Seperti biasanya aku menyukai sudut kamar ini. Sebuah kursi kayu tua dipernis sedemikian rupa hingga mengilap. Aku sedang duduk di atasnya. Seraya itu aku melirik sebuah jam dinding kuno yang besar di kamar apartemen ini menunjukkan pukul 2 dini hari. Dan dari tempat aku berada ini, aku memerhatikan mantan kekasihku. Kami putus hubungan tiga tahun yang lalu. Dia sudah memiliki kekasih baru. Berbeda dengan janji yang pernah diucapkannya dulu akan setia padaku. Bullsh*t!
Lelaki berusia dua puluh lima tahun itu menarik selimutnya hingga menutup seluruh bagian tubuh kecuali wajah. Lampu kamar dimatikan. Hanya lampu tidur redup dengan cahaya remang-remang yang menyala. Namun, wajah tampannya masih terlihat sangat jelas di mataku. Dia seperti tiga tahun yang lalu saat kami sama-sama masih duduk di bangku kuliah. Tidak ada yang berubah, bahkan kamar apartemen ini sekali pun. Hanya saja mungkin hatinya telah berubah. Ia sudah menyerahkan hatinya yang selalu kudambakan pada wanita lain. Entah aku harus sedih atau bahagia.
Aku tidak bisa tidur semalaman. Sejak aku kembali ke tempat ini, aku melupakan rasanya memejamkan mata. Tentu saja karena aku lebih menyukai wajah tampannya ketika dia tertidur. Mungkin aku masih mencintainya. Ya, kurasa sangat mencintainya.
Waktu berlalu begitu cepat. Kali ini menunjukkan pukul 6 pagi. Ketika dia bangun dan menuju kamar mandi, aku buru-buru ke dapur. Membuka lemari makan dan mencari sesuatu yang bisa dimasak dan dimakan untuk sarapannya. Aku tidak menemukan apa pun kecuali stoples gula dan stoples garam. Akhirnya aku menuju ke kulkas dan menemukan beberapa roti tawar dengan pelengkap untuk membuat sandwich. Ya, dia sangat menyukai sandwich, aku sering membawakannya sandwich setiap pagi ke kamar apartemennya sebelum kami berangkat kuliah bersama.
Aku memanaskan mentega pada wajan, kemudian menggoreng telur setengah matang. Selanjutnya memanaskan roti tawar pada panggangan. Ketika roti terlihat sudah kecokelatan, aku meletakkannya pada piring dan menyusunnya. Dimulai dari satu lembar roti bakar, kemudian daun selada, potongan tomat dan tanpa potongan mentimun. Dia tidak menyukai mentimun. Kemudian setelah potongan tomat, aku meletakkan telur yang sudah digoreng sebelumnya, menuangkan saus manis, saus pedas, mayonnaise, taburan sedikit keju dan menutup dengan selembar roti tawar. Sangat lengkap.
Terbilang cukup lengkap untuk membuat sandwich, bagaimana pun ia memang hanya butuh makanan itu selama beberapa bulan belakangan. Selanjutnya, aku meninggalkan sebuah catatan kecil. Aku harap dia menyukainya seperti dulu.
Aku tidak kembali pada tempatku. Aku memilih ke ruang tamu, karena bersamaan dengan selesainya dia berganti pakaian setelah mandi, seseorang menekan bel kamar. Aku memerhatikan wajahnya dari layar belakang pintu. Penampakan yang sering aku lihat, seseorang di sana adalah orang yang foto-fotonya banyak dipajang di berbagai ruangan di kamar ini. Aku sudah menelusuri semuanya. Mulai dari kamar ada dua buah foto, ruang tamu ada sebuah foto besar, dan dapur hanya memiliki satu foto kecil. Lebih tepatnya, ia mengganti semua foto-fotoku sebelumnya.
“Sebentar!” teriak mantan kekasihku dengan tegas. Dia buru-buru berhambur keluar kamar dan menuju pintu apartemen. Dia sudah lengkap dengan pakaian kerjanya, hanya saja rambutnya yang basah masih bertopikan handuk.
Pintu dibuka. Seorang wanita seumuran denganku masuk tanpa dipersilakan. Pria dengan rambut ditutup handuk itu menutup pintu, kemudian kembali menuju balkon untuk menjemur handuk. Setelah itu dia hendak menuju ruang tamu lagi, menikmati sarapan yang dibawa kekasihnya, namun dia terhenti di dapur. Mungkin, aroma sandwich buatanku mulai memasuki rongga-rongga ruang penapasannya.
Dia terkejut ketika memerhatikan catatan kecil di sebelah piring sandwich, suara teriakannya yang tidak terlalu lantang tetap membuat kekasihnya datang ke arahnya.
“Ada apa, Lex?” tanya wanita itu tanpa panggilan sayang. Membuatku menjadi ingat ketika kita masih menjadi sepasang kekasih, Alex memang tidak suka dipanggil sayang atau semacamnya. Sebagai bukti, wanita itu memanggil kekasihnya hanya dengan sebutan nama, Alex. Telapak tangan kanan bagian kanannya, menyentuh bahu Alex.
“Kau membawakanku sandwich?” Alex balik tanya. Kekasihnya menggeleng. “Lalu, siapa yang meletakkan ini di sini? Apa seseorang yang ingin menyebarkan teror?!”
Alex menunjuk sandwich buatanku. Sesaat dia mampu membuatku sakit hati, hati ini teriris begitu saja dengan mudahnya, membuatku menangis dengan tertahan. Walaupun sebenarnya aku tahu, suaraku tak bisa didengarnya.
“Helena?” wanita itu membaca catatan kecil yang kubuat. Lebih tepatnya pada bagian bawah catatan, sebuah nama pengirim, namaku. “Apa maksudnya ini? Helena? Kekasihmu yang mati kecelakaan itu? Orang konyol macam apa yang mempermainkan permainan bodoh seperti ini? Ha! Mana ada orang mati gentayangan! Pasti dia lagi sibuk disiksa di neraka!” wanita itu tertawa seenaknya. Aku geram. Namun, aku tidak bisa melawan. Namun, kudapati wajah Alex sama marahnya.
“Jangan berkata sembarangan tentang Helena!” Alex berteriak lantang di depan wajah kekasihnya. “Aku memang tidak percaya dengan hal semacam ini. Tapi, aku lebih tidak suka mendengar seseorang menjelek-jelekkannya! Dia adalah hal yang paling berharga di dunia ini. Melebihi siapa pun!” kata-kata Alex masih bernada tinggi, namun mampu membuatku sekaligus kekasihnya terdiam.
Selama kematianku, bahkan dia masih sangat mencintaiku. Aku melangkah mendekatinya, membelai rambutnya yang hitam legam, meskipun itu hanya menembus saja. Aku mencium pipinya dan hal yang sama terjadi. Ini adalah hal paling utopis. Aku tidak bisa menggapainya bahkan ketika aku bisa melakukan apa pun.
“Helena?” suara Alex terdengar lirih. Apa dia bisa merasakan keberadaanku?
Kekasihnya terdiam. “Kau sudah benar-benar gila, Lex! Hubungan kita berakhir di sini! Aku tidak sudi diselingkuhi olehmu hanya karena setan gentayangan!” wanita itu berhambur pergi, mengambil bekal makanan dan juga tas jinjingnya.
Alex tak mendengar ucapan marah dari kekasihnya.
Dia memanggilku kembali. “Helena?” suaranya masih sama-sama lirih seperti tadi.
Aku bingung harus melakukan apa, namun Alex benar-benar menyadari keberadaanku. Akhirnya, kuambil sebuah buku catatan di ruang tamu dan kembali. Kuterbangkan sebuah catatan di hadapannya. Catatan itu berisi tulisan.
Aku di sini, Lex. Apa kau baru menyadari kalau aku selama tiga tahun ini berada di sampingmu?
Alex membaca perlahan catatan itu, dia selalu takut dengan hantu dan aku sadar aku telah membuatnya takut. Namun, ada secercah senyum di bibir manisnya.
“Kenapa baru sekarang datang? Kenapa tidak sejak dulu? Kenapa kau biarkan aku mengkhianatimu dengan seorang wanita sialan sepertinya! Aku tidak pernah mencintai wanita itu! Aku hanya mencintaimu, Helena!” teriakan dengan deru napas dan diiringi tangis yang mengucur di sudut matanya menampakkan cahaya kemilau yang sangat terang. Hingga aku pun silau melihatnya.
Semenit kemudian, aku bisa melihat Alex dengan jelas. Bahkan, senyum yang lebih manis ada di bibirnya. Aku merindukan senyum yang entah berapa lama tak pernah aku lihat lagi. Tidak. Ini bukan senyum yang seperti kubayangkan. Dia sedang tersenyum padaku. Dan, dia mampu memelukku dengan erat.
Apakah ini mimpi? Namun, sebagai hantu gentayangan, aku tidak mungkin bisa tertidur apalagi bermimpi? Lalu, apakah ini kenyataan? Bagaimana bisa? Entah ekspresi apa yang harus kusuguhkan.
Aku benar-benar senang merasakan pelukan dari seseorang yang sangat kucintai ini. Karena ini benar-benar nyata. Bukan angan seperti biasanya. Utopiskah? Absolut.
—
Wajah Alex terlihat penuh senyum bahagia setiap harinya setelah kedatanganku sebulan yang lalu. Ya, sebulan penuh dia sangat bahagia. Dia selalu berkata bahwa penantiannya selama tiga tahun tidak sia-sia. Bahwa pengharapan dan keteguhan hatinya yang tetap mempertahankan cintanya untukku tidak pernah sia-sia. Sebenarnya, aku tahu betul bukti itu, karena selama tiga tahun aku bersamanya, meski hanya menjadi sebuah penonton yang sedang menonton aktor memainkan skenarionya.
“Siapa yang sedang kau perhatikan, Lex?” pertanyaan itu milik, Matthew, dia adalah teman Alex sejak SD. Aku cukup mengenalnya.
Mendengar pertanyaan itu, Alex hanya senyum-senyum sambil memandangiku penuh rasa bahagia. Rasanya, dia mulai benar-benar gila, seperti apa yang dikatakan Matthew. Aku memerhatikan Alex sambil tertawa.
“Apa sebulan putus dengan Evelyn membuatmu gila?” Alex masih tidak menjawab. “Habiskanlah makananmu. Waktu makan siang kita hampir habis. Bos akan marah besar jika kita telat masuk kantor.” Ujar Matthew lagi. Dia begitu cerewet.
“Aku tidak lapar. Pergilah lebih dulu.” Alex mendorong sepiring Taco padaku yang berada tepat di hadapannya. Matthew yang duduk di sebelahnya hanya bingung.
Ketika Alex menatapku untuk menghabiskan makanan di hadapannya, aku langsung bergegas memenuhi perintahnya. Matthew sedang mengalihkan pandangan, ketika bersamaan. Piring itu kudorong hingga ke depan Alex. Agar terlihat Alex yang menghabiskannya. Permainan kecil ini membuatku senang. Namun, tak akan kulakukan lagi di depan umum, aku takut banyak orang yang menjauhi Alex.
“Akhirnya kau menghabiskannya juga. Sangat cepat dan bersih.”
Matthew bangkit dan berlalu meninggalkan Alex yang belum juga bangkit dari tempat duduknya. Lelaki berambut pirang itu sudah meninggalkan Alex.
Aku tersenyum memerhatikan tingkat kedua sahabat ini. Mereka sering sekali bertengkar, meskipun hanya pertikaian kecil yang mereka sukai.
“Kau itu bukan hantu. Masih seperti bidadari yang sama sejak tujuh tahun yang lalu aku mengenalmu. Dan, kali ini aku beruntung. Hanya aku yang bisa melihat kecantikanmu. Mereka tidak berhak melihatmu.”
Cerpen Karangan: Aira Zoey Blog: author-airazoey.weebly.com