Aku melihat jam tanganku untuk kesekian kalinya. Sudah hampir jam 3 sore dan aku masih duduk di tempat yang sama dari 2 jam lalu. Masih dalam keadaan menunggu temanku datang. Aku sudah menghabiskan 1 cangkir milk tea dan ini sudah memesan segelas lagi. Cheese cake porsi besar yang aku pesan tinggal setengahnya. Setiap pintu café itu terbuka, aku selalu menoleh dan berharap itu adalah temanku. Aku harus pergi nanti malam dan masih banyak yang harus aku siapkan. Aku tidak mungkin menunggunya sampai gelap di café ini.
Aku dan dia sering datang kesini sejak SMP. Kami berteman cukup lama sampai aku jatuh cinta padanya. Ya, aku jatuh cinta padanya. Kami ada di satu sekolah dalam kelas yang berbeda. Tapi kami berada di dua klub yang sama. Di dalam sekolah, dia dalah pelukis yang handal dan di luar sekolah, dia adalah penembak yang hebat. Gadis itu kebanggaan sekolah dalam semua bentuk seni 2D dan atlet kesayangan pelatih di klub tembak.
Walau jalan kami berbeda, berusaha tetap bisa berteman tanpa membawa jalan hidup kami yang berlawanan. Kami masih sesering mungkin bertemu dalam keadaan dan suasana yang berbeda. Setidaknya, kami masih nyaman satu sama lain. Kami masih berkomunikasi, berbagi, mendengar dan berbicara. Berteman seperti itu lebih dari cukup mengingat pilihan kami yang sangat bertentangan.
Kami bertemu saat kelas 8 di klub tembak. Aku tergolong anak yang aktif, sedikit nakal dan pemberontak. Kakakku membawa aku masuk ke klub tembak agar aku menjadi sedikit lebih penurut dan disiplin. Kakak ingin aku menjadi seperti dia. Berada di urutan 20 besar atlet tembak terbaik dunia.
Disana aku pertama kali bertemu dengan gadis itu. Dia manis dengan hidung kecilnya, mata bulatnya dan rambut hitamnya. Gadis itu cerdas, ramah dan sangat menarik. Sulit bagiku untuk tidak jatuh dalam pesonanya.
Aku masih ingat bagaimana pertama kali dia meyapaku setelah pulang kelas tembak. Terjebak hujan deras bersama. Dia gadis yang ceria dan ramah. Senyum indahnya membuat semua orang mau meladeninya, suara nyaringnya membuat semua orang menoleh padanya. Awalnya, aku kurang mau meladeninya waktu itu. Tapi dia terus berbicara padaku sampai kakakku datang menjemputku.
Aku ingat bagaimana kita menjadi semakin dekat setiap harinya di sekolah. Aku ingat bagaimana setiap harinya dia bercerita padaku. Menggambarkan semua senang dan sedihnya sampai aku mau menanggapinya. Aku ingat bagaimana dia selalu membuatku bersemangat dengan setiap tekanan pelatih kami. Bagaimana dia selalu membuatku tenang saat bertengkar dengan kakakku, Airell. Dia selalu sabar dan membuatku nyaman. Aku ingat bagaimana aku melakukan kesalahan itu dan melakukannya berulang-ulang. Mengenalkan dia dengan sepupuku dan terus membiarkannya duduk dengan kami. Dia menyebut dan memanggil nama sepupuku dengan nada yang sama dengan dia memanggilku. Ada rasa kagum, senang, bangga dan sayang yang berlebih.
Aku terus melakukan kesalahan itu hari demi hari, tahun demi tahun. Kita menjadi tiga serangkai yang selalu bersama. Sampai suatu hari, dia mendatangiku dengan sebuah teriakan dan pelukkan. “YUNANDHA ZAREELAM. Ya, tuhan!” Aku ingat, saat itu kami berdua baru pulang dari tournament di Australia. Aku baru sampai rumah 20 menit lalu dan tiba-tiba dia sudah ada di hadapanku –lagi-. “Ada apa?” Aku mengangkat tanganku dan menepuk kepalanya. “Gue jadian sama Juna.” Satu kalimat itu meluncur bebas keluar dari mulutnya. Kesalahan yang selama ini selalu aku biarkan kini membuahkan hasil. Aku melepas pelukkannya dengan paksa. Dia menatapku dengan mata berbinar. Aku tersenyum dan menghela napas pelan, “Selamat! Kalian harus teraktir aku!” Aku meletakkan kedua tanganku di bahunya dan menatapnya serius, “Jangan rusak sepupuku yang polos itu, ya!” Setelah itu dia memukulku berkali-kali sambil tertawa. Malam itu aku habiskan dengan banyak kebohongan sampai pagi.
Aku berpikir bahwa dengan menghabiskan waktumu lebih banyak denganku dari pada bersama Juna, aku dapat memiliki lebih banyak peluang. Tapi sekarang aku tahu bahwa aku salah. Yang aku tidak tahu adalah bagian memang aku tidak bisa atau hanya kalah cepat. Tapi yang pasti aku kalah.
Sebelum kelulusan SMA. Aku ingat kita bertiga memiliki rencana kuliah di Bandung bersama. Tidak ingin terpisahkan sebagai tiga serangkai. Tapi tidak ada satupun dari kalian yang mengerti bagaimana rasanya hadir sebagai orang ketiga diantara kalian. Tidak satupun dari kalian yang sadar bahwa, sejak ‘hari itu’ aku mulai berjalan agak menjauh.
Tapi rencana itu tidak pernah terwujud sampai kapanpun. Gadis itu mendapat dua undangan dari ITB dan STIN. Juna mendapat undangan dari UI. Aku? Satu dari sekolah dan satu dari klub tembak. Aku mendapat undangan dari UGM dan -Xe Service LLC Academy. Semua sekolah itu tidak bisa disatukan. Kami dipilih atas bidang kami masing-masing.
Juna mendapatkan impiannya. Memakai almamater kuning UI adalah mimpinya dan dia mendapatkannya sekarang. Dan dia, gadis itu memang dilahirkan sebagai seorang jenius. Dia satu-satunya yang memperoleh undangan STIN di sekolah. Dia memilih masa depan yang tepat untuk dirinya. Pasangan dan pekerjaannya.
Sedangkan aku, Westpoint adalah mimpi tertinggiku. Dan Xe Service LLC Academy menyerempet hal itu. Pelatihku akan mengutukku jika aku berani menolaknya. Dan dengan peperangan antar kakak-adik, aku menerima tawaran haram itu.
Aku ingat, saat dia tahu aku menerima tawaran Xe Service LLC, gadis itu mendatangiku dengan penuh amarah dan hampir menghancurkan pintu kamarku. “Bodoh!” Aku merasakan pipiku memanas. Dengan sekuat tenaganya, gadis itu menamparku. “Apa yang lo lakuin, Yunan?” Dan tiba-tiba menangis, berlutut menyamai aku yang duduk. “Mengejar mimipiku” Dia mengangkat kepalanya dan memandangku memohon. “Jangan pergi!” Air matanya semakin deras keluar dari mata indahnya. Aku tersenyum. Kedua ibu jariku menghapus air matanya, “Hei?” Dan segera menarik kembali tanganku sebelum aku tidak bisa mengendalikannya. “Kejar mimpi lo yang lain!” Satu pukulan pelan ia berikan di dadaku. “Bukan yang itu” “Sudah gak ada lagi, Bee. Semuanya hilang dan tinggal ini” aku menghela napas lalu bersandar pada sandaran sofa. “Kamu pasti punya pimpi lain, Nan?” Gadis ini masih belum menyerah untuk membujukku melupakan mimpiku menjadi seorang tentara bayaran.
Aku diam dan berpikir jawaban yang tepat. Menghela napas sekali lagi sebelum membuka mulutku. “Aku punya banyak mimpi dan dengan perlahan Tuhan pastikan kalau aku gak bisa ambil itu dan Tuhan tujukan mana yang bisa aku capai.” “contohnya?” Dan dia masih belum mau berhenti. “memiliki keluarga yang lengkap. Akur dengan kak Airell. Terus bisa bersama teman-temanku. Dan-” Memilikimu. Aku mengangkat bahuku acuh. “Lo bisa capai bagian ‘terus bisa bersama teman-temanku’ itu!” Dia mulai mengguncangkan kedua lututku untuk memohon. “Kamu di STIN, Juna di UI dan aku di UGM, maksudnya?” Aku meletakkan kedua tanganku di bahunya untuk meyakinkan. “Tapi gue gak mau lo pergi.” Satu kalimat itu hampir membuat pertahanku hancur. Tapi aku meyakinkan diriku sendiri kalau aku memang harus pergi apapun resikonya. Karena aku tahu, jika aku pergi, aku dan dia akan sangat bertentangan.
Cerpen Karangan: Adiningsih