Ayesa Reinata, gadis berusia enam belas tahun itu memasuki ruang kelas barunya dengan kaku, seolah kakinya ditahan oleh talian godam. Sudah dua hari ini dia berada dalam sekolah barunya yang berisi siswa-siswi berkualitas.
“Kamu kenapa, Ren? Kok dari tadi aku lihat kaya kurang semangat begitu?” Tanya Alisia selaku teman sebangkunya. Rena menoleh dengan tatapan menyiratkan dirinya baik-baik saja. “I’m fine, Lis. Kamu kenapa enggak pergi ke kantin?” “Kan sekarang udah masuk, Ren.” Alisia memiringkan tubuhnya hingga sepenuhnya menghadap Rena. “Kamu kenapa sebenarnya? Biasanya kamu fokus orangnya,” “Kamu belum kenal aku, Lis.” Lalu Rena menenggelamkan kepalanya ke lipatan tangan untuk menidurkan dirinya sejenak, setidaknya nanti otaknya bisa di-refresh.
Semua siswa di kelas larut dalam kegiatannya masing-masing. Ini karena guru yang seharusnya mengajar–Pak Wahyu selaku guru matematika–berhalangan hadir. Tentu itu menjadi surga bagi siswa kelas XI-IPA-2.
Bunyi bel tiga kali berdering menandakan waktunya pulang. Alisia membangunkan Rena. “Rena, ayo pulang,” ucap Alisia. “Emang udah waktunya?” “Sudah. Ayo!” Alisia membereskan beberapa tumpukan buku yang masih berserakan di bangku Rena. “Ayo,”
Rena berdiri dan berjalan dengan gontai, sejajar dengan Alisia. “Lesu banget. Kenapa sih?” “Sehari ini kamu udah nanya ‘kenapa’ ke aku berapa kali, Lis?” “Sehari ini kamu enggak jawab pertanyaanku berapa kali, Ren?” Tanya Alisia, menirukan ucapan Rena sebelumnya.
Cewek itu tersenyum geli melihat ekspresi Rena berubah cemberut. Lalu Alisia meledakkan tawanya dan mengalungkan tangannya pada leher Rena. Keduanya berjalan beriringan melewati jalanan setapak menuju rumah mereka. Ya, Alisia dan Rena berada dalam satu perumahan sehingga tidak memungkiri dua hari ini mereka pulang bersama, atau bahkan tiga hari ini.
Namun ketika Rena akan melewati jembatan, kepala Rena terasa pening setelah bunyi tuk mengenai kepalanya. “Aduh!” Pekiknya. “Kenapa?” Panik Alisia melihat kondisi sekitarnya. “Kamu kenapa, hei?!” “Nggak tau, nih. Kaya … kaya ada yang ngelempar sesuatu ke kepala aku,” ucap Rena pelan seraya memindai keadaan sekitar. Tidak ada siapa-siapa selain mereka berdua.
Rena mengembuskan napasnya pelan dan mengajak Alisia untuk segera pergi dari tempat itu. Namun lagi-lagi kepalanya menjadi sasaran kerikil nyasar. “Duh, siapa sih?!” Rena membalikkan tubuhnya dan mendapati seorang cowok berseragam berbeda dengannya, membawa katapel di tangan kirinya.
Penampilannya biasa saja, tidak terlalu tampan dan juga tidak hancur-hancur banget. Sedang. “Siapa kamu?!” Sergap Alisia, “ngapain ngelemparin gituan ke temen aku, situ punya masalah ya?!”
Cowok yang namanya terbordir rata di atas dadanya tersenyum mengejek. Rena dan Alisia sempat melirik namanya, Darian Kendra. Namanya lumayan keren.
“Siapa aku tidak penting, dan aku nggak berurusan sama kamu!” Darian menuding Alisia hingga cewek itu memundurkan langkahnya karena terkejut. Kini tatapan tajam Darian tertuju penuh ke arah Rena yang bergeming. “Rena? I mean, Ayesa Reinata putri pemilik toko kue depan lampu merah kan?” Seperti mengikuti alur, Rena mengangguk tanpa berani menatap balik manik mata Darian. Bahkan dia juga meneguk salivanya yang sempat tercekat. “Senang bisa ketemu orang seperti kamu, dan kamu tahu siapa aku?” Ucap Darian dengan nada sok kerennya.
Alisia maju lagi satu langkah dan menghalangi pandangan Darian yang tertuju pada Rena. “Heh! Kalau emang obrolan kamu itu tidak penting, mending nggak perlu dibicarain. Time is money, Bos!” Lalu Alisia menarik lengan Rena untuk menjauh.
Akan tetapi, baru beberapa langkah, Darian mencekal tangan Rena. “Aku menemukanmu. Dan jangan pura-pura tidak mengenalku. Re-na.” Rena menatap tangannya yang masih dipegang oleh Darian, lalu secepat angin menatap nyalang pemuda itu. “Lebih baik pura-pura tidak kenal, ‘kan? Daripada kenal namun hanya bersatu dengan pertengkaran? Kamu tau, itu fakta yang seperti bumerang ketika aku mengungkitnya lagi. Permisi.”
Alisia sempat membeku sama seperti Darian. Rena terlebih dahulu enyah dari hadapan keduanya. Dengan air mata yang sempat menetes satu kali. Rena tidak ingin menangisi hal yang sama dan berulang. Tidak ingin sama sekali.
—
“Aku penasaran, Ren. Tolong cerita yang detail! Yang jelas! Plis,” Alisia memandang Rena dengan wajah memelas.
Setelah kejadian tiga hari lalu, lebih tepatnya ketika Darian tiba-tiba muncul kembali ke hadapan Rena, Alisia terus-terusan mengebom pertanyaan kepada temannya itu. “Kenal sama dia? Cowok kamu, Ren? Atau … man-tan?”
Rena mendengus sebal melihat tingkah ke-kepoan dari temannya. “Lis,” “Iya-iya. Manusia setengah setan, ‘kan? Tau kok bakal ngomong gitu,” “Aku bakal ceritain kamu besok setelah–”
Dari pintu Ado–ketua kelas, meneriaki nama Rena dengan kencang. “RENA!!” “iya…” Jawab Rena dengan suara yang menurutnya sudah full. “RENA!!!” Alisia menggebrak meja dan melotot ke arah Ado. “WOI! NGGAK PERLU TERIAK BISA KALI! INI KELAS, BUKAN HUTAN!” “Yee, sewot! Rena buruan, kamu disuruh ke pos satpam.” Ucap Ado lalu berjalan meninggalkan kelasnya untuk ke kantin.
Akhirnya Rena mengikuti perintah Ado tadi. Kali ini dia berjalan sendirian karena Alisia juga masih mengerjakan PR dari Bu Dalil, guru bahasa indonesia. “Paling Ibu, atau nggak ya … Ayah. Siapa lagi?” Batinnya menerka-nerka.
Cewek itu tercekat beberapa detik di depan pos satpam. Matanya sudah mendelik lebar dengan bibirnya terbuka. Jantungnya lebih berdebar ketika sosok di depannya berbalik. Dia tersenyum, senyum yang mampu melukai Rena dengan hantu rasa bersalahnya. “Da … darian?” Cowok itu tersenyum sambil menaikkan sebelah alisnya.
“Ngapain kamu di sini? Bukannya ini masih jam sekolah?” Darian mengurut hidungnya sendiri lalu menyentuh hidung Rena. “Dari sinyal yang aku dapat, kamu belum makan karena sibuk dengerin pertanyaan teman kamu seputar … aku? Iya, ‘kan?” Cowok berjaket parka itu mengambil tangan Rena lalu meletakkan sebuah kotak makanan berwarna hijau muda. “Capcai jamur, enggak pedas. Dan suka hal yang berwarna hijau muda. Niat aku sih mau cari jamur hijau muda, tapi … ya you know, nggak ada.”
Rena menatap horor benda balok di depannya. Belum pernah menyangka bahwa Darian kembali hadir. Mengusik keputusannya dulu. “Kamu,” “Ssh, satu lagi.” Desisnya, Darian mengeluarkan sesuatu dari sakunya. “Tisu. Kamu suka belepotan kalau makan. Apalagi yang berkuah. Karena aku nggak bisa ngelapin, kamu bisa lap sendiri. Okay, Princess?”
“Dar…” “Eh iya, ada lagi–” “DARIAN! Dengarkan aku. Kita udah berakhir! Kenapa kamu masih kaya gini sama aku?” Darian menghela napasnya. Menampilkan senyum lebarnya. “Berakhir bukan artinya aku berhenti memberi cinta ke kamu. Tapi ini awal perjuangan aku meraih cinta nyata darimu,”
“Stop!” “Aku tau, kamu pindah gara-gara ngehindarin aku, ‘kan? I know, Ren. But … i’m still falling love to you, i love you more than you did before.” Darian memandang Rena dengan tatapan pembuktian bahwa pernyataannya bukan sekadar omong kosong belaka. Ada ketulusan terselip di baliknya.
Rena tercekat. Untuk beberapa saat dia diam. Merasakan gelenyar aneh yang semakin menggerogoti dadanya. “Berhenti! Kamu kepedan banget, ya? Aku pindah bukan karena kamu. Aku pindah karena ya… aku emang ingin pindah.” Faktanya, Rena memang pindah karena ingin menghindari Darian. Rena masih menyesali keputusannya waktu itu, tetapi apa boleh buat. Nasi sudah menjadi bubur. Bagaimanapun, bubur juga tidak bisa direinkarnasi menjadi nasi.
“Sudah. Aku enggak mau dengar lagi alasan kamu. Makan, ya.”
Sepeninggal Darian dari hadapan Rena. Cewek itu pun beranjak pergi ke dalam kelasnya lagi yang kebetulan jam kosong. “Loh, Bu Dalil nggak masuk, Lis?” Alisia yang sibuk bermain candy-crush menggelengkan kepalanya. Rena hanya manggut-manggut. “Mau makanan?” Tawar Rena. Teman sebangkunya itu langsung menoleh dan matanya melebar. “Mau, mau! Mana?”
Rena mengambil napas pelan dan mengembuskan napasnya kasar. Dia menggeser kotak makan hijau muda itu ke meja Alisia. “Dari siapa, nih? Tumben,” “Ibu yang masakin,” bohong Rena.
Lantas Alisia membuka isi makanannya dan menemukan secarik catatan kecil di atas kotak. Dia melirik sekilas ke arah Rena yang memandangi pintu dengan tatapan kosong.
Dear, Rena
Makan yang banyak, ya. Kalau kamu enggak makan, nanti sakit. Kalau kamu sakit, aku lebih sakit lagi. Kenapa? Karena aku bukan lagi siapa-siapa dalam hidupmu, jadi aku nggak punya hak untuk mengobati luka itu.
Atau bahkan ketika aku baru saja menyentuh luka itu, malah tambah lebar. Aku bukan anak PMR. Aku cuma cowok yang enggak pernah punya malu untuk dapat cinta itu lagi.
From your ex-bf
“BF? Demi apa boyfriend?” Celetuk Alisia membuat Rena kontan menoleh. “Dari mantan kamu?!” Rena tergagap dan merebut kertas itu lalu memasukkannya ke dalam sakunya. “Apa sih, Alisia! BF itu … Best Friend!” “Yakin? Soalnya … ulu ulu, so sweet banget mantan kamu. Duh, makan nggak ya? Ah, kamu aja deh, Ren yang makan.” Alisia menggeser kotak makan itu lagi ke hadapan Rena. “Darian, ‘kan?” “Bukan!” “Kalau sewot, tandanya iya.”
Lagi, di malam sabtu yang dingin ini. Seorang gadis berseragam SMA masih berdiri tepat di jembatan. Meremas pegangan di tangannya serta giginya saling beradu. Tak lama setelahnya, seseorang menyentuh urat-urat tangannya. Rena otomatis menoleh.
“Lama?” Tanya dia. “Menurut kamu saja bagaimana?” Ketusnya. “Rena, tidak bisakah kita seperti dulu?” Cowok itu berkata dengan berkaca-kaca. “Tak bisakah?” Rena menoleh dengan kilatan amarah di matanya. Kedua pelupuk sudah mencembung. “Kamu ingin aku menjilat lagi ludah yang sudah aku keluarkan?”
“Rena…” “Kita memang bersama dulu, Darian. Namun sekarang sudah berbeda lagi. Itu semua karena kamu!” Selorohnya dengan suara yang bergetar.
Tes. Satu tetes air matanya menetes, membuat hati Darian semakin hancur.
“Kita pisah ini juga demi kebaikan kamu,” tambah Rena. “Demi kamu.”
Darian mengacak rambutnya frustrasi. Mengalihkan pandangannya ke arah aliran sungai yang menampakkan pantulan bulan. Dia menggeleng perlahan. “Enggak. Kamu hanya memikirkan dirimu sendiri. Pernah nggak sedikit terlintas bahwa aku sekarang sangat menyedihkan? Kutanya, pernah?”
Rena tercekat. Dia bergeming dengan tangannya yang terkepal. Lalu melayangkan kepalan itu ke rahang wajah Darian hingga cowok itu mundur beberapa langkah. Air mata perempuan itu sudah mengalir deras membentuk sebuah sungai kecil di pipinya. “ITU JAWABANNYA!”
Kemudian Rena mengarahkan pandangannya ke arah lain. Membiarkan tatapan Darian yang semakin bingung olehnya. “Oke…” gumam Darian lalu mengeluarkan sebuah liontin dari sakunya. “Take it,” meletakkannya ke dalam genggaman Rena.
Keduanya kemarin memutuskan untuk bertemu di jembatan sebelah toko bunga yang kemarin-kemarin sempat mempertemukan mereka. Di sana juga menjadi saksi pertengkaran hebat yang terjadi antara Rena dan juga Darian.
“Aku punya permintaan, kamu berhenti ganggu hidup aku!” “Dan aku juga berhak meminta, kamu tetap di sisi aku!” Balas Darian tak mau kalah. “Darian!” “Rena!” “Pergi dari hidup aku, Darian! Kamu sudah seperti parasit tau nggak?!” Bentak Rena membabi buta. “Jaga dirimu baik-baik. Aku janji enggak bakal jadi parasit lagi,” senyumnya berkembang. Menambah jengkel Rena.
Rena mendengus lalu beranjak pergi. Bahkan dia juga tidak sadar jika sedari tadi dirinya menggenggam liontin itu dengan erat. Entah perasaan apa yang ada di hati Rena saat ini. So sorry, Darian.
Setelah memantapkan hati, Rena memutuskan untuk menceritakan masalahnya kepada Alisia. Sekarang keduanya berada di tempat yang sama, taman sekolah.
“Jadi-jadi? Darian itu siapa?” Tanya Alisia dengan menggebu-gebu. “Dulu, aku sama Darian pacaran. Aku akui, Darian itu tipe cowok yang baik dan perhatian. Dia setia banget. Dan, semuanya berakhir begitu saja karena aku mutusin dia. Kamu tau kan, Lis? Darian itu anaknya Pak Lasmo, orang yang selama ini nyusahin ayah dan ibuku. Beliau itu rentenir.”
Alisia manggut-manggut. “Jadi, aku simpulkan. Kamu egois dan memandang perjuangan orang dengan sebelah mata.” Rena tercekat. Dia menelan ludahnya dengan susah payah. “Tapi, Lis,” “Kalau aku tidak mau berteman dengan kamu karena kamu cuma anak tukang kue, sakit nggak dengan kenyataannya?” Tanya Alisia. “Sakit, lah.” Lirihnya. “Yang lintah darat kan ayahnya, bukan anaknya. Sekarang kamu pernah dengar kan slogan tentang AIDS ‘jauhi penyakitnya, bukan orangnya’? Aku rasa kamu cukup pintar untuk mencerminkannya sendiri.”
—
“Bu, ini kenapa tutup?” Rena memperhatikan papan tokonya bertuliskan tutup. Bu Asih tersenyum simpul ke arah putrinya. “Kuenya habis. Diborong sama anaknya Pak Lasmo.” “APA?!” “Ih, kenapa? Kok kaget gitu?” Tanya Bu Asih. “Eh, enggak. Nggak pa-pa, Bu. Alhamdulillah,”
Setelah itu Bu Asih memeluk putrinya yang masih syok. “Kita sudah bebas dari utang, Nak. Pak Lasmo enggak jadi minta bunga. Ibu senang sekali. Pasti nanti ayahmu pulang kerja juga senang.”
Mata Rena mendelik lebar. Ada sedikit rasa bersalah pada Darian. Apalagi dengan menyentuh liontin yang melingkari lehernya. “Darian,” batinnya. “Bu, aku mau pamit ke rumah teman sebentar ya,”
Tanpa menunggu jawaban ibunya, Rena berlari sekuat tenaga menuju Darian berada. Walau dia tidak mengetahui dimana keberadaannya, Rena berlari hingga rumah dan jembatan sudah ia datangi. Namun hasilnya nihil.
Suara deringan ponselnya mengagetkan lamunan Rena. Dia merogoh benda pipih di sakunya. Nomor tidak dikenal. “Halo?” “HALO, REN! GAWAT!” “Kenapa?! Santai,” “GAK BISA ELAH!” “Apa sih, Lis? Ngomong apa?” “DARIAN KECELAKAAN, STUPID!” “APA?!” “Sabar, Ren. Di Rumah Sakit Kasih Muara, buruan ya…”
Rena memutuskan kontak panggilannya dan buru-buru mencari tumpangan menuju rumah sakit tersebut. Di perjalanan pun, Rena tak henti-hentinya menyalahkan dirinya sendiri. Dia juga tidak lupa berdoa dengan air mata yang terus menetes.
Saat sudah tiba di sana, tubuh Rena melemas melihat Alisia berlari ke arahnya dan memeluk tubuh Rena. “Ren…”
Rena menghempaskan tubuh Alisia dan berlari ke ruangan Darian. Dan pemandangan yang disuguhkan begitu menyesakkan. Tubuh Darian terbujur kaku dengan ditutupi kain putih yang menjuntai. Di sebelahnya terdapat beberapa kotak kue yang sebagian hancur, yang Rena yakini itu kue buatan ibunya.
“Darian… jangan main-main…” lirihnya dan berjalan dengan pelan mendekati Darian. Di situ juga ada Bu Erlis dan Pak Lasmo yang menangis duka. Dengan itu, Rena yakin kalau Darian tidak sedang main-main.
Rena menyibak kain putih itu, dan mendapati wajah Darian yang sedikit hancur. “DARIAN?!” Teriaknya mengguncang tubuh Darian. Gadis itu lemas dan berusaha memeluk tubuh kaku Darian. Kulitnya sudah dingin. “Darian! Kamu kemarin ngeyel ingin di sisi aku! Kenapa sekarang kamu pergi? Jahat tau nggak?!”
“Rena…” panggil Alisia mengusap bahu Rena.
“Aku nyesel senyesel-nyeselnya, Darian! Kalau kamu ingin tau, aku orang yang paling menyesal! Aku menyia-nyiakan kamu,” tangisnya semakin pecah seiring dengan tatapannya pada wajah rusak cowok itu. “Aku cinta sama kamu, Darian.” Gumamnya, dan semua berubah menjadi gelap.
Dulu, mereka begitu melekat. Hingga akhirnya datang keegoisan dan tidak mengenal menghargai perasaan orang lain. Jadilah mereka hancur, dan menyakiti sepasang hati. Cinta tidak hanya melulu soal romantis-romantisan, ada kalanya secuil masalah yang menghadapi kedua insan. Tahan atau tidak? Jangan biarkan perkataan sekarang menyebabkan penyesalan esok hari.
“Menghargai perasaan orang itu penting, apalagi perjuanganan kerasnya. Haruskah seseorang menghilang dahulu supaya kamu sadar jika keberadaan orang itu begitu berharga?”
Selesai
Cerpen Karangan: Yuli Ayu Agustin Blog / Facebook: Lilipft
