, Fi rasa semua anak panti adalah kesayangan wanita itu. Kecuali dirinya. Tentu saja.
“Aku singgah sebentar hanya untuk melihat pesta macam apa yang diadakan oleh wanita itu. Ternyata pesta berisik. Saat aku hendak menjalankan mobil untuk pulang, aku melihat seseorang yang memakai dress biru selutut sedang melompati pagar. Lalu berjalan masuk ke hutan.” Cerita Zale dengan raut wajah santai.
Wajah Fi memerah karena malu. Harusnya sebelum melompat pagar, dirinya mengecek terlebih dahulu apakah ada orang di sekitar. “Kenapa kau tak langsung pergi saja? Kenapa harus ke belakang panti?”
“Mobilku terparkir di pinggir jalan yang bersebelahan dengan halaman belakang ” Jawab Zale.
Lelaki itu berdeham, menunduk ke arah Fi. “Percayalah pada suara di hatimu. Itu jawabanku atas pertanyaanmu barusan.”
Melihat Fi yang terdiam, Zale melanjutkan kembali bersua. “Giliran diriku yang mempunyai pertanyaan. Bagaimana jika aku bukan orang baik?” “Berarti kau orang jahat,” jawab Fi dengan nada polos. Zale mendengus sebal membuat Fi terkikik geli. “Aku bercanda. Jika kau bukan orang baik itu tak masalah bagiku. Bahkan jika kau psikopat, vampir, werewolf, pemburu, apapun itu.”
Zale mengernyit mendengar sebutan yang terlontar dari bibir Fi. Vampir? Werewolf? Gadis ini terlalu banyak membaca novel fiksi. Batinnya kemudian.
“Karena semua orang punya sisi baik-jahatnya masing-masing, Zale. Jika kau dianggap baik oleh orang ini, belum tentu kau dianggap baik oleh orang itu. Kita pasti pernah menjadi tokoh antagonis di kisah orang lain.” Ujar Fi menjelaskan alasannya.
“Tapi, jika kau bukan orang baik, kau adalah orang pertama yang mau mendengar ceritaku. Mempertanyakan pendapatku. Menanyakan di mana aku tinggal. Bahkan merawatku di saat aku sakit. Kau orang jahat pertama yang peduli padaku. Bukankah itu lucu?” “Apa?” “Orang yang pertama peduli padaku bukanlah orang baik.”
Fi menatap Zale dengan senyum khasnya. “Kau orang baik Zale. Bagiku, kau orang terbaik yang pernah diriku temui. Terima kasih karena mau membawaku ke sini. Aku akan pergi secepatnya. Sebelum kau merasa terganggu dengan kehadiranku.”
“Kau mau kembali ke panti?” “Tidak. Zale mau mengembalikan aku ke sana?” Sinar mata Fi yang tadinya mulai bersinar kembali meredup. Apa dia salah satu anak buah Ibu? “Jangan memikirkan hal menyakitkan. Aku tidak akan mengembalikanmu ke panti. Tidak akan.” Suara Zale terdengar tegas nan bermakna sesuatu. “Kenapa?” “Kau akan tahu alasannya nanti.” Jawab Zale sembari tersenyum miring. Entah mengapa, Fi merasa merinding melihat senyum Zale. Senyum itu seperti memiliki arti. Tapi apa?
Cerpen Karangan: Da Azure Biasa dipanggil Da. Dapat ditemui di Wattpad: Akun pribadi: @Daa_zure Akun bersama bestie: @Filila_3 Tidak yakin cerita ini bakal lulus moderasi. Soalnya, aku jarang banget nulis yang genre dark (walau dikit) romance gini. Mohon dimaklumi kalau jatuhnya aneh. Ngomong-ngomong, terima kasih telah membaca
Bye.