“Apa yang telah kau lakukan pada anakku, Firman! Mengapa kau tega membunuh dia!” Umpat bu Lina pada Firman yang masih terpaku menatap kedua tangannya penuh darah. Tak lama tetangga sekitar datang berduyun-duyun untuk mengetahui apa yang terjadi. Beberapa saat kemudian polisi pun datang menangkap Firman.
Di kantor polisi, Firman diinterogasi mengenai peristiwa pembunuhan ini. “Jadi, bagaimana kejadian sebenarnya? Apa motif Anda hingga tega menghabisi nyawa istri Anda sendiri.” Tanya salah seorang Polisi dengan suara keras. Namun Firman hanya tertunduk tidak memberikan jawaban sama sekali. “Sodara Firman! Tolong jawab pertanyaan saya.” Sergah polisi itu namun Firman masih membisu. “Bukan saya yang membunuh dia! Bukan saya!” Firman menyangkal bahwa dia yang telah membunuh Bunga. “Tapi, Anda berada di TKP bersama korban.” Polisi kembali menggali informasi dari Firman. “Bukan saya! Bukan saya pembunuhnya!!!” Jawab Firman sambil memukul meja.
“Baik! Sambil menunggu proses penyelidikkan dan mengumpulkan barang bukti, Anda kami tahan.” Kemudian polisi lainnya mengantar Firman memasukki sel. Di dalam sel, Firman menangis tertahan sembari membenturkan kepalanya di dinding.
Tiba-tiba ada seseorang lelaki bertubuh besar menghampiri Firman. Seseorang itu menepuk bahu Firman. “Assalammu’alaikum.” Ucap seseorang itu sembari menepuk punggung Firman. Firman menghapus air mata yang ada di pipinya lalu menoleh ke belakang. “Wa’alaikum salam. Eh! abang.” Ternyata sesorang itu adalah Bang Gudel seorang preman yang juga salahsatu jamaah ustad Amir. “Kalau boleh tahu, mengapa balik lagi ke sini? Tanya Bang Gudel yang memiliki wajah garang itu. “Entahlah, bang. Masalah seakan tidak mau berhenti menghampiri saya.” Keluh Firman dengan wajah lesu.
Tiba-tiba seorang polisi membuka pintu sel. “Saudara Firman, ada yang ingin menemui Anda.” Lalu Firman keluar sel bersama polisi menuju ruang besuk. Ternyata seseorang yang ingin menemuinya itu adalah ayah dan ibunya Firman. Ayahnya terlihat sangat marah sedangkan ibunya menangis.
“Apa yang ada di pikiranmu Firman! Ayah tidak menyangka kamu berbuat sekeji itu?” Gerutu ayahnya yang menahan amarah. “Kalau kamu sudah tidak sanggup, kembalikan dia pada orangtuanya. Bukan dibunuh!” Ayahnya benar-benar kecewa dengan perbuatan anak kesayangannya itu. “Lebih baik ayah diam daripada menuduh sembarangan seperti itu. Ayah tidak tahu kejadian sebenarnya.” Jawaban Firman semakin memancing emosi Ayahnya. “Asal tuduh katamu? Jelas-jelas pisau belati itu milikmu. Itu barang bukti bahwa kamulah pelakunya.” Ayahnya berdiri membelakangi Firman. Dia juga menyesali karena telah menjodohkan Firman dengan Bunga. “Itu tidak benar.” Sanggah Firman. “Lantas, seperti apa kejadian sebenarnya?” Tanya ibunya yang masih menangis sembari membersihkan darah yang mulai mengering di tangan Firman menggunakan tisu basah. “Maaf bu, aku hanya mau cerita pada pengacaraku. Karena cuma dia yang bisa mengerti aku.” Jawab Firman dengan tegas. “Kalau boleh, aku minta tolong hubungi Simon Sitepu. Aku mau dia yang jadi pengacaraku.” Lanjut Firman kemudian berjalan meninggalkan ayah dan ibunya, kembali ke dalam sel.
Di dalam sel Firman kembali melamun memikirkan nasibnya. Tiba-tiba Firman teringat dengan sosok Ustad Amir.
“Maaf bang, saya mau tanya, Ustad Amir ada di mana ya?.” Tanya Firman. “Memangnya kamu belum tahu, Ustad Amir sudah meninggal seminggu yang lalu.” Jawab Bang Gudel yang sedang menikmati singkong rebus. “Apa! Abang pasti bercanda kan?” Firman terkejut mendengar kabar itu namun dia masih tidak mempercayainya. “Serius. Ustad meninggal dalam keadaan sholat. Dia sedang sujud dan tidak sadarkan diri waktu diperiksa, sudah tidak ada denyut nadinya.” Bang Gudel meyakinkan Firman. Mendengar kabar itu Firman langsung terduduk lemas. Dia merasa hidupnya benar-benar hancur. “Sabar.” Bang Gudel mencoba menenangkan Firman yang tengah menangis terisak.
Firman kembali teringat dengan seluruh nasihat dari Ustad Amir yang pernah didengarnya secara langsung maupun ketika dia muncul secara tiba-tiba. “Kenapa aku harus kembali lagi di tempat yang sesak dan pengap ini?” Guman Firman yang matanya menerawang ke atas diapun tak kuasa menahan air matanya.
Tak lama, datang lagi seseorang yang ingin menemuinya. Kali ini yang datang adalah Simon Sitepu sahabat sekaligus orang yang akan menjadi pengacaranya.
“Sebelumnya aku ucapkan turut berduka cita atas meninggalnya istri kau. Semoga Dia ditempatkan di tempat terbaik di sisi Tuhan Yang Maha Esa.” Ucap Simon sembari mengeluarkan sesuatu dari dalam tas kulit nya. “Sekarang coba kau ceritakan kronologis yang sebenar-benarnya mengenai peristiwa ini. Aku akan mencoba membantu semampuku.” Lanjut Simon lalu menghidupkan alat perekam suara.
Firman hanya terdiam. Pandangan matanya kosong menatap meja yang ada di depannya. Firman terdiam cukup lama sampai akhirnya dia mulai bercerita.
“Semua terjadi begitu cepat.” Firman menarik nafas panjang. “Awalnya aku bermimpi melihat istriku tersenyum. Lalu dia melangkah di sebuah jalan setapak yang sangat panjang, aku mencoba menghentikan langkahnya karena di ujung jalan ada jurang sangat dalam. Tapi aku selalu gagal sampai akhirnya dia terperosok ke dalam jurang itu dan tubuhnya menancap di sebuah batu yang sangat tajam.” Firman tertunduk dan mengepalkan kedua tangan di dahinya.
“Lalu?” Simon penasaran.
“Lalu saat aku terbangun, aku melihat pisau belati milikku yang rencananya akan aku hadiahkan pada ayahku sudah tertancap di dadanya. Aku terkejut dan mencoba membangunkannya namun semua itu sia-sia, dia sudah tidak bernyawa. Aku terpaku mencoba mengingat apa yang telah aku lakukan pada istriku, tapi aku sama sekali tidak tahu karena memang bukan aku yang membunuhnya. Sampai akhirnya tiba-tiba mertuaku masuk ke kamar dan teriak histeris.” Firman kembali menangis.
“Baiklah, aku rasa penjelasanmu ini sudah cukup. Aku percaya memang bukan kau pelakunya, tapi kita harus menunggu hasil penyelidikan polisi terlebih dahulu.“ Simon mematikan alat perekamnya lalu memasukkan kembali ke dalam tas. “Aku pamit dulu, kau tidak perlu khawatir, terus berdoa semoga kasus ini cepat selesai.” Simon pun pergi meninggalkan Firman.
Beberapa hari kemudian Simon menemui Firman untuk memberitahukan perkembangan kasusnya. “Sepertinya perjuangan kita tidak akan mudah. Ada batu besar yang menghalangi kita.” Ucap Simon sembari membasuh peluh di dahi nya. “Maksudmu, aku pelaku sebenarnya, begitu?” Firman mulai kesal. “Bukan begitu maksudku, tenang dulu lah jangan marah-marah macam itu.” Simon mencoba meredam emosi Firman. “Berdasarkan barang bukti dan fakta yang dikumpulkan tim penyidik, semuanya mengindikasikan bahwa kau pelaku tunggal dalam kasus ini. Pisau belati itu yang paling memberatkanmu. Tapi aku masih optimis pasti ada barang bukti lainnya yang bisa meringankan hukumanmu.” Jelas Simon pada Firman. “Semoga saja.” Jawab Firman singkat.
Dan hari persidangan pun tiba. Seluruh mata tertuju pada Firman. Begitupun bu Lina yang hadir bersama pengacaranya menatap Firman dengan penuh rasa benci. Firman mendengarkan semua dakwaan yang dibacakan oleh hakim. Hakim juga menghadirkan berbagai saksi. Mulai dari supirnya, teman-temannya di kantor dan seorang office boy yang mengaku pernah melihat Firman mendorong secara paksa seorang wanita ke dalam mobil. Dan Firman mengakui semua perbuatannya itu.
Firman pun semakin tersudut saat pengacara ibunya Bunga menunjukkan bukti kekerasan yang dilakukan oleh Firman. Mulai dari pecahan laptop hingga bukti Firman dengan sengaja membeli pisau belati. Meskipun begitu, Simon tidak tinggal diam begitu saja. Sebagai pengacara yang membela Firman, dia terus menyangkal semua barang bukti itu dengan bukti lainnya. Suasana persidangan pun semakin memanas hingga hakim memutuskan persidangan ini dilanjutkan lusa.
“Sial kali! Ternyata ibu mertuamu mengutus pengacara Hasan Hutapea untuk menangani kasus ini. Aku selalu kalah bila berhadapan dengannya. Tapi, untuk kasus ini aku yakin kali ini akulah yang akan menang!” Ucap Simon pada Firman yang tengah berjalan keluar ruang sidang.
Besoknya Simon kembali menemui Firman di rutan. “Ada apa senyum-senyum begitu?” Firman keheranan melihat tingkah Simon yang hari ini terlihat begitu bahagia. “Aku punya kabar gembira untuk kau.” Jawab Simon dengan senyum lebar. “Kabar apa?” Firman penasaran sembari melahap makanan yang dibawa Simon. “Aku sangat yakin kau akan bebas dan aku menang melawan si Hasan Hutapea rivalku itu. Hahaha!” Simon terlihat sangat optimis. “Kenapa bisa begitu? Ayahku menyuruhmu suap hakim?” Ujar Firman dengan senyuman ketus. “Enak saja, jangan asal bicara kau! Aku ini Simon Sitepu pengacara nomor satu di Indonesia, pantang bagiku suap menyuap.” Dengan raut wajah kesal Simon mengeluarkan sebuah benda dari dalam tasnya. “Lihat ini dan ini” Simon menunjukkan sebuah baju kotor yang penuh dengan bercak darah dan ponsel pada Firman.
“Baju siapa itu? Dan, mengapa ponselku bisa ada padamu?” Firman kebingungan. “Iya, dua barang bukti inilah yang membuatku sangat yakin akan memenangkan kasus ini.” “Aku tidak mengerti.” Firman semakin kebingungan dengan apa yang dikatakan Simon. “Kau lihat saja di persidangan besok. Hahaha!” Simon kembali memasukkan kedua benda itu ke dalam tasnya lalu pergi meninggalkan Firman.
Keesokan harinya, suasana ruang sidang kembali memanas karena pertarungan antar kedua pengacara yang saling menunjukkan saksi dan barang bukti. Kali ini Hasan Hutapea menghadirkan saksi. Dia adalah pedagang pisau tempat dimana Firman membeli belati. Dia mengakui Firman pernah membeli belati di tokonya, namun dia tidak tahu apa tujuan Firman membeli Belati tersebut.
Simon menunjukan sebuah baju yang penuh bercak darah. “Baju ini saya temukan di halaman belakang rumah korban. Baju ini terkesan sengaja akan dikubur untuk menghilangkan jejak.” Tutur Simon dengan tatapan tajam ke arah bu Lina. “Yang Mulia, saya mencurigai baju ini milik ibunya korban. Dengan kata lain, dia sendirilah pembunuhnya.” Mendengar pernyataan Simon, semua orang yang hadir di persidangan itu terkejut. Termasuk Firman.
“Apa benar baju ini milik Anda?” Tanya hakim pada ibunya Bunga. “Bu… Bukan Yang Mulia. Itu bukan punya saya.” Sangkal ibunya Bunga dengan gugup. Tangannya gemetar dan wajahnya terlihat pucat. “Baik! Anda mungkin bisa menyangkal baju ini milik Anda, tapi bagaimana dengan barang bukti ini?” Simon mengeluarkan ponselnya Firman yang masih ada sisa bercak darah lalu menunjukkan sebuah video pada Hakim. Karena penasaran dengan video yang diputar Simon, Firman dan Hasan mendekat ke meja hakim untuk melihat video tersebut.
Video yang berdurasi 4 jam 57 menit itu menampilkan gambar Bunga sedang terlelap. Dan saat video itu dipercepat, terlihat seseorang memasukki kamar Firman dan Bunga. Beberapa menit kemudian video tersebut menampilkan detik-detik Bunga dihujam berkali-kali menggunakan pisau Belati milik Firman. Terekam dengan jelas di dalam video itu bahwa pembunuh Bunga sebenarnya adalah bu Lina. Baju yang dikenakan pun sama dengan yang ditemukan Simon. Firman yang masih belum percaya kembali mengulang-ulang video tersebut. Firman heran mengapa pembunuhan keji itu bisa terekam? Firman berpikir mungkin ketika ponsel terjatuh di sampingnya, tanpa sadar dia telah menekan tombol rekam video. Dan dia tak kuasa menahan air mata kesedihan. Sementara bu Lina hanya bisa terdiam tanpa bisa mengelak. Hasan Hutapea pun tidak mampu lagi menyangkal bahwa kliennya adalah pelaku yang sebenarnya.
Motif yang mendasari terbunuhnya Bunga adalah sakit hati. Karena pada hari sebelumnya Bunga kedapatan mencuri kalung belian milik ibunya dan uang hasil penjualan kalung itu rencananya akan digunakan Bunga untuk membeli kado ulang tahun Firman. Bu Lina sangat kecewa karena kalung peninggalan Almahum suaminya dijual dengan harga sangat murah. Dia memfitnah Firman karena selama ini anaknya selalu mendapat perlakuan kasar dari suaminya.
Akhirnya Firman divonis bebas dan ibu mertuanya itu terancam hukuman lima belas tahun penjara. Tidak ada ekspresi kebahagiaan di wajah Firman saat dia divonis bebas dia hanya terpaku sembari mengulang-ulang video detik-detik pembunuhan istrinya itu.
Tak lama kemudian Firman menghampiri ibu mertuanya yang tengah menangis menyesali perbuatannya. “Kenapa ibu tega melakukan semua ini?” Tanya Firman pada ibu mertuanya. “Bukankah ini yang kamu inginkan?” Jawab Ibunya Bunga. “Selama ini kamu tidak pernah mencintai dia kan? Setiap hari kalian selalu ribut tidak pernah ada hamonisnya.” Kilah ibu mertuanya itu diiringi tangisan. “Memang kita sering bertengkar. Tapi apa pernah ibu melihat saya melukai Bunga?” Ucap Firman dengan tegas. “Seujung rambutpun tidak pernah saya melukai dia. Dan ibu salah kalau bilang saya tidak cinta dengan Bunga. Sebenarnya rasa cinta itu mulai muncul ketika saya pulang menemui dia. Namun ibu lenyapkan begitu saja tanpa memberi kesempatan dia untuk melawan.” Tandas Firman yang semakin emosi. Namun Simon terus menenangkannya. “Sudah cukup! Hentikan!” Mendengar ucapan Firman, Ibunya Bunga langsung berteriak histeris.
Keesokan harinya, Firman mengunjungi makam Bunga. “Assalamu’alaikum. Apakabar kamu di sana? Maaf aku baru sempat datang ke sini. Aku masih belum menyangka semuanya akan berakhir seperti ini, dan aku tidak percaya kamu pergi secepat ini. Apa ini balasan darimu karena aku pernah meninggalkanmu? Kalau memang benar, kamu curang sayang, kamu tidak adil. Aku pergi hanya beberapa hari sementara kamu pergi untuk selamanya.
Tapi mungkin semua ini yang terbaik untuk kita berdua. Kita memang ditakdirkan bukan untuk bersama karena sekuat apapun hubungan ini dipertahankan pasti akan hancur juga. Kamu lebih baik ada di sana dibandingkan hidup bersamaku. Karena di sana tidak akan ada yang memarahimu. Di sana kau akan tumbuh menjadi Bunga terindah.
Mungkin benar pepatah mengatakan bahwa ‘penyesalan datang belakangan.’ Dan itu terbukti kini aku menyesal telah gagal menjadi suami yang terbaik untukmu. Aku tak mampu membahagiakan dan melindungimu, bahkan aku menyia-nyiakan ketulusan cintamu. Maafkan aku sayang.” Firman menghapus air mata yang menetes di pipinya. “Dan aku ucapkan terimakasih atas secercah cinta yang kau tumbuhkan di hatiku. Semoga kau bahagia di sana.” Ujar Firman sembari meletakkan bunga di atas pusara istrinya.
Tamat.
Cerpen Karangan: Dicky Argiyatna Facebook: fb.com/thechildmysterius