Dia adalah pangeranku, aosok yang memikat hatiku dengan senyumnya yang menawan. Bagiku dia adalah mimpi, yang selalu ingin kugapai. Bermula dari rasa kagum, yang semakin berkembang tiap harinya. Perasaanku padanya tak dapat diungkapkan oleh kata.
Hari ini masih sama, aku menatap dirinya yang duduk di pojok depan samping pintu. Kadang, dia bergurau dengan teman-temannya, atau termenung sendirian, sesekali pula bermain dengan pulpen di tangannya. Rambutnya yang tertiup angin menari dengan indah, membuatku tertawa kecil.
“Kamu lihat apa sih?, kok dari tadi bengong aja?” Tanya teman disampingku, Risa namanya. “Nggak kok bukan apa-apa, itu kelas lain lagi pelajaran olahraga” Ucapku berbohong. “Bohong ah, kamu pasti lagi merhatiin dia kan?” Goda temanku yang lain. “Nggak lah, Buat apa merhatiin dia?” Aku berusaha mengelak. Mereka hanya tersenyum jahil dan tidak membalas ucapanku.
Semua orang di sekolah ini tentunya tahu, bahwa aku menyukai dirinya. Entah bagaimana berita itu bisa tersebar kemana-mana. Sejujurnya tidak ada yang menentang perasaanku padanya, Malah mereka mendukungku sepenuhnya. Namun, meskipun satu dunia mengharapkan aku bersamanya bila dia tidak merasakan hal yang sama, tetap saja kami tidak bisa bersama.
“Kringgg… Kringgg… Kringgg” Bel pulang berbunyi nyaring, langkah kakiku terhenti ketika melihat hujan yang turun dari langit. Karena aku tidak membawa payung, aku memilih untuk berteduh di gazebo sembari menunggu hujan reda. Di tengah kesendirianku, aku melihat seseorang menuju ke arahku. Dia berdiri sendirian, hanya terlihat punggungnya membelakangi diriku. Tangannya membuka surat kecil dari sakunya, surat yang aku kenal betul pengirimnya.
“Siapa sih pengirim surat ini?” Ucapnya penuh tanda tanya.
Tiba-tiba, handphone milikku berdering. Membuat sosok didepanku menoleh ke belakang, lalu menyadari keberadaanku. Dia tidak berkata apapun, hanya duduk di depanku sambil menatapku heran. Pipiku mulai terasa panas, jantungku berdetak begitu kencang, rasanya ada kupu-kupu berterbangan di dalam dadaku.
“Belum pulang?” Ucapnya memulai pembicaraan. “Belum, Aku lupa bawa payung. Kamu sendiri?” “Sama”, Jawabnya singkat.
Setelah keheningan beberapa saat, dia kemudian bertanya padaku “Kamu, yang ngirim surat ini?”, Tangannya menunjukkan surat yang tadi dia baca. Aku menggeleng, “Bukan, Kenapa kamu mikirnya itu aku?” “Katanya kamu suka aku” Jawabnya dengan santai. Aku tertegun, bingung harus berkata apa. Aku membeku sebentar, lalu membalas ucapannya. “Kan cuma katanya, bukan faktanya” Ujarku.
Bohong, semua itu bohong. Aku memang suka padanya, pengirim surat itu juga aku. Surat yang aku tulis dengan penuh hati-hati agar tidak ada yang mengenali tulisannya, yang kutaruh di mejamu tiap pagi saat belum ada yang tiba, surat yang aku buat agar kamu tersenyum setiap harinya. Bermula dari Hari Valentine tahun lalu, aku memberikan cokelat dan surat pertamaku. Tak terasa, satu tahun berlalu dan aku masih mengirimkan surat padamu tanpa kamu tahu.
“Kalau bukan kamu terus siapa?” “Ya orang yang suka kamu” Jawabku malu-malu. Kami berdua terdiam, hanya beberapa saat sampai dia membuka mulutnya
“Itu kamu waktu umur berapa?” Tangannya tiba-tiba menunjuk ke layar ponselku. “Enam kayaknya, emang kenapa?” Tanyaku keheranan. “Aku jadi teringat seseorang” Ujarnya membuatku penasaran. “Hah, Siapa?. Adikmu?” “Bukan, Orang yang aku suka waktu kecil” “Sampai sekarang masih suka?”, Tanyaku hati-hati. “Masih, tapi dia seperti tidak ingat aku” Ucapnya murung.
Hatiku terasa nyeri, ternyata dia menyukai orang lain sejak lama. Aku hanya berharap pada sesuatu yang tidak pasti, Sekeras apapun aku berjuang hatinya bukan untukku. Namun, perasaan ini terlalu dalam untuk aku hapuskan. Hujan sore itu seakan membasahi hatiku yang hancur.
“Hujannya mulai reda, Ayo cepat pulang”, ujarnya sambil mulai berdiri. Tiba-tiba, dia menyodorkan jaketnya padaku. Aku menatapnya dengan heran. “Kamu mau aku bawakan jaketmu?” Dia terkekeh, lalu menggeleng “Aku pinjamkan, nanti kamu kedinginan” Ucapannya itu membuat hatiku menghangat.
Ah, Aku benci dia. Bisa-bisanya dia bertingkah seperti itu setelah mematahkan hatiku. Aku menatap tubuhnya yang mulai melangkah pergi. Entah mengapa tiba-tiba dia berbalik ke arahku, dan mengucap sesuatu
“Kamu benar-benar tidak ingat aku?”
Cerpen Karangan: Nimas Redisti Pradnya Paramita Blog / Facebook: Venata Redisti