Langit sedang sedih hari ini. Kira-kira gerimis atau deras? Mungkin deras jika dilihat dari awan hitam nan gelap yang berkumpul. Dan sepertinya akan disertai angin. Sebaiknya Ira masuk ke ruang kerjanya sekarang. Karena cuaca diluar sudah mulai dingin. Beberapa menit kemudian setelah masuk ke ruang kerjanya, hujan turun dengan deras. Benar dugaanku, kata Ira dalam hati.
“Ira” panggil Digo dengan nada pelan. Digo adalah rekan kerjanya. Digo juga satu ruangan dengan Ira. Ira menoleh ke asal suara tersebut. Digo tersenyum tipis dan mengangkat kedua alisnya, “Hanya mengetes telingamu” ujar Digo lalu kembali menatap laptop dihadapannya. Ira menggeleng-gelengkan kepalanya. Begitulah Digo. Ira sudah terbiasa dengan perilaku Digo yang tidak jelas.
Jika diingat-ingat lagi, awal pertemuan Ira dan Digo sangat tidak terduga. Pertemuan mereka diawali oleh hujan. Saat itu mereka kebetulan berangkat menuju ke kantor, lalu tiba-tiba turun hujan. Ira lupa membawa payung. Kemudian datanglah Digo untuk menawarkan payung pada Ira. Ya. Kira-kira begitu awal pertemuan mereka. Dan sekarang Ira dan Digo sedang menjalin hubungan tanpa status. Hubungan ini tidak diketahui siapapun. Orang-orang kantor mengira bahwa Ira dan Digo hanya sebatas teman, padahal sebenarnya lebih dari itu.
Ira merasakan ponselnya berdering. Seperti ada seseorang yang mengirim pesan padanya. Ira berhenti menatap laptop, lalu membuka ponselnya sebentar. Ira ingin tahu siapa yang mengirim pesan padanya. Ternyata Digo. Dalam pesan itu, Digo bertanya hari ini akan berkencan dimana. Ira memutuskan untuk membalas pesan Digo nanti. Sekarang, ia harus fokus pada pekerjaannya.
Samar-samar terdengar suara langkah kaki mendekati mejanya. Ira mengabaikan suara langkah kaki tersebut dan tetap fokus menatap laptop. Langkah kaki tersebut berhenti di mejanya. Lalu ada tangan seseorang yang tiba-tiba menggenggam tangannya. “Ira, bolehkah aku meminjam penamu?” tanya Digo. Benar, itu adalah tangan Digo. Juga suara Digo. Ira mengangkat kepala dan mengangguk pelan.
“Dimana?” tanya Digo lagi. “Oh disitu, aku menemukannya” ujar Digo. Setelah menemukan pena tersebut, Digo mengucapkan terima kasih sambil mengelus tangan Ira dengan lembut dan pelan. Mendadak Ira merasakan jantungnya berdebar kencang.
—
Kini aku dan Ira sedang makan di sebuah warung dekat apartemenku. Warung itu adalah saksi perjalanan hubunganku dengan Ira. Sesekali aku merasakan tumbuhnya benih-benih perasaanku pada Ira, tetapi aku dan Ira telah sepakat menjalin hubungan tanpa status. Entah bagaimana perasaan Ira padaku. Mungkinkah dia juga menyukaiku atau hanya aku yang menyukainya? Aku mengedikkan bahu.
Aku tahu yang kurasakan ini salah. Apalagi ketika mengetahui bahwa kita sebatas hubungan yang tak berstatus. Lantas, harus kuapakan perasaan ini? Haruskah kupaksa pergi? Atau aku menyatakan perasaanku dan hubungan kita selesai disini? Oh, ini sungguh pilihan yang rumit. Lebih rumit daripada soal ujian pilihan ganda. Entahlah. Aku tak tahu jawabannya. Dan aku juga terlalu takut untuk menanyakan perihal status kita. Tanpa perlu bertanya pun sudah jelas jawabannya. Aku tertawa kencang dalam hati. Ya, hubungan tanpa status. Tentu saja kita tak ada status.
“Digo” panggil Ira dengan suara pelan. Seketika lamunanku buyar. Aku menanggapinya dengan tersenyum tipis. Ira mengangkat sebelah alisnya seolah bertanya. Aku malah mengangkat kedua alisku. Aku tak menangkap apa maksud tindakannya tadi.
“Ada apa denganmu? Kau seperti… ada masalah. Kau sakit kepala lagi? di bagian mana yang sakit?” tanyanya penasaran sambil memegangi kepalaku untuk mencari bagian mana yang membuatku sakit. Aku menelan ludahku sejenak. Aku merasakan jantungku hampir meledak. Astaga, ada apa denganku? Sadarlah! Aku dan Ira tidak ada status apa-apa. Aku menyingkirkan kedua tangan Ira dari kepalaku dan menggelengkan kepalaku. Artinya aku tidak sakit kepala dan aku sangat baik-baik saja.
Ira mengalihkan tatapannya dariku, “Oh, baiklah kalau memang begitu” katanya dengan perasaan lega. Lalu, Ira menggenggam tanganku erat. Tidak, ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus mengatakan bahwa aku menyukainya. Ya, aku harus memperjelas status kita, batinku. Kutatap Ira yang kini sedang menyandarkan kepalanya di bahuku. Membuatku benar-benar semakin tidak bisa menahan perasaanku. Aku mengelus rambut Ira dengan lembut.
“Ira, bagaimana jika sebenarnya aku menaruh perasaan padamu?” tanpa basa-basi, aku langsung menanyakannya pada Ira. Ira terdiam cukup lama. Suasana menjadi hening. Begitu juga suasana warung yang tadinya ramai menjadi agak sepi. “Lalu, bagaimana jika aku juga menaruh perasaan padamu?” dia seperti bertanya, tapi juga seperti mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya. Dan kita berdua pun diam mematung. Lalu samar-samar terdengar hujan.
—
Ira berkali-kali menguap. Sejujurnya, semalam dia tak bisa tidur karena memikirkan pertanyaan Digo. Ketika di kantor pun ia masih memikirkan pertanyaan Digo. Apa maksud pertanyaan Digo? Apakah Digo menyukainya? Atau Digo hanya bercanda? Ah, pasti bercanda. Sejak awal kita sudah menjalin hubungan tanpa status. Jadi, pasti dia hanya bercanda. Hari ini, Ira memergoki Digo yang curi-curi pandang ke arahnya. Digo juga melempar tatapan khawatir kepada Ira. Tiba-tiba Ira malas melakukan kegiatan apa-apa. Ira merasa sedikit gelisah karena pertanyaan yang dilontarkan Digo. Digo sendiri tidak menjawab pertanyaan Ira. Lalu, apa artinya itu? Sudah jelas bercanda.
Digo: Tidurmu nyenyak? Digo: Ada apa? Apa orang-orang kantor berbuat jahat padamu? Digo: Mengapa wajahmu pucat seperti orang sakit?
Itu pesan dari Digo. Ira hanya melihatnya tanpa ada rasa ingin membalas. Pesan yang dikirimkan Digo cukup banyak. Ira tak tahu harus membalas pesan Digo seperti apa. Kemudian, Ira mematikan ponselnya dan mencoba kembali fokus pada pekerjaannya yang menumpuk.
“Ini penamu” sahut Digo tiba-tiba. Astaga pria ini sangat tidak sabaran. Sejenak Ira menoleh ke asal suara. Tidak hanya itu saja. Digo juga menggenggam tangan Ira secara tiba-tiba. Membuat Ira mengangkat kedua alisnya. Dan keduanya saling bertatapan.
“Aku menyukaimu, Ira” ungkapnya setelah menatap Ira dengan intens. Kemudian, seseorang mengetuk pintu ruangan kerja Ira. Ira melepas genggaman tangan Digo, tetapi Digo tidak mau melepas. Sekali lagi seseorang mengetuk pintu. Ira terpaksa membiarkan Digo menggenggam tangannya dan mempersilahkan seseorang itu untuk segera masuk. Untung meja kantor Ira terhalang oleh papan kayu yang cukup tinggi dan lebar, sehingga seseorang itu tidak bisa melihat bahwa Ira dan Digo sedang berpegangan tangan. Namun pandangan Digo kini beralih ke kaca sambil mengelus tangan Ira.
—
“Jadi, kau ingin mengakhiri hubungan tanpa status lalu kita…” jelas Ira, namun sengaja berhenti di akhir kalimat. Digo mengangguk. Paham apa maksud Ira. Ira beralih menatap ke arah pintu kafe. Ya, mereka sepakat bertemu dan berbicara sejenak mengenai kejadian kemarin malam. Mereka bertemu di sebuah kafe dekat rumah Ira. Ira memijat pelipisnya perlahan. Ia mendadak merasa pusing.
Digo berdeham, “Begini, sebelumnya aku minta maaf karena membuatmu bingung. Tetapi sebenarnya aku sudah sejak lama menyimpan perasaan padamu, Ira” sesal Digo sambil masih memandangi Ira dengan lamat. Mendengar hal itu, Ira pun menoleh lagi ke arah Digo. Kedua alis perempuan itu bertaut.
“Lalu, mengapa kau menjalin hubungan tanpa status jika kau menyimpan perasaan padaku?” tanya Ira dengan raut wajah heran. Digo menundukkan kepala. Dia merasa bersalah karena melakukan hal tersebut padahal dia sendiri sudah lama menyimpan perasaan pada Ira. Dan berakhir mengucapkan kata ‘maaf’ lagi. Ira menghembuskan napas panjang.
“Baiklah, aku memaafkanmu. Lain kali kau harus jujur padaku. Aku tidak suka pria yang berbohong seperti ini” omelnya. Digo senang ketika mengetahui bahwa Ira memaafkan dirinya. Seketika Digo kembali mengangkat kepala dan menatap Ira.
“Nah sekarang, bagaimana dengan jawabanmu?” Digo meminta jawaban pada Ira. “Hm, akan kucoba” jawab Ira.
“Jawaban apa itu? Aku tak mengerti apa maksud jawabanmu, Ira” goda Digo. Padahal Digo sudah mengerti jawaban Ira.
Cerpen Karangan: Purwati Blog / Facebook: tidak ada dirahasiakan