Seminggu sudah berlalu. Windu terlihat menghindari Raina. Bahkan tempat duduknya yang biasanya di dekat Raina telah pindah ke bangku kosong di depan.
Windu masih marah soal presentasi itu? Ya ampun. Tidak biasanya Windu seperti ini. Adakah sesuatu yang lain?
Raina bersumpah pada dirinya sendiri, bahwa dia akan mengalah, meminta maaf pada Windu saat dia datang ke rumahnya sore ini. Meskipun dia tidak yakin Windu akan benar-benar datang. Sekarang sedang hujan lebat, hujan disertai angin kencang yang mereka sebut sebagai badai.
Raina menggigit bibir. Perasaannya tidak enak.
Windu bilang ingin bicara, dan Raina tentu saja menerimanya dengan senang hati. Tapi sepertinya, yang akan disampaikan Windu bukanlah kabar baik.
“Raina,” terdengar suara tergesa Windu dari lantai bawah. Yang dipikirkannya sejak tadi pasti sudah datang.
Raina bergegas turun. Jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Dia… takut, dengan apa yang mungkin dikatakan Windu. Cara Windu menatap Raina akhir-akhir ini membuatnya berpikir kalau Windu mungkin sudah tidak menginginkannya lagi. Mungkin saja, Windu sudah terlalu lelah dengan Raina. Tapi… Mereka tidak akan putus cuma gara-gara itu, kan?
Raina mengatur napas di depan pintu sebelum membukanya. Setelah pintu terbuka, yang dapat Raina lihat hanyalah bagian atas kemeja putih Windu. Kembali, Raina mengutuk dalam hati karena tinggi badannya yang tidak memadai itu.
“Hai, Raina,” kata Windu. Raina mendongak menatapnya. “Boleh masuk? Disini agak basah.” Wajah Windu terlihat ragu, namun masih tetap tampan. Raina tersenyum kecil dan mengangguk.
Mereka berjalan bersisian dalam hening, menuju ke balkon kamar Raina. Disanalah mereka biasa mengobrol jika sedang di rumah Raina.
Mereka duduk bersisian di lantai keramik balkon, menatap matahari yang mulai turun melalui sela-sela pagar. Kilat sesekali menyambar tanpa suara, mengiringi tetesan air hujan yang mulai surut. Sebentar lagi, hujan pasti akan berhenti.
Masih hening. Windu terlihat makin ragu dan bingung. Mungkin bingung bagaimana harus memulai. Perut Raina melilit karena pemikirannya sendiri, kemungkinan bahwa Windu akan memutus hubungan mereka.
Guntur menyambar sekali, suaranya seolah merobek udara. Raina terlonjak, namun dapat menguasai diri dengan cepat.
“Rai,” akhirnya Windu memulai. “Kita… Sering bertengkar.” Dia bahkan tidak menatap Raina. “Iya,” kata Raina pelan.
Hening lagi. Bahkan jika hanya dilihat sekilas, Windu terlihat ragu.
“Kenapa? Kita emang sering bertengkar, kan?” kata Raina lagi. Windu mengangguk pelan. Hening lagi. Raina tidak tahan.
“Kamu kenapa, Windu? Ada yang salah?” Saat itulah Windu menatap Raina. Saat itulah, Raina sadar bahwa Windu terlihat kacau. Dia pasti benar-benar bingung.
“Kenapa, Ndu? Nggak usah banyak basa-basi deh.” Biasanya, Windu akan mencela Raina jika mengatakan itu. Tapi sekarang Windu hanya diam, mengalihkan pandngan.
Windu mulai bicara lagi tanpa menatap Raina. “Angin kuat, kalau ketemu hujan, bakal jadi badai, kan?” bibir Windu berkedut, menampilkan tanda-tanda senyum.
Raina ikut tersenyum, lebih lebar. Ditatapnya mentari yang masih bersinar terang meskipun sedang hujan. “Iya. Itu kesimpulan tugas yang waktu itu.”
“Dan badai biasanya dibarengin sama petir.” Senyum Raina memudar. Windu sedang mencoba untuk mengatakan apa? “Aku nggak ngerti. Tolong jelasin langsung aja, Ndu.”
Sebelah tangan Windu mengusap rambutnya sendiri. Dia bimbang. Jelas. “Kita… Punya banyak kesamaan,” kata Windu. Dia berhenti sejenak. “Terlalu banyak kesamaan.” Raina menelan ludah. “Terus?”
“Hujan dan angin yang sama-sama kuat akan menciptakan badai. Badai lebih banyak merusak daripada memperbaiki. Badai bisa membuat satu kota kacau balau. Dalam skala yang lebih besar, badai bisa menghancurkan dunia.”
“Windu…”
“Kita punya terlalu banyak kesamaan Raina,” akhirnya Windu menatap Raina. “Kita juga punya kekurangan yang sama. Kita nggak bisa melengkapi satu sama lain. Kita meningkatkan kelebihan kita, tapi juga memperparah kekurangan kita.
“Kita nggak bakal bisa bersatu.”
Mata Raina memanas, tahu ke arah mana pembicaraan ini akan berujung. Dia hanya bisa mengatakan apa yang akan dikatakan semua gadis jika berada di posisi seperti itu. “Apa masalahnya, Ndu? Kamu nggak sayang aku?”
Tangan Windu terulur, menyentuh wajah Raina, menyingkirkan anak rambutnya ke belakang telinga. Raina menggigit bibir. Air matanya menggenang. “Aku selalu sayang kamu, Rai. Tapi…”
Windu menghela napas. Pandangannya jatuh ke lantai. Tangannya kembali terkulai. Raina bisa melihat bahwa ini juga menghancurkan Windu.
Masih dengan posisi seperti itu, Windu melanjutkan, “Seperti hujan dan angin, jika mereka sama-sama kuat, lalu dipersatukan, mereka akan jadi badai, membawa kehancuran.”
Windu menatap Raina lagi. “Kalau kita disatukan, dunia bakal hancur. Dunia kita akan hancur.”
Dan saat itulah, air mata Raina jatuh.
—
Hujan hanya meninggalkan rintik-rintik air yang ringan. Matahari semakin turun. Kemungkinan besar akan ada pelangi, tapi tidak akan terlihat dari tempat mereka duduk.
Raina mengusap air matanya. Dia tidak akan menangis. Tidak akan. Tidak di depan Windu.
Windu meraih tangan Raina, meremasnya. Dia tidak sanggup melihat Raina menangis. Dia sungguh ingin memeluk Raina, atu menciumnya, apalah, asal Raina bisa baik-baik saja.
Tapi sepertinya, pelukan dan ciuman bukanlah ungkapan perpisahan yang tepat untuk saat ini. Raina masih tidak mau menatap Windu. Karena itu, Windu kembali bicara.
“Coba pikir deh, Rai, kalau kita tetep pacaran, dan suatu saat kita ngehadepin masalah besar, dan kita bertengkar, gimana jadinya?”
Windu tahu itu jahat. Tapi dia harus membuat Raina mengerti. Dia harus membuat Raina bisa melepaskannya, atau Raina akan selamanya seperti itu; menangis dan kecewa karena harus memenuhi ego Windu sementara egonya sendiri yang sama besar tidak terpenuhi. Tidak. Windu tidak akan sanggup melakukan itu pada Raina.
Melihat Raina tidak menjawab, Windu melanjutkan, “Raina, ego kita sama-sama terlalu besar. Nggak ada diantara kita yang bakal ngalah.”
Raina merenung. Windu benar. Mereka sama-sama egois. Bahkan Raina pun sadar kalau dirinya sendiri egois dan tidak ingin kalah dalam setiap hal. Windu benar.
Entah bagaimana bisa, Windu terkekeh sambil berkata, “Dunia bakal hancur kalau kita bersatu, Rai.” Mau tidak mau, Raina ikut tersenym kecil. Sekali lagi Windu benar. Dan perlahan, dia dapat menerima ini. Dia masih belum rela. Belum, tapi akan.
Menanggapi kekehan Windu, Raina membeo, “Yah, nggak bakal ada yang tersisa dari dunia ini kalau dua orang egois disatuin,” dia mendengus tertawa. “Semua penguasa bakal kalah.” “Semua orang bakal tunduk.” “Dan kita bakal nguasain dunia.” “Dan dunia bakal hancur waktu kita berkuasa.”
Dan mereka pun tertawa bersama. Tidak ada yang lucu sama sekali dari suasana percakapan mereka, mereka hanya menertawakan diri mereka sendiri. Menertawakan pola pikir mereka yang seringkali sejalan walaupun dengan cara yang berbeda.
“We’re too same to be one,” kata Windu setelah tawanya terhenti. Dia masih tersenyum, memandangi langit senja yang bertambah indah setelah hujan. “Yah, kita punya terlalu banyak kesamaan untuk bersatu,” sahut Raina, dengan objek pandangan yang sama.
Windu mulai bicara lagi. “We have too hard mind–” Dan Raina menyahutinya. “Too arogant–” “Too egoist–”
Windu terkekeh lagi, yang menular pada Raina. “Too dominan–” “Too smart–”
Tawa Raina berderai. Windu sangat bersyukur karena pola pikir Raina kurang lebih sama dengannya, sehingga dia bisa mengerti kenapa Windu melakukan ini.
Windu berarap dia bisa menghentikan waktu, agar setidaknya dia bisa melihat Raina tersenyum lebih lama lagi.
“Too strong–” “Too care–”
Senyum Raina menghilang.
“Too love each other…”
Windu menoleh seketika, menatap mata Raina yang kembali bersorot sendu. Dia tidak kuasa menahan dirinya.
Tangannya terulur ke wajah Raina, mengusap pipinya yang entah sejak kapan telah dialiri air mata. “Too love each other,” bisiknya sebagai persetujuan atas pernyataan Raina sebelumnya. “To be one.”
Dan Windu memeluk Raina, mencoba mengirimkan kehangatan pada gadis itu. Matanya terpejam, menghirup aroma rambut Raina yang telah dia kenali. Hatinya berbisik, dia berharap dapat mengirimkan bisikannya pada Raina.
Aku cinta kamu, Rai. Aku selalu cinta kamu. Tapi, hubungan kita nggak akan berhasil, dan kamu ngerti itu.
Hanya beberapa detik sebelum Windu melepas pelukannya. Dia menatap mata Raina lekat-lekat. Jemarinya bergerak menghapus air mata Raina yang tanpa sadar telah mengalir deras. Windu tidak akan tahu bahwa hal itu makin membuat Raina ingin terisak.
“Kamu ngerti, kan, Rai?” tanya Windu cemas.
Raina mengangguk. Windu benar. Windu selalu benar. Seulas senyum terbit di bibirnya. “Ya, tapi ini bukan cara yang bagus buat putus.” Windu tertawa kecil. “Maaf.”
Ya, tentu saja Raina mengerti. Bagaimanapun, cinta tetap butuh logika, meski hanya sepersekian persen.
Dan disanalah mereka, duduk berdua menatap terbenamnya mentari sebagai teman untuk pertama kalinya. Perasaan mereka masih sama seperti sebelumnya, tapi mereka tahu, bahwa perasaan itu harus dihilangkan.
Atau, jika mereka benar-benar kukuh ingin mempertahankan hubungan, merka harus memperbaiki diri mereka terlebih dahulu, menjadi pribadi yang bisa lebih mengendalikan ego masing-masing.
Cerpen Karangan: Cintana Hanuun Facebook: Hanuun Riza Biasa dipanggil Hanuun. Suka main wattpad dengan username “hanuunjan”