Risa masih belum menyerah untuk mencari serpihan masa lalunya. Kaki jenjang bersepatu boots hitam menapaki anak tangga berselimut salju. Bulir-bulir Kristal es menghujam tubuh yang dibalut mantel biru tua berkerah bulu. Sebagian dari bulir salju bersarang di rambut hitamnya yang digerai, serupa manik mutiara. Meski gigil udara marubah warna bibir mekarnya, ia tetap tak tertarik kembali ke rumah hanya untuk menikmati secangkir coklat panas di depan perapian.
Langkah terhenti saat menapaki jalan di antara dua tebing yang menjulang. Ia memandangi deretan pohon pinus berjubah salju yang tumbuh di setiap anak tebing. Dihadapannya jembatan membentang, menyatukan dua tebing yang berjauhan. Serupa lukisan perspektif. Risa terpejam, dengan wajah tengadah, merasakan tiupan angin dan guguran salju yang mendarat di wajah cantiknya.
—
Janson menggenggam tangan Risa hangat, menuntunnya menapaki tangga perlahan. Yang dituntun menurut meski tidak tahu gerangan tempat yang dituju karena sepasang mata tertutup kain hitam.
“Sampai!” Janson membuka kain yang menutupi mata Risa.
Sepasang kelopak mata dengan eye liner tipis terbuka. Terang, dan sejuk. Begitu retina mata itu menangkap bayangan di hadapanya. Deretan tebing bertumbuhkan pinus tersorot bias jingga dari ufuk barat. Panorama nine dragon serupa sulur benang saat memandanginya dari atas jembatan Fairy tale. Beberapa tempat di bawah jembatan tertutup awan putih.
“Indah sekali.” Risa tersenyum. Deretan gigi rapi terlihat dari bibir berwarnakan lipstik merah jambu. “Kau suka?” Risa mengangguk, memeluk tubuh jangkung di hadapannya.
“kau masih ingat, kan?” bisik lelaki bermata biru itu. “Tentu. Hari ini hari jadi kita.” Risa masih memeluk erat kekasihnya. “Ya, setahun lalu kita beremu di gedung opera. Kau hampir menagis karena ada yang menduduki tempatmu.” Janson tertawa kecil. “Ya, dan kau memberiku tempat duduk, tepat di sampingmu.” Risa melepaskan pelukannya. “Lalu kita tak sengaja bersentuhan tangan.” Janson menggenggam tangan Risa memeragakan bagaimana ia menggenggam tangan Risa untuk pertama kalinya. “Dan kita berkenalan.” Keduanya saling berpandangan dengan jarak wajah yang teramat dekat.
Janson tersenyum meniup air muka kekasihnya. Risa memanyunkan bibirnya. Lelaki jangkung itu merogoh sesuatu dari saku celana jinsnya. Lalu mengambil pematik api. Sebuah lilin kecil dengan api yang bergoyang telah siap ditiup. Risa tersenyum. Keduanya memejamkan mata, menuangkan harapan lalu meniup lilin yang apinya terus berkelebat. Asap kecil mengepul dari sumbu lilin.
“Satu lagi.” Janson mengambil sebuah gembok dari sakunya. “Ayo, kita kaitkan ini di pagar!”
Jemari itu menggeggam gembok berbentuk hati berukirkan huruf J dan R. Mereka membuka kunci dan mengaitkannya di pagar, menutup kembali, lalu kunci dihempaskan begitu saja ke jurang bertebing. Sepasang kekasih itu tersenyum, saling tatap dengan jarak teramat dekat. Kedua bagian dari wajah mereka bersentuhan beberapa saat, disaksikan sorot cahaya keemasan dari arah tenggelamnya matahari.
“Cinta kita abadi,” bisik Janson pada wanita yang masih membenamkan wajah di pelukannya.
—
Tiupan angin menyapu wajah dengan lembut. Ia membuka matanya dan terdiam beberapa detik, lalu berjalan mendekati jembatan yang dipenuhi padlock (gembok cinta). Tangannya sengaja tak diberi sarung dan dibiarkan membiru ketika ia menyibak salju yang menutupi ujung pagar, perlahan. Seolah tengah menelusuri sebuah jembatan kenangan yang teramat rapuh untuk ditapaki, ia melakukannya dengan hati-hati.
Keduanya masih saling bergeming. Risa menatapnya, menuggu jawaban keluar dari mulut Janson kendati jawaban itu adalah kata yang tak akan sanggup ia dengar. Cicak mengintip di dinding ruangan yang terhalang lukisan Storry of the night, hadiah dari Janson Untuk Risa.
Di balik mata bulat Risa, ada risau tersembunyi. Ia takut Janson keberetan memperkenalkan Risa pada keluarganya. Tak mungkin ia menerima keseriusan tanpa perkenalan lebih jenjang. Di sisi lain, ia pun tak ingin hubungannya dengan Janson berakhir begitu saja.
“Bagaimana?” Risa kembali menatap kekasihnya dengan degup jantung tak keruan. “Aku belum siap untuk itu.” Janson menatap Risa khawatir. Ia harap Risa dapat memakluminya.
Risa meghela nafas berat. Menghempaskan tubuhnya pada sandaran kursi. Terjawab sudah kerisauan yang terembunyi. Ia tahu Janson pasti akan menjawab begitu karena memang sejak awal lelaki itu tak pernah membahas keluarganya.
“Alasannya apa? Keluargaku telah mengenalmu, sementara keluargamu? Mereka tidak pernah tahu siapa aku. Bahkan kau seolah menyembunyikan hubungan ini. Apakah keluargamu tak mengizinkanmu menikahi perempuan asia?” Risa berbicara dengan nada agak tinggi namun sedikit terisak. “Tidak, mereka pasti menyukaimu, hanya saja …” Janson terdiam. Tak ada lagi kata terbaik dalam kepalanya untuk menjelaskan keadaan dan kenyataan yang sesungguhnya. “Apa?” Tatapan gadis itu tak pernah lepas dari Janson. Matanya mulai berkaca-kaca. “Maafkan aku, sayang. Tolong mengertikan aku sedikit saja.” Tangan kekarnya mencoba menggenggam tangan Risa dan gadis itu menepisnya. “Maksudmu apa? Mengerti? Seharusnya aku yang berbicara seperti itu. Kau tahu, selama ini aku selalu menuruti maumu, dan kini kau keberatan hanya untuk memperkenalkanku pada keluargamu.” Risa berapi-api. “Tidak begitu sayang, aku …” ia menghentikan ucapanya karena dering telpon.
Risa mendesah pelan dan mengusap bulir bening yang telah mencair di pipinya. Ia tak henti menatap lelaki yang beranjak dari hadapanya meski tengah menerima panggilan. Di seberang sana terdengar suara perempuan seperti tengah terisak. Raut wajah lelaki itu memucat, binar matanya meredup. Risa yakin penelepon itu istrinys. Pasti dia menangis meminta Janson kembali. Ah, semestinya ia tak mudah menerima cinta dari lelaki asing, terutama penipu seperti Janson.
“Risa, maaf, sepertinya aku harus pergi.” Berat suara itu keluar dari mulur Janson. “Maksudmu?” Risa berpura-pura tak tahu meski ia yakin Janson pasti pulang untuk kembali pada istrinya. “Aku harus pulang ke Belanda. Ada masalah yang harus kuselesaikan di sana.” “Pulanglah.” wajah risa datar-datar saja membuat janson ragu untuk pergi. “Aku janji aka mengenalkanmu pada keluargaku setelah urusanku selesai.” “Tidak perlu. Pergilah, dan jangan pernah menemuiku lagi.” “Maksudmu apa? Kau marah? Tolong jangan bersikap seperti ini.” Janson bersimpuh Risa menepis tangan Janson. “Aku tidak membutuhkan janji, tapi bukti!” ucapannya lebih dingin ketimbang predator. “Selama ini kau selalu membohongiku. Sudahlah pergi saja. Akau tak akan mengharapkannmu lagi.” Tak sedikitpun Risa menatap lawannya bicara.
Air di pelupuk mata biru mengalir begitu saja. Kali pertama ia begini. Ada nyeri di ulu hati, dan kekasihlah sebabnya begitu. Berulang kali ia bersimpuh pada kekasihnya, berulangkali pula mendapat pengusiran. Ia tetap bertahan walau suara dan tangis wanita di telpon terus bergaung di telinganya.
Mengalah adalah satu-satunya jalan mengakhiri permasalahan. Meski berat, Janson tetap pergi tanpa sempat melihat senyuman kekasih. Masih ada secuil harapan yang ia bawa pulang. Yakin Risa akan tersadar dan kembali mencintainya.
—
Roda masa berputar begitu cepat. Secepat rindu menyambar hati gadis yang telah melukai kekasihnya. Rupanya kebencian tak dapat ia buat di atas hati yang telah ranum di tumbuhi cinta. kini sesal mengakar di ladang hatinya yang gersang.
Mungkin Janson telah kembali pada keluarganya. Sementara Risa telah sirna dari ingatan lelaki itu. Tak mungkin Janson kembali pada perempuan yang telah membuatnya mengucurkan air mata.
Bukan perpisahan yang menyakitkan. Melainkan pertemuan yang membuat sebuah penyesalan. Seandainya ia tak pergi menonton opera cina, tentu ia tak akan bertemu dengan Janson. Bukan. Bukan itu yang membuatnya menyesal. Melainkan kesalahan dalam memahami. Ia terlalu takut kala itu sehingga apapun kebenaran yang diucap Janson tetapkah salah baginya. Berhari setelah Janson pergi, seseorang mengiriminya email.
“Tolong doakan anakku. Hari ini ia akan menjalani operasi jantung. Ia telah menderita sakit jantung sejak empat tahun silam.” Begitu pesan itu bertutur.
Lagi, bulir hangat mengucur dari mata bulatnya. Curiga itu seperti nyala api yang menghanguskan apapun di sekitarnya. Karen curiga, ia telah salah dalam memahami. Semua belum berakhir, masih ada kesempatan untuk meminta maaf. Berulang ia mengirim pesan dan menelpon Janson. Tetapi tak pernah bersahut.
Ia terus begitu selama bertahun. Hidup dalam penyesalan dan hati tertutup untuk menerima lelaki manapun. Mungkin dengan kembali menelusuri tempat kenangan, ia tak akan segalau ini. Berharap cinta akan kembali meski kemungkinan tak akan pernah terjadi.
Risa meraba setia gembok yang menggantung di pagar jembatan Fairytale. Mengamati setiap ukiran nama pada gembok berbentuk hati yang membeku. Ia belum menemukan padlock miliknya. Hatinya kian resah. Mungkin padlock itu telah lepas dari pagar. Seperti cinta mereka.
Tetapi masih banyak gembok yang belum ia periksa. Hujaman salju tak menghentikannya mencari serpihan kenangan manis itu. Derai air mata tak urung membeku. Ia tersenyum saat jemarinya menyentuh gembok berselimutkan es. Ada ukiran huruf J. Ia membersihkan es dari gembok berukuran 5×5 cm itu. Cintanya belum berakhir. Gemboknya masih utuh. Pikirnya.
“Janson, aku masih mencintaimu. Kembalilah,” rintih gadis itu. Bulir hangat bercucuran dari matanya yang memanas. Wajah Janson masih membayang. Ia ingat bagaimana lelaki itu memeluk hangat tubuhnya dan menjadi sandaran untuknya. Ah, haruskah semua berakhir begitu saja? Seperti bulir salju yang mencair lalu menguap menjadi udara hingga tak nampak lagi.
“Risa nasution. Kaukah itu?” Suara bas seseorang menghentikan tangisnya. Risa menoleh ke arah suara itu. Ia tersenyum menatapi seorang di hadapannya. Buru-buru mencubit pipinya sendiri.
“Koenhaard Janson. Mimpikah ini?”
Suasana pegunungan Hanshan begitu ramai. Seorang wanita ditemukan terbujur kaku di jembatan fairytale karena kedinginan. Di tangannya, sebuah ponsel menujukan pesan What’s app bertuliskan RIP Koenhaard janson. 01-February-1989-12-December-2016.
Cerpen Karangan: Bia R Blog / Facebook: Bia R