Ahad malam, agaknya memang menjadi ritual bagi lelaki itu mengalunkan musik merdu nan lembut di tepian pantai lantaran kenangan terindah dalam hidupnya telah terkubur dalam-dalam di balik karang-karang laut. Ingin kudekati lelaki itu, namun melodi-melodinya mengisyaratkanku agar tetap duduk tenang memandanginya.
Lelaki itu konon adalah manusia paling berbahagia di kampungku, di tepian Selat Malaka. Kononnya begitu. Tak lama setelah angin darat berhembus, kebahagiaan itu ikut tertiup, melayang entah kemana, minggat dan melambung jauh dari lelaki itu. Hal itu terjadi lantaran cintanya kalah bersaing dengan adat istiadat keluarga sang mempelai.
Pernah suatu kali waktu aku kerja di pasar sebagai kuli angkut, kupandangi lelaki itu dengan gadisnya, bersepeda, berkeliling, beli itu beli ini, apapun itu asalkan keduanya bisa bersama, tak peduli dengan krisis moneter yang melanda. Keduanya kelihatan bahagia. Di taman kulihati lelaki itu memainkan gitar, melantunkan “Bukan Rayuan Gombal” karya Judika, berpuisi, berpantun, ah memang tak terbilang seninya, merayu perempuan itu sejadi-jadinya. Perempuan itu pun tersipu malu, mukanya memerah, tak kuat mendengar rayuan-rayuan itu untuk pertama kali dalam hidupnya. Wajar saja, suara lelaki itu memang bukan main, belum lagi skill-nya dalam memainkan gitar, macam John Lennon. Pernah aku tak sengaja mendengar puisi lelaki itu untuk gadisnya. Indah nian.
Bidadariku Wahai dikau yang turun dari kahyangan Tidakkah di bumi ini engkau bosan? Apakah kau sedang kehilangan selendangmu yang cantik nian? Biarlah itu kucarikan
Adapun gadis itu tak cuma diam tersipu malu. Ia membalas.
Singgahsana Tak usahlah repot kakanda Biarlah selendang itu sirna Kahyanganku bukanlah di atas sana Atau di negeri Atlantis sana Biarlah hati kakanda Kujadikan singgahsana
Mereka memang pasangan yang serasi, namun keduanya belum diikat oleh janji suci. Keduanya bermaksud mengadakan itu, namun kondisi kantong mereka tak mendukung. Lelaki itu pun membanting tulang. Pernah lelaki itu berkerja seharian di pasar, jadi kuli angkut, sama kayak aku, tukang sampah, tukang parut kelapa, tukang cuci piring, pelayan kedai kopi, kedai tuak, dan banyak pekerjaan lain yang tak bisa dibilang. Kalau pasar lagi tutup, lelaki itu pergi melaut, tak takut dihempas keras gelombang. Atau kalau laut lagi mengamuk, dia tak segan-segan jadi pengganti primata yang dipakai orang kampungku untuk memetik buah kelapa setinggi gedung pencakar langit. Semua itu dilakukannya untuk mengais rezeki. Nantinya uang itu digunakan untuk membeli cincin permata, mengajak gadis itu ke pasar malam, dan melamarnya di bawah sinar rembulan. Rencana yang matang.
Isnin sampai Jumat merupakan waktu bagi mereka untuk berkirim dan berbalas surat, karena pada waktu itu mereka berdua sibuk bekerja, sehingga tidak bisa saling bertatap wajah. Sedangkan Sabtu dan Ahad adalah waktu bagi mereka melampiaskan kerinduan mereka, berkencan, dan berkeliling kampung. Namun 13 hari belakangan, mereka tak melakukan ritual itu. Lelaki itu memang sengaja, lantaran di hari ke-14, ia ingin membonceng gadis itu ke pasar malam dan melamarnya disana. Semacam kejutan, walaupun orang-orang di kampung ini buta akan kejutan.
Dengan kemeja safari yang rapi dan cincin permata di saku kanan celananya, lelaki itu datang ke rumah gadis itu dengan sepeda ontelnya. Tiba disana, ia terkejut melihat orang-orang berjubah hitam dengan membawa tiang kayu, tali rami, dan ada yang membawa barang-barang sakral. Lelaki itu mencoba memanggil gadis itu. Namun yang keluar bukanlah dia, calon isternya itu. Pria tua bermuka layu, macam tak dikasih makan seminggu keluar dari rumah gadis itu. Ia tak lain adalah ayahanda gadis itu.
“Pulang kau, tak ada lagi cinta untukmu. Cintanya sudah sama yang lain.” Pria itu mengatakan demikian, bermaksud memberikan cinta anaknya kepada yang lain dengan cara menumbalkannya kepada dewa mereka. Menurut tradisi mereka, kalau ingin meminta sesuatu secara instant dari dewa, maka mereka harus mempersembahkan perjaka atau perawan di tepian pantai, diikatkan hidup-hidup di sebuah tiang setinggi enam meter yang didirikan sejauh enam meter dari bibir pantai, dengan tinggi permukaan laut enam sentimeter, dan harus pada bulan ke enam, Juni. Makin bagus paras korban itu, maka makin cepat dewa mereka mengambil dan menerima korban itu. Hal ini terpaksa dilakukan ayah gadis itu lantaran utang mereka yang segunung dengan tuan tanah.
Tak mau melihat orang-orang disitu naik pitam, lelaki itu pun pulang dan bermaksud untuk datang ke pantai dimana gadis itu akan dikorbankan untuk menyelamatkannya. Dia pulang.
Gadis itu ditenteng ke pantai, diikat di tiang kayu, ditancapkan dan dibacakan mantra-mantra oleh orang-orang berjubah hitam itu. Selesai ritual, gadis itu dibiarkan saja sampai subuh, supaya dewa tak malu-malu mengambil gadis itu.
Lelaki itu tak tinggal diam. Dia menghampiri gadis itu di tengah malam unuk menyelamatkannya. “Kakanda”, ujar gadis itu lemas. Lelaki itu pun membuka ikatan tali gadis itu, namun sesaat mau selesai, tombak dan panah menghujani mereka. Dengan segala kelihaiannya, lelaki itu berhasil menghindar dari panggilan malaikat maut. Namun lain halnya dengan gadis itu. Anak panah tepat menusuk jantungnya, tak dapat diselamatkan lagi. Orang-orang berjubah hitam itu tiba-tiba datang dengan tombak yang banyak. Sengaja dibunuhnya gadis itu, kalau tidak, dewa mereka akan murka dan kampung itu akan mendapat bala bencana.
Lelaki itu tak kuat, dia ingin menangis sekeras-kerasnya. Dia kabur dengan berlinang air mata. Di hari itu, ia baru saja kehilangan belahan jiwanya. Oleh karena itu setiap Ahad malam ia bernyanyi di bibir pantai, untuk mengenang masa-masa indah dalam hidupnya.
Waktu aku asyik duduk menikmati alunan melodi harmonika lelaki itu, tiba-tiba malam menjadi sunyi, hanya suara jangkrik yang melukis malam itu. Aku penasaran, ingin kudekati lelaki itu, mencari tahu kenapa dia berhenti mengumandangkan nada-nada galaunya itu.
Waktu kudekati, dia sudah pergi jauh, menuju ke pantai, dan aku hanya memandangnya dari kejauhan. Namun dia tidak sendirian. Sekumpulan orang menentengnya, mengikatnya ke tiang kayu, dan menancapkan kayu itu ke pasir pantai. Yang kuperkirakan, tiang kayu itu setinggi enam meter, didirikan sejauh enam meter dari bibir pantai, air laut yang setinggi enam sentimeter, hari itu tepatnya di bulan keenam, dan orang-orang itu semua berjubah hitam.
Cerpen Karangan: John Jovi Sidabutar Blog / Facebook: John Jovi Sidabutar