“Lelucon apa lagi ini yah?” Firman marah pada ayahnya setelah mengetahui rupa calon istrinya itu. “Tenang dulu, ayah bisa jelaskan. Soal itu ayah minta maaf tidak sempat ayah memberitahumu.” Kata ayahnya pada Firman yang masih diselimuti kemarahan. “Tapi kenapa aku harus dijodohkan sama orang yang punya keterbelakangan mental. Apa tidak ada perempuan selain dia?” Firman benar benar tidak percaya dengan keputusan ayahnya.
“Hai! Jaga ucapanmu nanti mereka dengar dan tersinggung.” Ayahnya mencoba menenangkan Firman. “Kalau begitu batalkan saja perjodohan ini!” Firman memutuskan secara sepihak. “Kamu sudah memberi keputusan tadi pagi, kalau kamu menerima perjodohan ini. Seorang laki-laki pantang menarik keputusannya.” Tukas ayahnya. “Tapi ini tidak adil. Ayah seolah-olah menjebakku. Andai aku tahu dari awal, aku akan pertimbangkan keputusan ini!.” Keluh Firman. Firman dan ayahnya terus berdebat.
“Kalian sedang membicarakan apa sih?” Tiba-tiba Bunga muncul dan seketika menghentikan perdebatan anak dan ayah itu. “Ah tidak, tidak ada. Kamu sedang apa di luar sini. Ayo masuk ke dalam di luar udaranya sangat dingin.” Ayahnya mengantar Bunga masuk ke dalam rumah.
Tak lama kemudian ayahnya kembali menghampiri Firman yang masih terpaku di taman belakang. “Ayo masuk ke dalam, mereka menunggu kamu. Ayah serahkan keputusan di tangan kamu. Apapun yang kamu pilih, ayah pasti dukung. Sekali lagi maafkan ayah.” Rayu ayahnya. “Baik!” Jawab Firman singkat.
“Jadi bagaimana, jadi kan kita menjodohkan kedua anak kita? Saya sudah menunggu momen ini selama belasan tahun lho.” Ibu Lina mencoba memulai percakapan. “Kami serahkan keputusannya pada Firman. Karena dia yang akan menjalaninya.” Jawab ayahnya Firman. “Bagaimana keputusanmu, nak?” Tanya bu Susi pada Firman.
Firman hanya terdiam. Melamun, pikiran dan hatinya terus berkecamuk.
“Nak.” Tepukkan tangan ayahnya di pundak membuat Firman sedikit tersentak dan membuyarkan lamunannya. “Mohon maaf sebelumnya. Keputusan saya…” Semua pandangan mata tertuju pada Firman, berdebar menantikan keputusannya. Namun kalimat Firman terhenti karena dia melihat sosok Ustad Amir ada di antara tamu yang datang.
“Keputusan saya, menyetujui perjodohan ini.” Lanjut Firman diiringi tepuk tangan dari seluruh tamu yang hadir pada malam itu. Ayahnya memeluk Firman dengan senyuman bangga karena keputusan yang telah diambil oleh anak kesayangannya itu namun dia tidak tahu bahwa keputusan itu hanya untuk menebus kesalahan Firman pada ayahnya.
“Tetapi saya minta pernikahan ini dilaksanakan secara sederhana tanpa pesta.” Ucapan Firman itu langsung menghentikan keriuhan di ruangan itu. “Lho, memangnya kenapa Firman?” Tanya ibunya. “Karena yang lebih penting adalah ijab kabul dan sah secara agama juga secara hukum. Pesta pernikahan juga bukan suatu hal yang diwajibkan dalam agama.” Ujar Firman dengan tegas. Padahal permintaan tersebut agar teman-temannya tidak mengetahui bahwa dirinya menikahi wanita yang mengalami Down Syndrom. “Baik! Kami akan turuti permintaanmu.” Jawab ayahnya dengan penuh wibawa.
Akhirnya pernikahan Firman dan Bunga pun dilangsungkan. Suasana hikmat dan haru sangat terasa kala kedua insan itu mengucap janji. Dan mereka pun telah resmi menjadi sepasang suami istri. Karena kondisi Bunga yang tidak memungkinkan bila harus hidup berdua saja bersama suaminya, akhirnya Firman memutuskan untuk tinggal di rumah ibu mertuanya supaya Bunga tetap ada yang menjaga dan menemani.
Setelah menikah Firman juga diberi pekerjaan oleh ayahnya menjadi pengawas di salah satu cabang perusahaan milik ayahnya. Ini bertujuan agar Firman bisa menafkahi istrinya.
Pagi ini Firman untuk pertama kalinya menjalani aktifitas sebagai seorang suami. Jika biasanya setiap bangun tidur yang menyapa hanya bi Darni pembantunya, kali ini yang menyapa adalah seorang perempuan sekaligus istrinya yang masih terasa asing bagi Firman.
“Selamat pagi mas! Sudah bangun ternyata. Ayo sini sarapan dulu.” Sapa Bunga saat melihat Firman keluar dari kamar.
Tidak ada satu kalimat yang terucap dari mulut Firman. Dia hanya memperhatikan meja makan yang sudah penuh dengan makanan sembari membetulkan simpul dasi.
“Ayo dicoba mas nasi gorengnya, ini aku sendiri lho yang masak.” Bunga menyajikan sepiring nasi goreng untuk suaminya. “Betul, ini Bunga yang masak. Sejak jam 5 dia sudah sibuk di dapur.” Sahut bu Lina. “Tidak disangka, biarpun Bunga seperti ini tapi naluri seorang istri tetap ada.” Gumam Firman dan dia pun mulai mencicipi makanan yang sudah tersaji di hadapannya. Namun saat makanan tersebut menyentuh lidahnya, Firman langsung tersendak dan mengeluarkan kembali makanan itu. Bunga dan ibunya yang melihat Firman tersendak langsung panik dengan cepat mereka memberi Firman segelas air minum.
“Kamu kenapa, mas? Kamu lupa baca doa sebelum makan ya jadi tersendak begitu?” Ucap Bunga dengan polos pada suaminya. “Buang semua makanan ini!” Perintah Firman pada istrinya. “Kok dibuang? Aku kan sudah susah payah masak buat kamu, mas.” Bunga menolak permintaan suaminya. “Memangnya ada apa dengan makanan ini, Firman? Seburuk itu kah hingga harus dibuang?” Tegur mertuanya yang heran dengan sikap Firman. “Ini makanan terburuk yang pernah saya coba. Jauh lebih buruk dari makanan para narapidana.” Celetuk Firman. “Kamu jahat, mas!” Mendengar ucapan suaminya, Bunga langsung menangis lalu berlari ke kamarnya. “Jaga ucapanmu, Firman!” Bentak bu Lina. “Biar bagaimanapun makanan itu buatan istrimu. Tolong hargai usahanya.” Bentak ibu mertuanya yang juga mulai terpancing emosi. “Sejak kecil saya selalu diajarkan berkata jujur dan objektif. Faktanya memang makanan ini tidak enak. Apanya yang bisa dihargai? Usaha seharusnya menghasilkan hasil yang bagus. Bukan sampah seperti ini.“ Ucap Firman yang kembali membenahi simpul dasinya. Bu Lina hanya bisa geleng-geleng kepala tidak percaya dengan sikap yang ditunjukkan menantunya itu. “Lagipula dia bukan anak kecil lagi, dia harus terbiasa menerima kritikan. Sudahlah, bu. Saya berangkat kerja dulu.” Firman mencium tangan ibu Lina lalu beranjak pergi menuju tempat kerjanya.
Sejak kejadian pagi itu, Bunga tidak mau lagi memasak untuk suaminya.
3 bulan kemudian. Seiring berjalannya waktu, tanpa terasa rumahtangga Firman sudah memasukki bulan ketiga. Selama 3 bulan tersebut setiap hari selalu ada masalah kecil yang dihadapi oleh Firman dan Bunga. Namun mereka mampu melewatinya walau harus diiringi air mata.
Pagi ini Firman sengaja berangkat ke kantor lebih pagi dari biasanya, bahkan sebelum istrinya terbangun dari tidurnya. Setiap pagi Firman selalu dibuat marah oleh ulah konyol Bunga. Oleh karena itu dia berangkat lebih pagi untuk menghindari masalah yang dapat mengganggu pikirannya.
Dan hari ini Firman sedikit mendapat hiburan karena dia bertemu dengan Simon teman lamanya semasa masih sama-sama menempuh sekolah menengah atas. Kini Simon telah menjadi salah satu pengacara terbaik di Indonesia.
“Aku salut dengan kau Firman, walaupun kau anak pengusaha sukses, tapi kau masih mau bekerja seperti ini. Di perusahaan cabang lagi.” Kata Simon pada Firman. Namun Firman hanya tersenyum kecut. “Kudengar kabar burung, kau sudah menikah ya sejak tiga bulan yang lalu. Benar begitu?” Tanya Simon sembari menyeruput secangkir kopi. “Ya begitulah.” Jawab Firman singkat. “Siapa perempuan yang kau jadikan istri? Veni pacar kau di SMA dulu, Angela si anak pejabat negara, atau Jasmine si lady rocker itu?” Ledek Simon dengan ringis di wajahnya. “Bukan salah satu dari mereka.” Jawab Firman sembari menuang kopi ke dalam cangkir. “Lalu?” Simon mulai penasaran. Belum pertanyaan itu terjawab tiba-tiba seorang sekuriti datang menghampiri Firman. “Anu… Maaf pak Firman, di luar ada seorang wanita yang memaksa masuk. Dia bilang mau menemui bapak.” Ucap seorang sekuriti dengan suara gugup.
Tak lama seseorang masuk ke ruang kerja Firman. Seseorang itu terus meronta dari sekuriti yang mencoba menghalanginya.
“Mas, ini aku bawakan makanan. Maafkan istrimu ini ya mas, tadi aku bangun kesiangan.” Ternyata seseorang yang memaksa masuk itu adalah Bunga.
Dan Firman pun langsung menarik Bunga ke ruang office boy. Dia tidak ingin seluruh karyawan tahu kalau yang baru saja membuat gaduh adalah istrinya.
“Mau apa kamu ke sini?!” Bentak Firman. “A… Aku cu… Cuma…” Bunga sangat gugup. “Cuma apa! Sama siapa kamu ke sini?” Tukas Firman seolah menginterogasi istrinya. “Sa… Sama pak Edi.” Ternyata Bunga diantar oleh supirnya. Firman langsung menarik keluar istrinya itu melalui pintu belakang.
“Halo!” Firman menelepon pak Edi. “Ha… Halo, Pak!” Jawab pak Edi dengan gugup. “Capat bawa mobil ke pintu belakang.” Titah Firman yang masih memegangi tangan Bunga. “Siap pak!” Tak lama sebuah mobil berwarna silver mendekat. Dengan kasar Firman memaksa Bunga masuk ke dalam mobil hingga rantang makanan yang dibawa istrinya itu jatuh berserakkan.
“Jangan pernah bawa dia ke sini lagi. Apapun alasannya!” Firman memperingati supirnya. “Ba… Baik pak!” Jawab sang supir yang ketakutan melihat majikannya marah. Sedangkan Bunga menangis di dalam mobil. Dia juga takut melihat sikap suaminya untuk pertamakalinya itu.
Firman pun kembali ke ruang kerjanya. “Maaf atas kejadian barusan mengganggu obrolan kita. Sampai di mana tadi?” Sesal Firman sembari membasuh peluh di dahinya. “Santai sajalah.” Jawab Simon singkat. “Benar yang barusan itu istrimu?” Simon kembali menyelidik. “Iya.” Jawab Firman sembari menarik nafas panjang. “Alamak! Cerdas kali kau pilih istri. Dapat dari mana kau? Semok kali istrimu. Ngomong-ngomong, bagaimana malam pertamanya, mantap tidak goyangannya?” Simon mencecar Firman dengan pertanyaan meledek. “Aku dijodohkan sama dia. Soal malam pertama, hmmm… Yang pasti tidak seperti saat kamu mencium Rahma.” Firman menjawab pertanyaan dengan balik meledek. “Halah! Masih saja kau ingatkan aku dengan momen memalukan itu.” Gerutu Simon raut wajah kesal. Sementara Firman tertawa puas melihat temannya itu kesal.
Dulu saat Simon masih berpacaran dengan Rahma, si gadis kampung yang sangat lugu ada momen memalukan yang tidak akan pernah dilupakan oleh Firman. Saat itu Simon mengajak Rahma berciuman di salah satu sudut taman. Tiba-tiba Rahma teriak histeris dan membuat seluruh orang yang ada di sekitar taman itu berkerumun karena mengira ada aksi kejatan.
Hari ini Firman libur bekerja. Dia memutuskan bersantai di rumah sembari membuat laporan di laptopnya yang belum sempat dia buat.
“Mas, hari ini kamu kan libur, kita jalan-jalan yuk. Aku bosen di rumah terus.” Rengek Bunga pada Firman yang sibuk mengetik. “Jalan-jalan kemana?” Tanya Firman tanpa menoleh. “Kemana saja asal jalan-jalan sama kamu.” Rayu Bunga dengan manja pada Firman. “Maaf, tidak bisa aku capek mau istirahat. Lagipula ada kerjaan yang harus aku selesaikan.” Jawab Firman lalu beranjak ke dapur untuk membuat secangkir kopi. Bunga merasa sangat kecewa atas keinginannya yang ditolak suaminya.
Belum lama Firman berada di dapur, tiba-tiba terdengar suara keras dari ruang tamu tempat dimana Firman mengerjakan tugas. Firman langsung berlari untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Dan betapa terkejutnya Firman dengan apa yang disaksikannya, laptop yang beberapa saat yang lalu masih dalam keadaan baik-baik saja kini sudah hancur berserakan di lantai.
“Bunga! Kamu apakan laptopku!” Bentak Firman pada istrinya yang terlihat ketakutan. Tak lama ibu mertuanya muncul dan langsung memeluk Bunga yang tengah menangis ketakutan. “Ada apa ribut-ribut? Ini kok berserakan begini?” Tanya ibu mertuanya sambil terus menenangkan Bunga. “Lihat kelakuan anak ibu. Lihat! Dia menghancurkan pekerjaan saya!” Pekik Firman sembari mengumpulkan kepingan pecahan laptopnya. “Bukan aku yang merusak laptop itu” sanggahnya “tapi kucing itu.” Bunga terisak di pelukan ibunya. “Bohong! Kamu menghancurkan laptopku cuma gara-gara aku menolak kamu ajak jalan-jalan kan? Iya kan?” Dengan kerasnya Firman melempar kepingan laptop itu dan hampir mengenai wajah Bunga.
“Sudah cukup! Apa tidak bosan kalian bertengkar terus setiap hari? Malu sama tetangga.” Bentak Ibu Lina sembari menangis melihat nasib rumah tangga anaknya yang selalu diwarnai pertengkaran. “Soal laptop nanti ibu belikan yang baru. Tidak perlu mengamuk seperti itu Firman, kasihan Bunga.” Ibu mertuanya mencoba menenangkan Firman. Namun ucapan itu malah membuat Firman semakin murka. “Apa? Beli yang baru? Hahaha! Sombong sekali omongan ibu. Oh ya ya ya, mentang-mentang ibu punya banyak uang semua hal bisa dibeli dengan uang! Begitu?!” Firman menendang kursi yang ada di depannya, hingga kursi itu terhempas ke sudut ruangan. “Yang saya butuhkan bukan laptop. Tapi file penting yang ada di laptop itu. Banyak file laporan yang lenyap karena ulah anak kesayangan ibu itu.” Kemudian Firman masuk ke kamarnya mengambil jaket miliknya dan kunci mobil lalu pergi meninggalkan rumah mertuanya itu.
Firman memacu mobilnya. Dia menelusuri jalan tanpa tentu arah tujuan. Yang ada di pikirannya saat ini menjauh dari orang-orang yang telah mengacaukan hidupnya.
Mobilnya terus melaju hingga melintasi batas wilayah Jakarta. Firman memasukki daerah Jawa Barat. Dan akhirnya Firman memberhentikan mobilnya di salahsatu desa. Dia berdiam diri memperhatikan hijaunya sawah dan para petani yang sedang sibuk menggarap padi miliknya.
“Mengapa semua jadi begini?” Firman menghela nafas panjang “Apakah ini hukuman yang sebenarnya atas kesalahanku yang lalu? Mengapa masalah bertubu-tubi menghampiriku?” Gumam Firman. Pikirannya terus berkecamuk.
Tiba-tiba muncul sosok mengenakan pakaian serba putih tepat di samping Firman. Sosok itu seakan memberi nasihat pada Firman. “Kamu tidak bisa menenangkan badai, jadi berhentilah mencobanya. Apa yang dapat kamu lakukan adalah menenangkan diri. Badai akan berlalu.” Firman tersentak dan hampir terperosok ke parit yang ada di depannya saking terkejutnya. “Ustad Amir?” Ucap Firman. Namun sosok serba putih yang mirip dengan Ustad Amir itu hanya tersenyum ke arah Firman lalu menghilang. Firman semakin bertanya-tanya sebetulnya ada apa, mengapa dia seperti dihantui oleh guru spiritualnya sendiri?
Hari yang penuh masalah pun berlalu berganti dengan dinginnya malam di Jawa Barat. Firman menginap di salah satu penginapan menenangkan diri di kota yang terkenal dengan Peuyem nya itu.
Sementara itu, Bunga panik karena sudah larut malam namun suaminya belum juga kembali ke rumah. “Aduh! Mas Firman kemana sih. Ponselnya tidak aktif, diWhatsapp tidak dibalas.” Bunga benar-benar mencemaskan suaminya. “Sudahlah Bunga, tidak perlu kamu mengkhawatirkan dia,” Sahut ibunya yang muncul dari belakangnya “ingat apa yang telah dia lakukan pada kita tadi siang, dia seperti orang kesetanan.” Ibunya mengusap rambut anaknya itu. “Ayo tidur, sudah malam. Besok ibu ajarkan kamu cara membuat nasi goreng yang enak.” Kemudian ibu Lina mengantar Bunga ke kamarnya.
Cerpen Karangan: Dicky Argiyatna Facebook: fb.com/thechildmysterius