Ratih pernah bertanya kepada Irham tentang siapakah Ratih di hidupnya. Irham menjawab hanya sebagai teman. Teman yang merepotkan. T E M A N, dibaca teman. Ya. Jawaban yang singkat, padat, jelas, dan menyakitkan. Baiklah jika menganggap Ratih sebagai teman saja. Mungkin itu jawaban Irham untuk saat ini. Entah tahun depan dia akan menjawab apa.
Sementara menurut Ratih, hubungan mereka lebih dari teman. Buktinya, Irham rela pulang cepat demi menjemput Ratih. Saat itu motor Ratih sedang mogok. Tak ada yang bisa dihubungi kecuali Irham. Ratih tahu jika keadaan yang dialaminya saat ini merepotkan bagi Irham, tetapi hanya Irham yang mau membantu Ratih. Ratih bukannya tak punya teman. Hanya saja Ratih merasa tidak semua teman yang ia kenal bisa menjadi teman dekat seperti Irham.
Tak hanya itu, Ratih juga meminta tolong pada Irham untuk memperbaiki saluran air di rumahnya. Hufft… pasti Irham menganggap Ratih sangat merepotkan sekaligus mengganggu hari-hari Irham yang tenang dan damai. Meski begitu Irham tetap datang dan membantu. Ya, intinya Ratih selalu melibatkan Irham dalam hidupnya. Bagaimana lagi? Ratih tak punya siapapun selain Irham. Begitulah sudut pandang Ratih mengenai hubungannya dengan Irham.
“Pagi” sapa Irham pada Ratih sambil membawakan segelas susu dan roti. Lalu menaruhnya di atas meja. Sudah dua hari Ratih menginap di rumah Irham. Hal itu dikarenakan Ratih malas pulang ke rumahnya sendiri. Ratih yang sedang berbaring di kasur pun langsung membuka matanya dengan lebar. Suara Irham cukup keras hingga membuatnya terbangun.
“Pukul berapa sekarang?” tanya Ratih pada Irham. Irham menatap ke arah jam dinding sambil merapikan barang-barang Ratih yang ditaruh di sembarang tempat. “Pukul sepuluh siang” jawabnya. Ratih berdehem pelan.
“Bangunlah dan segera rapikan barang-barangmu” ujarnya. Ratih berdehem pelan untuk kedua kalinya. “Pantas saja tidak ada lelaki yang mendekatimu, kau sangat berantakan. Aku yakin sampai kapan pun kau takkan memiliki suami” kali ini Irham mengomel. “Baiklah, kau saja yang menjadi suamiku” jawab Ratih spontan masih dengan posisi berbaring di kasur yang empuk.
“TIDAK! Aku tidak mau memiliki istri yang pemalas seperti dirimu” balas Irham lalu pergi meninggalkan Ratih setelah merapikan sebagian barang milik Ratih.
Seringkali Irham memergoki Ratih sedang menatapnya dengan dalam. Kira-kira apa arti tatapan itu? Ratih menyukainya? Tentu tidak. Tetapi ada sesuatu yang aneh ketika Irham bersama dengan gadis itu. Rasanya sangat tenang dan nyaman meski perempuan itu merepotkan. Namun ada juga perasaan berdebar disaat situasi tertentu. Kali ini Irham juga merasakan ada yang berdebar. Tak mungkin dia menyukai perempuan seperti itu. Lagipula Irham hanya menganggapnya sebagai teman.
“Astaga aku tak mau punya istri seperti dia. Dia sangat menyebalkan dan merepotkan” omel Irham dengan pipi dan telinga yang memerah. Apakah dirinya sedang salah tingkah? Irham menyangkal pertanyaan itu. Mungkin cuaca hari ini sedang panas hingga membuat pipi dan telinganya memerah.
“Ada apa denganmu? Kenapa kau berbicara sendiri?” tanya Ratih heran. Irham menoleh dan menggelengkan kepala. Kemudian Ratih mengangkat kedua bahunya. “Aku akan kembali ke rumah. Sampai jumpa di hari Minggu besok” ujar Ratih. Hari Minggu? Ada apa dengan hari Minggu? Apa ada hal yang istimewa? Irham mengangkat sebelah alisnya.
“Bagaimana kau bisa lupa dengan tanggal ulang tahunmu sendiri, sobat! Aku tahu usiamu bertambah tua, tetapi ingatlah tanggal ulang tahunmu” katanya. Ah iya Irham hampir melupakan tanggal ulang tahunnya. “Berapa usiaku tahun ini?” tanya Irham. Ratih membuka kulkas untuk mencari camilan, lalu “eum… kira-kira tiga puluh empat tahun” jawab Ratih. Astanya usianya hampir memasuki kepala empat. Sudah waktunya Irham menikah. Ia ingat target menikah pada usia tiga puluh-an. Dan sekarang sudah tiga puluh lebih. Tapi dengan siapa?
“Apa kau mau menikah denganku?” celetuk Irham tiba-tiba. Ratih terdiam sesaat ketika mendengar pertanyaan Irham. Ratih juga menatap matanya dengan dalam.
“Aku masih ada kencan buta besok malam. Sepertinya aku menolak” jawabnya setelah terdiam cukup lama.
Kira-kira hadiah apa yang pantas untuk pria berumur tiga puluh empat tahun? Jam tangan? Sepatu? Atau cincin? Astaga kenapa harus cincin? Ratih teringat pertanyaan yang dilontarkan secara tiba-tiba oleh Irham. Ratih ingin menjawab mau, tetapi ekspresinya seperti bercanda. Ya, Irham seperti memberikan lelucon garingnya pada Ratih.
Namun tiba-tiba Ratih melihat Irham sedang memilih cincin di sebuah toko emas. Cincin? Dia serius ingin melamarku? Oh, yang benar saja. Ehm, tidak tidak. Aku harus berpikir positif. Mungkin saja dia ingin memberi hadiah kepada seseorang. Ya, ibunya. Pasti ibunya merengek ingin dibelikan cincin emas yang paling berat dan mahal, batin Ratih. Ratih dengan cepat. mengalihkan pandangannya ke arah lain. Mendadak muncul ide dalam otaknya. Ya, jam tangan. Irham sudah lama tak pernah mengganti jam tangannya. Alasannya karena belum rusak.
Kemudian Ratih menuju toko jam tangan. Ratih segera memilih jam tangan mana yang pantas untuk Irham. Ratih berulang kali menoleh ke kanan dan ke kiri. Cukup lama ia melakukan hal itu. Ah, sepertinya Ratih tak menemukan motif yang cocok. Lalu Ratih keluar dari toko jam tersebut dan beralih ke toko jam tangan lainnya. Samar-samar terdengar suara Irham dengan seorang wanita dari jauh. Ratih yang awalnya berjalan, mendadak memutuskan berhenti sejenak. Ratih ingin tahu siapa wanita itu.
“Kau.. beli cincin?” tanya wanita itu. Irham mengangguk sebagai jawaban. Wanita itu menghela napas panjang. “Jadi, sekarang kau sudah menemukan pasangan sejatimu?” tanya wanita itu lagi. Dan Irham mengangguk lagi. Mendengar percakapan tersebut, perasaan Ratih agak kecewa. Ternyata bukan dia yang didambakan oleh Irham, melainkan orang lain.
Usai meninggalkan toko cincin, tiba-tiba Irham bertemu dengan Ella. Irham sadar bahwa perasaannya sudah tak berdebar seperti dulu lagi ketika bertemu dengan Ella. Butuh waktu dua belas tahun untuk melupakan kejadian itu. Irham juga menyadari bahwa ia sudah mencintai orang lain. Orang lain itu adalah Ratih.
“Baiklah, aku pergi dulu. Undanglah aku ke pernikahanmu” pamit Ella lalu tersenyum simpul. Pembicaraan antara Irham dan Ella berlangsung sebentar. Pembicaraan mereka hanya seputar menanyakan kabar. Setelah itu, Irham memutuskan untuk segera pulang. Besok adalah ulang tahunnya. Ia tak sabar Ratih akan memberi hadiah apa untuknya. Ketika menuju parkiran, Irham melihat ada mobil milik Ratih. Ratih disini?, tanyanya dalam hati. Irham mengangkat sebelah bahunya. Irham menyalakan mobilnya dan segera masuk ke mobil. Tak lupa juga menyalakan lagu. Beberapa menit kemudian, Irham keluar dari area swalayan. Lagu yang didengarnya kini berjudul “Tergila-Gila” yang dinyanyikan oleh salah satu penyanyi terkenal. Lagu ini mengingatkannya pada Ratih. Irham tersenyum tipis. Salah satu anugerah terindah di hidupnya adalah Ratih. Ratih mampu mengubah keputusannya untuk tidak menikahi siapapun menjadi ingin menikah. Jika sang pencipta mengijinkannya, bolehkah Irham melamar Ratih di hari ulang tahunnya nanti?
Ratih memilih pakaian dengan hati-hati. Tunggu, hati-hati? Ah iya ia hampir lupa bahwa ini hanya acara ulang tahun yang dihadiri olehnya dan Irham. Hmmm, sepertinya Ratih memakai pakaian yang biasa saja. Tidak perlu terlalu rapi. Lagipula bukan acara penting. Astaga tidak, tidak. Ini acara ulang tahun orang yang kusuka. Itu berarti acara penting. Baiklah, Ratih harus memakai pakaian yang mewah dan berdandan cantik hari ini.
Setelah bersiap-siap, Ratih langsung menuju ke rumah Irham. Tak lama kemudian Ratih sampai di rumah Irham. Ia turun dari mobil dan melangkah masuk ke rumah Irham. Sesampainya disana, ia melihat Irham berpakaian jas. Ia juga melihat kotak cincin di meja makan. Ia berjalan pelan ke arah meja makan.
“Kau sudah datang?” tanya Irham padanya. Ratih duduk di kursi dan mengangguk sebagai jawabannya. Giliran Ratih bertanya pada Irham, “Kau.. melamar seseorang? Mana dia?” “K-kau” jawab Irham dengan ekspresi tersipu malu. Diam-diam Ratih tertawa dalam hati melihat reaksi Irham. “Katamu, kau menganggapku sebagai teman. Mengapa kau tiba-tiba melamar temanmu di hari ulang tahunmu?” tanya Ratih penasaran. Irham tidak bisa menjawab pertanyaan Ratih. “Teman?” panggil Ratih pada Irham dengan sebutan teman. “Bu, bukan begitu. Maksudku teman hidup. Teman… sehidup semati” ujar Irham. Kini Ratih tersenyum dan mengangguk, “Ya, aku mau menikah denganmu.” Irham menelan ludahnya ketika mendengar apa yang dikatakan Ratih beberapa detik yang lalu. “Jadi, kau mau… menikah denganku?” Irham bertanya lagi untuk memastikan. Ratih menjawab dengan anggukan pelan.
Cerpen Karangan: Purwati Blog / Facebook: tidak ada dirahasiakan