Sejak pertengkaran yang menyebabkan rusaknya laptop kesayangan miliknya, Firman tidak pulang selama 2 hari. Firman memanjakan diri dengan membelanjakan seluruh uang yang tersisa di dompetnya. Dan di hari ke tiganya di kota Bandung, Firman pergi ke salah satu pasar tradisional yang bernama Pasar Simpang Dago untuk membeli sesuatu.
Setelah berjalan berdesak-desakkan, akhirnya Firman menemukan toko yang menjual benda yang dia cari. Firman memilah benda itu satu persatu memperhatikan setiap detailnya tuk mendapatkan yang terbaik karena benda tersebut akan dia hadiahkan pada ayahnya.
“Yang ini berapa harganya, pak?” Tanya Firman pada si penjual. “Yang itu dua ratus, kang.” Jawab si penjual dengan senyum ramah. Firman pun membayar sejumlah uang lalu meminta penjual itu untuk membungkus pisau belati yang telah dia pilih. Firman sengaja membeli pisau belati di pasar tradisional karena harganya dua kali lebih murah dibandingkan di Jakarta. Selain itu kualitasnya juga tidak buruk.
Setelah mendapatkan benda yang dicari, Firman memutuskan mencari jajanan untuk dijadikan sarapan. Perutnya terus bersuara karena sedari pagi belum ada sedikitpun makanan yang masuk ke dalam perutnya.
Firman terus melangkah menelusuri jalan yang cukup basah karena hujan yang turun tadi malam. Setelah beberapa lama berjibaku dengan jalanan yang becek dan desakkan orang yang berlalu-lalang, akhirnya Firman menemukan penjual makanan kesukaannya semasih kecil dulu.
“Nek, beli Combronya 10 ribu.” Firman membeli makanan yang sering disuguhi oleh neneknya dulu. Comro, atau kadang disebut juga combro atau gemet adalah jajanan unik khas Bandung yang terbuat dari singkong. Adonan parutan singkong diberi sambal oncom, lalu dibentuk bulat dan digoreng. Comro memiliki rasa gurih pedas.
Setelah sekantung Cobro ada di tangan, Firman langsung menyantapnya untuk menjinakkan perutnya yang terus berteriak meminta segera diisi makanan. Saat sedang asik menghabiskan makanannya, tiba-tiba seorang gadis cantik menghampiri Firman.
“Firman!” Sapa gadis itu. Firmanpun langsung menoleh ke arah orang yang memanggilnya. “Ka… Kamu?” Firman terkejut dengan apa yang dilihatnya. “Masih ingat aku? Tanya gadis itu diiringi senyuman manis. “Ka… Kamu Veni kan?” Lidah Firman tiba-tiba kelu karena menjumpai orang yang sudah lama tidak dia temui, sekaligus cinta pertamanya semasa di SMA dulu. “Apa kabar?” Veni mengulurkan tangan dan disambut dengan Firman. “Lagi apa kamu di sini?” Tanya gadis cantik itu. “Ba… Baik. Aku cuma lagi refreshing aja di sini, sambil mengenang jajanan jaman dulu.” Firman terlihat semakin salah tingkah. Dan dua sejoli yang sama-sama pernah terlibat cinta monyet itupun akhirnya mengobrol di salah satu kedai kopi. Mereka saling membicarakan kenangan masalalu yang lucu dan tak terlupakan.
Malam harinya, Firman sudah mengenakan jaketnya bersiap mengajak Veni makan malam di salah satu restoran romantis. Begitupun Veni. Ia juga sudah bersolek bak primadona yang siap menyambut sang pangeran. Firman dan Veni terlihat sangat senang malam ini, mereka seakan mengulang kenangan semasa SMA. Mereka saling curi pandang diiringi senyuman penuh arti bahwa sebenarnya masih ada rasa di hati masing-masing.
Selesai makan malam, Firman mengajak Veni ke sebuah taman bunga untuk menyaksikan indahnya bulan purnama. Malam ini Firman seolah menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya hingga dia terlupa dengan semua masalah yang tengah dihadapinya. Termasuk lupa bahwa ada seorang istri yang selalu setia menanti kepulangannya.
“Veni, kamu cantik sekali malam ini.” Firman membelai lembut rambut Veni yang panjang terurai. “Kamu mirip satu satunya pacarku di SMA dulu” Firman memejamkan mata dan wajahnya mulai mendekati wajah Veni.
Namun dengan sigap Veni menepis wajah Firman yang semakin mendekati bibirnya. “Gombal ah!” Veni mendorong tubuh Firman diiringi senyuman manja. “Semua orang juga tahu kalau pacarmu di SMA dulu bukan cuma satu.” Veni menjulurkan lidahnya, mengejek Firman lalu berlari ke tengah taman bunga. Firman yang merasa dikerjai, langsung mengejar Veni.
Mereka terus berlarian bak dua anak kecil yang sedang bercanda di bawah cahaya rembulan. Sesekali Firman berhasil menangkap Veni lalu mendekapnya sangat erat ‘tuk menetralisir kerinduan yang selama ini membelenggu. “Mas, sudah ah meluknya, malu tuh dilihat pak ustad.” Firmanpun langsung melepas tubuh Veni karena dia pikir benar ada seorang Ustad yang melihatnya. “Tapi bohong! Hahaha!” Setelah terlepas dari dekapan Firman, Veni kembali berlari sembari tertawa kegirangan karena berhasil mengerjai Firman untuk kedua kalinya. “Awas kamu, yah. Veni! Jangan lari kamu!” Seru Firman yang kembali berlari mengejar Veni. Belum berhasil Firman mengejar Veni, tiba-tiba hujan turun sangat deras. Mereka panik mencari tempat berteduh.
“Yah! Hujan, mas!” Veni menghampiri Firman. Mereka panik karena baru sadar mereka sudah berlari sangat jauh dari restoran tempat mereka tadi makan malam.
Firman terus berlari mencari tempat berlindung sembari melindungi kepala Veni dengan jaketnya. Setelah berlari beberapa saat, terlihat sebuah gubuk kecil lalu mereka berdua berbelok ke arah gubuk tersebut untuk berteduh. Akhirnya Firman dan Veni dapat berlindung dari dinginnya air hujan meskipun pakaian mereka terlanjur basah kuyup.
“Kamu tidak kenapa-kenapa Ven?” Tanya Firman pada Veni yang masih sibuk dengan gaunnya yang basah. “Tidak apa-apa, mas. Cuma bajuku saja yang basah semua.” Jawab Veni sembari memeras bagian bawah bajunya. “Kalau tahu malam ini akan turun hujan, sebelum berangkat sama kamu tadi aku bawa payung.” Lanjut Veni dengan raut wajah kecewa.
Sementara itu, Bunga masih terus berusaha menghubungi Firman. Namun tidak ada jawaban samasekali. “Ih! Mas Firman kemana sih! Dari kemarin ditelepon tidak diangkat.” Gerutu Bunga yang tangannya masih sibuk memainkan ponselnya. “Angkat dong, mas. Aku kangen!” Mata Bunga mulai meneteskan air mata bersamaan dengan turunnya rintik hujan. Meskipun Bunga sering jadi pelampiasan atas kemarahan Firman, namun semua itu tidak mengurangi rasa cinta terhadap suaminya. Bunga terus menunggu kepulangan Firman hingga ia tertidur di meja makan.
Firmanpun sama sekali tidak mengetahui Bunga berusaha menghubunginya karena ponselnya tertinggal di mobil. Firman dan Veni masih sibuk berusaha mengeringkan air yang terus menetes dari pakaiannya. Tiba-tiba Veni melepas dress berwana merahnya yang basah kuyup seolah tidak mempedulikan Firman yang sedari tadi ada di sampingnya.
Firmanpun lantas terkejut dengan apa yang dilakukan Veni. Ini untuk pertama kali dia menyaksikan secara langsung lekuk tubuh seseorang yang sangat dicintainya itu. Mata Firman tidak berkedip dan jantungnya berdebar kencang merasakan gejolak gairah yang tiba-tiba muncul di dalam dirinya. Sementara Veni masih sibuk mengeringkan dress merahnya yang basah.
Firman berdiri mendekati Veni yang membelakanginya. Firman semakin tidak mampu mengendalikan gejolak gairah dalam dirinya yang semakin menggebu-gebu.
Tiba-tiba Firman memeluk Veni dari belakang dan mulai menciumi lehernya. “Ih apa yang kau lakukan, mas. Jangan usil deh.” Veni terkejut dan mencoba mengelak ciuman Firman yang terus menelusuri tubuhnya. “Aku hanya ingin menghangatkanmu, sayang.” Bisik Firman dengan suara mendesah. Veni pun tak kuasa menahan terjangan ciuman yang mampu membuatnya melenguh. Dua insan itu pun akhirnya bercumbu mesra layaknya sepasang kekasih yang saling mencinta.
Firman terus mencumbui Veni tanpa menyadari bahwa hujan telah berhenti. Suara lenguh Veni kian menjadi menikmati hasrat yang baru pertama kali ia rasakan.
Tiba-tiba Firman dengan cepat menghentikan percumbuan itu karena teringat sebuah ucapan yang pernah ia dengar. “Berhati-hatilah dalam berbuat karena sesungguhnya Allah Maha Melihat.” Veni pun terkejut dengan tingkah Firman yang tiba-tiba berubah aneh.
“Ma… Maafkan aku, Ven. Tidak seharusnya aku melakukan hal seperti itu padamu.” Sesal Firman yang terlihat panik dan penuh peluh di dahinya. Hawa dingin yang tadi dirasakanpun hilang seketika. “Kamu kenapa, mas?” Tanya Veni keheranan. “Maafkan aku Ven, aku khilaf.” Firman mengenakan kembali pakaiannya yang masih basah itu. “Aku harus pulang.” Ucap Firman sembari mengenakan sepatunya. Ia tiba-tiba tersadar bahwa dia adalah suami dari seorang istri. Veni hanya terdiam heran melihat sikap Firman.
Setelah mengenakan pakaian dan sepatunya, Firman berjalan terhuyun meninggalkan Veni yang sedang mengenakan dress merahnya. Firman benar-benar menyesali perbuatannya tadi. Dia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi jika Bunga mengetahui apa yang barusan dilakukan dengan mantan kekasihnya.
Baru beberapa langkah Firman berjalan, ia menoleh kembali menghampiri Veni. “Sebaiknya aku antar kamu pulang terlebih dahulu. Karena aku harus langsung kembali ke Jakarta.” Kata Firman pada Veni. “Tidak perlu, mas. Aku bisa pulang sendiri!” Veni yang terlihat kesal itu langsung berjalan meninggalkan Firman. Namun langkah kakinya terhenti karena Firman memegang tangannya. “Untuk apa kamu menahanku? Kamu memang tidak pernah berubah, mas. Habis manis sepah dibuang. Aku semakin terbiasa dengan sikapmu itu.” Cemooh Veni yang mencoba melepaskan genggaman tangan Firman. “Bu… Bukan begitu maksudku, aku hanya tidak mampu mengendalikan diri. Aku terlalu merindukanmu, Ven.” Tutur Firman lalu mengecup tangan Veni. “Izinkan aku mengantarmu pulang untuk terakhir kalinya, aku harus kembali ke Jakarta.” Firman memohon. Namun Vani hanya menjawabnya dengan anggukkan kepala. Lalu Firman pun memacu mobilnya menuju rumah Veni.
Selama di perjalanan, mereka berdua saling membisu. Wajahnya masih terlihat kesal dengan perlakuan Firman yang sempat meninggalkan dirinya sendirian di gubuk. Sementara Firman sesekali menengok ke arah Veni yang sedang merapihkan rambut panjangnya. Firman tidak berani mengucapkan kata-kata sedikitpun karena ia takut akan membuat Veni semakin marah padanya.
Sesampainya di tempat tujuan, tanpa mengucap sepatah kata, Veni langsung menuruni mobil. Firmanpun menyusul mencoba menenangkan mantan kekasihnya itu. “Veni, tunggu dulu!” Teriakkan Firman menghentikan langkah kaki Veni. Veni pun menoleh. “Ak… Aku cuma mau mengucapkan terimakasih karena kamu sudah mau menemaniku malam ini meskipun berakhir dengan kekecewaan. Aku harap kamu mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik daripada aku.” Ujar Firman dengan penuh rasa penyesalan. “Aku pamit ya, titip salam untuk Abah dan Umi.” Firman kembali memasukki mobilnya.
“Mas!” Tiba-tiba Veni memanggil Firman. “Hati-hati ya di jalan.” Lanjut Veni diiringi senyuman manis. Firman membalasnya dengan senyuman lalu menjalankan mobilnya menuju Jakarta.
Di sepanjang perjalanan, pikiran Firman terus dibayangi rasa bersalah atas peristiwa yang baru saja ia lakukan bersama Veni. “Aahh!!! Apa yang sudah aku lakukan!?” Firman menyesali perbuatannya karena secara tidak langsung telah mengkhianati istrinya. Firman terus memacu mobilnya dengan sangat cepat hingga kemacetan panjang memperlambat laju mobilnya. Sembari menunggu arus lalu lintas normal, Firman mengecek ponselnya yang belum ia sentuh sejak sore tadi.
Dia sedikit terkejut ada seratus panggilan tidak terjawab di ponselnya. “Bunga?” Ternyata panggilan tidak terjawab itu berasal dari nomor istrinya. Selain itu Firman juga mengecek akun sosial media yang hampir semuanya berisi pesan dari Bunga. Dan tiba-tiba seseorang berpakaian serba putih itu muncul lagi tepat di kursi sebelahnya. Dia berkata, “Bertemu jodoh dengan orang yang kamu cintai mungkin suatu kebetulan. Tapi mencintai jodohmu adalah kewajiban.” Untuk kesekian kalinya Firman terkejut pada orang yang sering muncul secara tiba-tiba itu.
“Ustad Amir! Apa betul itu Anda pak?” Namun seseorang itu hanya tersenyum kemudian menghilang seperti biasa. Dan kali ini ucapan lelaki yang mirip Ustad Amir itu mampu membuat Firman tertegun.
“Selama ini aku telah mengabaikan istriku. Ya Allah! Maafkan hambamu ini” Air mata Firmanpun menetes untuk pertama kalinya. Dia benar-benar merasa bersalah telah menyia-nyiakan istrinya. Setelah kurang lebih tiga puluh menit, akhirnya mobil Firman terbebas dari kemacetan dan kembali memacu mobilnya agar bisa cepat menemui istrinya yang telah ia tinggalkan selama beberapa hari.
Sesampainya di rumah mertuanya, Firman langsung mencari keberadaan istrinya. Firman mencoba mencari di kamarnya, namun tidak ada siapapun di sana. Lalu diapun beranjak ke dapur, dia tetap tidak menemukan Bunga. Firman mendengar suara dengkuran dari arah ruang makan lalu dia menghampiri sumber suara tersebut. Ternyata suara dengkuran yang terdengar cukup keras itu berasal dari Bunga yang terlelap. Firman menyaksikan istrinya itu tertidur bersama dengan beberapa makanan yang tersaji di meja makan.
“Hei! Kenapa tidur di sini?” Dengan perlahan Firman membangunkan istrinya. Bunga pun terkejut dengan apa yang dilihatnya. “Alhamdulillah! Mas Firman sudah pulang!” Bunga berteriak kegirangan dan langsung memeluk suaminya tanpa menyadari baju Firman basah. “Maaf ya mas aku ketiduran.” Bunga menguap dan merenggangkan tubuhnya. “Oh ya, kamu sudah makan belum? Kalau belum, ayo makan dulu ada banyak makanan nih! Aku yang masak lho, tapi dibantu juga sama bibi hihihi!” Bunga sangat antusias dengan kepulangan suaminya itu. Firman hanya bisa tersenyum melihat tingkah istrinya itu, dia ingin menebus rasa bersalahnya.
“Silahkan dimakan ya mas.” Bunga menyuguhkan seporsi makanan untuk Firman yang terlihat sangat menggoda selera. Dengan perlahan Firman mencoba masakan istrinya itu. Raut wajah Firman langsung berubah setelah makanan tersebut memasukki mulutnya. “Terlalu asin, tapi lebih enak dari masakannya waktu itu.” Gumam Firman yang terus berusaha menghabiskan makanan yang ada di mulutnya. Tiba-tiba ada yang menarik perhatian Firman.
“Tangan kamu kenapa?” Tanya Firman melihat tangan Bunga terbelit perban. “Oh ini? Tadi sore saat sedang belajar masak bersama bibi di dapur, tanpa sengaja aku menyentuh wajan. Jadi luka bakar deh.” Jelas Bunga diiringi senyuman polos. “Sudah ke dokter?” Firman mulai khawatir lalu memegang tangan istrinya itu. “Aku rasa tidak perlu mas, cuma luka sedikit, besok pasti sembuh.” Bunga merasa sangat senang karena untuk pertamakalinya Firman sangat perhatian terhadapnya.
“Ya sudah, ayo istirahat. Sudah malam.” Ajak Firman sebagai alasan agar dia tidak menghabiskan makanan itu. Lalu merekapun pun memasukki kamar. Ada sedikit yang membuat Firman heran. Sejak saat dia memasukki rumah, dia sama sekali tidak melihat ibu mertuanya. Biasanya dia selalu menemani anaknya kapanpun. “Mungkin sudah tidur.” Gumam Firman.
Saat Firman memasukki kamar, dia melihat tempat tidurnya bersama istrinya itu penuh dengan taburan bunga berbentuk hati. Firman hanya menyunggingkan senyum melihat usaha istrinya yang ingin membuat kesan romantis.
Firman melepas sepatu, jaket dan bajunya yang mulai mengering. Dia juga meletakan pisau belati di atas meja di samping tempat tidurnya. Firman mulai merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Sementara itu, Bunga sudah kembali terlelap. Karena matanya belum terlalu mengantuk, Firman memutuskan untuk memainkan ponselnya.
Setelah beberapa saat memainkan ponsel, rasa kantuknya pun datang hingga tanpa sadar ponsel yang sedari tadi dia mainkan terjatuh di sampingnya.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ibunya Bunga sudah terlihat sibuk di dapur. Dibantu pembatunya, dia menyiapkan sarapan pagi untuk dirinya, anak dan menantunya. Tidak seperti hari-hari biasanya, pada pagi ini Bunga yang biasa membantu ibunya itu tidak terlihat di dapur.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 7.35 WIB. Namun belum ada tanda-tanda Bunga maupun Firman keluar dari kamarnya. “Semalam Firman pulang, bi?” Tanya bu Lina pada pembantunya yang sibuk menata makanan di meja. “Iya, bu. Semalam den Firman pulang.” Jawab pembantunya dengan logat khas jawa. “Pulang jam berapa dia, bi?” “Sekitar jam setengah dua belas.” Pembantunya itu kembali ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya.
Jam sudah menunjukkan pukul 8.00 WIB, namun pintu kamar anaknya itu masih tertutup rapat. Karena penasaran, dia mencoba membuka pintu kamar itu dengan perlahan. Ternyata tidak dikunci. Dan saat dia memasukki kamar anaknya, betapa terkejutnya dia ketika melihat Bunga telah bersimbah darah di tempat tidurnya. Dengan sebuah pisau belati menancap di dada sebelah kanannya.
Sementara itu, Firman hanya berdiri terdiam di menatap jenasah Bunga dengan tangan penuh dengan darah. “Astagfirullah!!! Bunga!!!” Teriak histeris ibunya yang melihat anaknya itu sudah tidak bernyawa lagi. “Bunga ayo bangun nak, kenapa kamu jadi begini.” Lanjut ibunya Bunga sambil memeluk jasad anaknya yang bersimbah darah itu.
Pembantunya yang tadi sibuk di dapur juga langsung memasukki kamar Bunga karena mendengar teriakkan majikannya. Pembantu itu langsung menangis ketika melihat seorang gadis yang sudah ia rawat sejak kecil sudah tidak bernafas lagi. Tangisanpun pecah memenuhi kamar Bunga dan Firman.
Cerpen Karangan: Dicky Argiyatna Facebook: fb.com/thechildmysterius