Tanganku masih senantiasa membuka sketchbookku, inspirasi yang biasanya datang dengan sendirinya kini melayang entah kemana. Pensil yang biasanya kugoreskan dengan lincah kini berdiam diri di atas meja ini, aku resah tapi tak tau mengapa. Mataku melirik jaket biru tua yang senantiasa berada di dekat bantalku, mataku kabur, airmata sialan ini datang lagi. Ahh aku tahu rupanya resah ini, bernama rindu.
Dua tahun lalu… Saat kelas 3 SMA tahun terakhirku di sekolah aku mengikuti perlombaan melukis tingkat SMA, bukannya sombong hasil lukisanku memanglah bisa dibilang bagus. Lomba melukis ini kebetulan diadakan di sekolahku, setelah selesai diadakannya lomba aku pun pulang ke rumah. Rumahku yang jaraknya memang tidak jauh dari sekolah membuatku memilih alternatif berjalan kaki. Cuaca hari ini yang mendung membuatku memilih berlari agar cepat sampai rumah, langkahku terhenti saat melihat beberaapa preman yang sedang nongkrong di depan gang arah rumahku, aku mencoba memberanikan diri dan menghiraukan para preman itu, sampai salah satu dari mereka berani mencolek lenganku.
“Hey jangan kurang ajar ya..” Teriakku… cuaca yang mendung membuat orang sudah jarang melintas di sekitar sana. “Sendirian cantik? Sini aja.. temenin abang” Salah satu preman itu maju menyentuh daguku, ada yang menyentuh pipiku, aku dipegangi erat sekali oleh preman yang lainnya. 3 preman itu melecehkanku, beruntung belum sampai tahap yang membahayakan, suara pukulan datang salah satu preman tersungkur dan akhirnya dua lainnya membantu temannya itu.
Aku sudah terisak keras sekali, sampai aku mendengar suara benturan dan pecahan benda aku membuka dekapan tangan dari mataku, para preman itu sudah lari dan aku terbelalak melihat darah yang mengalir dari tangan pria itu juga kamera yang dikalungkan di lehernya sudah tidak berbentuk.
“Te.. terima kasih pertolongannya, tapi tanganmu terluka dan kameramu rusak.” Aku menunduk tidak berani menatapnya. sampai dimana aku sadar bahwa dia tidak membalas perkataanku aku pun mendongak. Astaga… dia tersenyum manis sekali. “Bara.. namaku Bara. Namamu siapa.” Bukannya membalas perkataaku dia malah memperkenalkan diri. “Atha. Ehmm…Bara ayo ke rumahku biar kuobati tanganmu dan aku akan mengganti kerusakan kameramu. Ahh kehancuran kameramu tepatnya.” Aku tersenyum masam merasa tidak enak.
Bara mendekatkan kepalanya kearahku dan berkata “Gantinya kamu menjadi pacarku saja.” Mataku mebelalak sempurna dan spontan aku memukulnya cukup keras namun tidak sengaja terkena tangannya terluka. Raut wajahku berubah panik melihat darah di tangannya kembali mengalir, tapi mengapa dia tidak kesakitan?.
“Aduh… sakit atha..” Bara mengelus elus tangannya, respon sangat lambat setelah aku memukulnya namun aku menghilangkan pikiran burukku tentangnya. “Tidak usah Atha, aku minta nomor whatsappmu saja ya? lagipula ini kamera lama memang sudah waktunya diganti.”
Setelah mendapat nomorku Bara mengantarku pulang, berawal dari situ aku dan Bara menjadi dekat setelah pendekatan beberapa minggu aku dan Bara menjadi sepasang kekasih.
Bara sangatlah baik dan manis, berada di dekat bara merasa telindungi, aku sungguh mencintai Bara. Namun saat itu aku merasa bersalah, karena Bara yang selalu terluka menolongku ternyata mengidap penyakit CIPA, Congenital Insensitivy to Pain with Anhidrosis, yaitu penyakit yang tidak bisa merasakan sakit.
Hal ini aku ketahui saat bara terluka karena dikeroyok warga yang menuduh Bara copet, walaupun nyatanya Bara lah yang mengejar copetnya. Aku menangis tersedu sedu, wajah tampan Bara berhias lebam dan luka dimana, Bara tergeletak lemah di pinggir trotoar dengan kepalanya di pahaku, aku mengecupi seluruh wajahnya.
Oh tuhan… panjangkanlah umur pemuda baik hati ini.
Dan saat salah seorang melintas dan membantuku untuk membawa Bara ke rumah sakit, Bara baru menceritakan penyakitnya ini padaku sontak aku menangis tersedu, buku jarinya kukecupi. Ternyata ini yang membuatnya tidak merasa sakit saat aku memukul tangannya yang terluka saat pertama kali, respon yang terlambat saat kesakitan adalah rekayasanya, aku tahu Bara ingin seperti yang lainnya dia juga ingin merasakan sakit seperti yang lainnya.
“Bagaimana rasanya sakit tha? aku selalu membayangkan bagaimana rasanya tanganku digenggam olehmu? aku juga ingin merasakan bagaimana rasanya diciium olehmu. Atha jangan menangis, aku tidak apa-apa, tubuhku tidak merasakan sakit sama sekali Tha, jangan khawatirkan aku.” “A…aku merasa bersalah Bar, kamu… seharusnya tidak perlu terlalu baik dengan semua orang, kamu tidak merasakan sakit bukan berarti kamu kuat dipukuli Bar, kamu juga manusia.” “Maafin aku Bar… aku nggak bisa jadi kekasih yang baik” Airmataku tak terbendung, aku melihat Bara menggeleng dan tersenyum lemah. “Kamu gadis terbaikku Atha, terima kasih masih memilih di sampingku walaupun tahu aku berbeda.” Tangannya mengusap puncak kepalaku dengan sayang.
Bara… Entah mengapa aku berharap kamulah jodohku.
Setelah mengetahui penyakit Bara, tidak ada yang berubah dari hubungan kami, sampai perasaanku mengatakan akan terjadi sesuatu hal yang buruk pada Bara. Hari ini dia izin padaku untuk berkunjung ke rumah neneknya yang sedang sakit keras, Bara memakaikanku jaket birunya dan memelukku sejenak
“Dipakai ya… kalau kamu kedinginan aku nggak bisa meluk ” Entah perasaanku saja atau kalimat Bara memang mengandung banyak makna.
Pulang ke rumah aku masih senantiasa mendekap jaket Bara, sungguh jantungku berdebar keras entah mengapa. Ya tuhan lindungilah Bara.
Aku semakin gelisah lagi ketika sudah dua hari tidak menghubungiku, awalnya kukira itu hanya karena Bara masih di pesawat namun tidak mungkin dua hari dia masi ada di pesawat.
Bara sudah sampai? Ahh belum sampai ya? see you next chat bee :* Bara…? Bara.. please balas aku khawatir. Are you okay Bar?
Aku menenangkan diriku sambil menonton televisi, setelah mengganti ganti chanel tv, remote yang kupegang terhempas begitu saja, mataku terus meneliti bahwa pesawat yang terjatuh bukanlah pesawat yang ditumpangi Bara.
Namun airmataku langsung mendesak keluar ketika nama Bara Arsena terpampang di layar televisi sebagai aslah satu korban meninggal, detik itu juga aku merasakan duniaku hancur berkeping keping.
Berlarian masuk rumah sakit seperti orang gila, menerjang semua jenis manusia demi Bara. Tidak!! baraku masih ada, dia tidak mungkin meninggalkanku, aku selalu merapalkan hal itu untuk penenangku sendiri, setelah ditunjukkan oleh suster dimana tempat para korban pesawat itu aku pun langsung mencari kamar Bara. Mataku terpaku pada satu kamar yang ada di ujung sana, entah apa yang menarikku kesana, akupun menuju kesana. Astaga… Bara tiada, itu nyata. Rasanya aku sudah tidak bisa lagi mengeluarkan air mata, Bara ku sekarang sedang terbujur kaku. Aku menghampirinya, memeluknya dan membenamkan wajahku di dadanya.
“Ngapain ngasih aku jaket kalau kamu akhirnya pergi.” “Pembohong.. katanya mau terus jagain aku…” “Gimana nanti kalau aku nanti digodain preman lagi, jagain dong pacar cantik kamu.” “Bara… Ih kebo deh tidur nggak bangun bangun” Aku bermonolog seperti orang gila, berharap Bara hanya tidur seperti biasa namun nyatanya airmataku yang semakin menerobos kelar ini membuktikan dia telah tiada.
“Bara.. kamu beneran pergi?” suaraku parau dan nafasku sesak. “Kan kamu nggak merasa sakit Bar, kamu kuat kok, seharusnya kamu nggak meninggal gini, lemah banget jadi cowok.” “Bar..” Aku sesenggukan “Bara I Love you.”
Bara tiada… Atha merana Ini bukanlah seperti dongeng cindrella yang kubaca, mereka hidup bahagia. Happily ever after. Kisah kita ada, kita juga pernah bahagia kita juga pernah tertawa bersama. Namun kini engkau telah tiada, masihkah aku bisa untuk bahagia? Karena kamu adalah kebahagiaanku, katakanlah aku harus bagaimana?
Atha akan selalu terluka tanpa Bara. Namun aku tahu aku harus merelakanmu. Walau terkadang kamu masih hadir dalam hidupku. Aku merindukanmu, Bara Arsena.
Cerpen Karangan: Yunita Andriana Blog / Facebook: Yunita Andriana follow IG: @iamyuniita