Aku masih mengingat dengan sangat jelas saat aku masih memilikimu. Kita berlatih di tempat yang sama. Mengeluarkan tenaga, menghabiskan energi dan dibanjiri keringat bersama.
Taekwondo. Beladiri satu ini sungguh istimewa bagiku. Aku punya keluarga dan seseorang yang berharga bagiku karena beladiri ini. Kenangan saat perasaanku menggelora karenamu seringkali terlintas di pikiranku.
Saat itu kau bertanya padaku “mau gak jadi pacarku?” Satu kalimat dan kau berhasil membuat kupu-kupu di perutku beterbangan secara serentak. Menimbulkan perasaan yang baru pertama kalinya kurasakan. “iya” aku menjawab tanpa berpikir dua kali, sambil salah tingkah dan menunduk malu di hadapanmu, kita akhirnya berpacaran setelah setahun lebih berteman.
Bersamamu sambil menyandang status pacar sudah kujalani selama empat bulan. Hari-hariku yang monoton berubah menjadi pelangi yang penuh warna.
Hari itu. Pelatih yang biasa kita panggil sabam mengizinkan kita pulang lebih cepat karena hujan yang semakin deras menguyur lapangan outdoor tempat kita latihan. Seperti kebiasaanmu, kau akan mengantarku pulang dengan berjalan kaki bersama.
Aku ingat saat itu kita sedang berteduh bersama yang lainnya, mendadak kau mengenggam pergelangan tanganku dan mengajakku berlari menembus ratusan tetesan air hujan. Saat ini aku bahkan masih bisa merasakan perasaan bahagia yang kualami saat itu.
Terulang di pikiranku, adegan-adegan novel, film dan drama yang sering menjadi bahan imajinasiku. Dan tak kusangka kau membuat imajinasiku menjadi nyata.
Aku bahkan tak menyangka rasanya akan sebahagia ini. Bahkan kata bahagia, senang, dan gembira tak dapat menggambarkannya, yang kurasakan lebih dari itu.
Aku tersenyum padamu dan akhirnya tersadar dan berbisik “aku pakai baju putih, takutnya nanti jadi transparan karena air, gimana nih?” Kau menatapku lalu “ayo” dengan tanganmu yang masih di pergelanganku, kau menarikku dan kita berlari menuju sebuah rumah kosong.
Berteduh di teras rumah itu bersama, dan kau lalu melepas jaket hitammu dan memberikannya padaku “pakai” seperti kebiasaanmu yang selalu menghemat kata tapi meskipun hanya satu kata, aku selalu dapat merasakan dengan jelas perhatian yang kau tujukan untukku. Kau membuatku nyaman dengan hal-hal sederhana.
Saat aku selesai mengenakan jaket, aku mendengarmu tertawa “hahaha, kebesaran” kau terkikik geli melihatku. Dengan sisa-sisa tawamu, kau membantuku mengenakan tudung kepala lalu menepuk kepalaku beberapa kali dan kembali mengajakku berjalan.
Kita tak lagi berlari, kau berjalan cukup pelan di bawah guyur hujan. Aku benci hujan, tapi itu dulu, saat ini aku bahkan berharap hujan tak akan berhenti.
“Masukkan tanganmu di saku jaket. Pasti dingin” Kau mengkhawatirkanku akan kedinginan, kau bahkan tak sadar, aku melihatmu gemetaran karena kaos tipis yang melindungimu tak mampu menahan dingin.
Kau gemetaran dan melipat tanganmu di depan dada tapi tak terlihat sedikit pun kau berniat meminta kembali jaketmu.
Aku masih ingat betapa cepatnya 45 menit berjalan saat itu, perjalanan yang bisa kita tempuh dalam 15 menit, hari itu kita melaluinya dengan 45 menit.
Waktu berjalan sangat cepat, aku berharap dapat menghentikan waktu saat itu juga tapi aku sadar aku tak bisa seiring dengan berhentinya ceritamu.
Kau menyuruhku segera masuk dan aku dengan engan melepas jaketmu menyisakan harum khas dirimu di tubuhku yang sedari tadi menjagaku tetap hangat.
Dari depan rumahku, aku menatap punggung tegakmu yang perlahan menjauh. Masih teringat dengan jelas aku tersenyum sambil melihatmu menghilang dibalik guyuran hujan yang semakin deras. Saat itu kau menyadarkanku untuk selalu bersyukur karena memilikimu.
Hingga akhirnya setelah dua puluh empat jam setelah itu, kau membuatku mengerti bahwa kita tak selamanya dapat memiliki. Bahwa aku sudah terlalu lama hidup dalam dongeng. Ini waktunya aku terbangun. Waktu bersamamu termasuk juga kemarin, terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Karena esok harinya, malam hari saat aku baru saja ingin tidur, aku menerima satu pesan darimu, cukup singkat tapi berhasil membuatku mengerutkan kening dan membacanya berulang kali.
“Gimana kalo kita jadi teman aja?”
Setelah beberapa menit mencoba berpikir saat itu akhirnya aku tertawa, kau bercanda. Aku yakin dan ingin percaya bahwa kau benar-benar sedang bercanda akan hal itu “hahahaha jangan bercanda deh” aku membubuhkan banyak sekali smile tawa diakhir kalimat balasanku. Dan balasan selanjutnya darimu membuatku langsung menitikan airmata. “Gue nggak bercanda. Maksud gue, gimana kalo kita putus aja”
Aku bernafas seperti baru saja selesai berlari marathon, kebiasaanku saat sedang gugup atau tegang. Aku menghembuskan nafasku kuat-kuat berusaha menenangkan diriku.
“Tapi kenapa?” “Gak kenapa-kenapa. Gue sayang lo, cuman gue rasa kita lebih baik berteman aja.” “Kalo kamu sayang kenapa mau putus? Bosan?”
15 menit. 30 menit. 1 jam. 2 jam.
Malam itu detak jam yang menjadi satu-satunya bunyi dalam kesunyian sama sekali tak membuatku sadar akan waktunya beristirahat. Aku masih ingat saat itu aku menggenggam ponselku dengan tangan gemetaran menunggu balasan darimu. Berharap kau akan membalas dengan mengatakan bahwa kau hanya bercanda. Tapi setelah dua jam lebih menunggu. Kau tak lagi mengirimiku pesan.
Saat ini aku bahkan masih bisa merasakan betapa sesaknya aku saat itu. Menangis sendirian di pojok kamar tanpa sedikitpun cahaya. Dan berusaha meredam tangis dengan menutup wajahku dengan bantal. Bisakah kau rasakan betapa sesaknya itu?
Esoknya. Aku merindukannya. Sangat merindukannya. Baru pertama kalinya aku merasakan betapa sakitnya menahan rindu. Aku memutuskan mengambil handphone dan menginstal kembali aplikasi facebook untuk menggunakannya kembali. Aku mengetik namamu di kolom pencarian dengan tangan gemetar. Bertanya-tanya apakah yang kulakukan ini benar atau salah.
Dan beberapa detik kemudian, tepat saat namamu muncul pada layar. Wajah seorang gadis cantik menjadi foto profilmu. Aku memutuskan melihat lebih banyak dengan membuka akun facebookmu.
Setelah hampir setengah jam melihat-lihat semua postinganmu. Aku baru saja menyadari, facebookmu penuh dengan foto dirinya. Gadis cantik itu. Lalu di kolom komentar foto profilmu yang kau posting seminggu lalu, kau menjawab sebuah pertanyaan “siapa nih?” Dari seseorang yang bahkan tak kukenal. Dan jawabanmu membuatku kembali menitikan airmata. “Pacar”
Dia membuatku menyadari satu hal.
Aku tak boleh jatuh cinta.
Cerpen Karangan: Fiona Pa Padja Blog / Facebook: Fiona Pa Padja