Aku berlari sekencang mungkin yang aku bisa. Benar, aku sudah terlambat menuju akademi. Ini sudah jam tujuh lewat tiga puluh, sementara kelas Madam Andromeda dimulai sejak tiga puluh menit yang lalu. Sejenak, aku menengadah, menatap biang kerok yang membuatku telat hari ini.
Beberapa meter dihadapanku, berlari seorang anak lelaki seusiaku dengan tergesa-gesa. Rambutnya yang berwarna pirang tebal terlihat naik turun ketika berlari. Aether namanya, anak tunggal Duke Tigeria yang tampan rupawan. Namun berbanding terbalik dengan parasnya, sifatnya yang kuketahui hanyalah tengil dan menyebalkan. Huh, memang benar. Biasanya teman masa kecil mengetahui seluruh sifat biang kerok dihadapanku ini.
“Hoi, Rigel gemuk! Cepatlah sedikit, kita sudah telat!” “Apa tadi kau bilang?! Siapa suruh bangun terlambat dan malah tertidur lagi?! Kalau bukan teman, sudah kutinggalkan sejak tadi!”
Alih alih berprotes soal kegemukan, aku hanya memprotes soal ‘bangun terlambat’. Karena memang faktanya bahwa aku ini gemuk. Siapa sih, yang tidak tau menahu tentang Rigel de La Cour, anak bungsu dari Count Cour yang berbadan gemuk? Pasti bisik bisik itu telah menyebar sejak lama.
Setelah sampai didepan kelas, Aether dengan sifat gentlemannya mempersilahkanku masuk duluan. Dasar anak payah, begitu saja tidak berani. Aku merapihkan pakaianku dan masuk kedalam, disambut tatapan tajam Madam Andromeda dan tatapan anak lain yang menatapku seolah aku ini anak nakal.
“Ma-” “Biar kuurus yang satu ini.” bisik Aether sambil maju dan berdekhem, memasang raut wajah memelas seketika.
“Madam, maafkan aku yang teledor ini.. tidak, Rigel tidak bersalah. Aku yang menyeretnya kedalam masalah.. jadi, hukumlah aku sepuasmu..”
Cuih, dia mulai lagi. Akting murahan yang bermodal tampangnya itu memang selalu memikat hati siapapun. Lihat, kini anak anak lain menatap Aether bak malaikat berhati murni yang turun dari Surga. Tak sedikit anak yang mulai memohon kepada Madam untuk membebaskannya dari hukuman.
“Hm.. Baik, Aether. Kali ini kau lolos. Dan kau Rigel, bersihkan perpustakaan nanti.”
Lihatlah, pandangannya terhadap Aether dan terhadapku amat berbeda. Aether bebas dari hukuman karena statusnya dan tampangnya, sementara aku yang gendut dan hanya berstatus anak bungsu Count dihadiahi hukuman membersihkan buku buku di perpustakaan.
Aku hanya mengangguk patuh dan mengikuti Aether untuk duduk di kursi belakang. Anak anak bergantian menatap Aether seperti pujaan hati, lantas memandangku sebagai hama pengganggu Aether. Cih, siapa yang mau terus terusan terjebak bersama anak ini jika ia tak menempel terus padaku?
“Baik, Tuan Tuan dan Nona Nona. Hari ini kita akan mempelajari tentang tata karma di pesta dansa.”
—
“Rigel, mana pasanganmu?” tanya Madam Marinette dengan mengintimidasi. “Tidak ada, Madam.”
Inilah alasan mengapa aku benci kelas dansa. Ketika semua orang telah mendapatkan pasangan masing masing, hanya aku yang tersisa sendirian, tanpa mendapatkan pasangan. Siapa pula yang ingin berdansa dengan gadis gemuk ini?
Pada akhirnya, aku hanya terduduk di pojokan ruangan, memerhatikan Aether dan Melissa yang berdansa. Ah, aku jadi ingat. Aether dan aku suka sekali berdansa saat kecil. Bermain main di ruangan dansa luas miliknya, berdansa asal dengan alunan musik yang mengalun sambil tertawa tawa.
Pandanganku teralih kepada satu lagi bintang kelasku yang bernama Etherial, Pangeran Etherial. Ah.. rambutnya yang hitam mempesona, bola matanya yang bagaikan safir biru menyala nyala. Ia berdansa dengan anggun dan keren. Tak bisa kupungkiri, aku menyukainya.
Namun celaka. Melissa melihatku yang memperhatikan Pangeran Etherial sambil tersenyum senyum. Ia segera menyoraki diriku.
“Lihat! Lihat! Si gemuk Rigel memandangi Pangeran Etherial!” “Sepertinya dia menyukai Pangeran!” sahut yang lain “Apakah dia tidak tau diri? Gadis gemuk seperti dia memangnya cocok bersanding dengan Pangeran setampan Pangeran Estherial?” Begitulah, mereka bersahut sahutan dalam mengejekku. Aku semakin malu ketika Pangeran menatapku dengan pandangan jijik. “Haha.. tidak mungkin aku jatuh cinta dengan gadis gemuk.” Ujarnya tajam sambil tertawa.
Kata kata itu menggores hatiku dengan sempurna. Madam Marinette hanya ikut menatapku dengan jijik. Cukup, aku tak tahan. Aku perlahan berjalan dengan wajah tertunduk, menahan aliran air mata yang hendak jatuh, menuju pintu keluar.
Aether menahan tanganku. Ia sepertinya hendak mengatakan sesuatu, namun telingaku keburu bebal dengan hinaan dan makian. Aku menepis tangannya dan berlari menuju kelas lain.
—
Jam sekolah akhirnya telah selesai. Aku melangkahkan kaki menuju perpustakaan dalam diam, benar benar seperti patung hidup. Sesampainya, aku segera menuju rak berantakan yang ditunjuk oleh Madam Zenith. Tak berbasa basi, aku segera merapihkan satu persatu buku di rak super besar itu.
“Psst, sedang sibuk?”
Aku terkejut dan menjatuhkan buku yang kupegang. Aether muncul begitu saja dari rak lain, seperti hantu. Biasanya aku segera memukul kepalanya dengan buku yang kujatuhkan. Namun kali ini perasaanku sedang tidak baik baik saja. Aku memutuskan untuk mengabaikannya dan lanjut merapihkan rak.
“Hey, kenapa tidak menjawab?” ia bertanya kembali, namun tetap kuabaikan. “Kau.. sedih karena hal tadi?” cerocosnya kembali.
Aku mendengus kasar, kembali merapihkan rak buku. Entah Aether menatapku bagaimana, yang jelas, ketika aku hendak berbalik dan menjauh menuju bagian rak lain, tangannya mencekalku kencang.
“Lepaskan, Aether.” “Tidak sebelum kau menjawabku” sahutnya berani. “Apa pedulimu? Kau sendiri menghinaku gemuk. Dan kenapa kau tidak pulang? Mungkin Melissa sudah menunggumu.”
Aku kembali menepis tangannya keras. Ia hanya diam, mungkin dia sudah pasrah. Atau kata kataku tadi telak mengenainya, entahlah. Aku hanya fokus membereskan rak buku agar bisa cepat pulang.
“Aku hanya bilang kau gemuk.” ujarnya tiba tiba. “Huh?” balasku singkat. “Aku hanya bilang kau gemuk. Aku tak mengatakan bahwa aku tidak menyukaimu, kan?”
Aku terhentak. Apa? Sebentar, aku tidak salah dengar kan? Kata katanya barusan sukses membuatku menghentikan langkahku dan berbalik menatapnya. Ia perlahan berjalan mendekat, dengan wajah merona merah.
“Maksudmu apa, Aether?” sahutku memastikan.
Aether menatapku lamat-lamat. Sorotnya membentur bakal insan dihadapannya; aku. Nampak gelenyar hangat tertuai walau hanya dari tatapan. Kehangatan tanpa lisan, layaknya dua insan mengerti satu sama lain.
“Aku menyukaimu, sejak lama. Kau memang gemuk, tidak ramping seperti Melissa. Tapi kau selalu cantik dan istimewa di mataku, Rigel. Aku tidak berbohong, aku sungguhan.”
Aku terpaku. Wajahku ikut ikutan merona merah. Aether meraih tanganku dan berlutut, mengecup punggung tanganku halus. Benar benar seperti Pangeran dari kahyangan yang berlutut tulus, hanya untuk Puteri pilihan hatinya.
“Rigel, aku janji. Dalam beberapa tahun, ketika aku mewarisi posisi Duke, kau akan menjadi pasanganku. Kau akan menjadi bagian dari keluargaku, kau akan menjadi Duchess Tigeria ku.”
Ia bangkit dan mendekapku. Aku tak percaya, kukira Aether sama saja.. kukira Aether juga menganggapku gemuk dan menjijikkan. Namun dekapannya terasa nyaman dan tulus, membuatku menangis. Tidak, kali ini aku menangis karena terharu. Aku mengangguk, memeluk balik Aether dengan erat.
“Kau cantik, Duchess ku.”
TAMAT
Cerpen Karangan: Lira Alana Pangestu