6 tahun lalu saat dia memohon setelah malam perpisahan sekolah. Dan sampai sekarang, tiga serangkaiku masih terus terjalin walau aku berada di tempat yang sangat jauh dari mereka. Gadis itu dan sepupuku baik-baik saja meski mereka LDR Jakarta-Jogja karena pekerjaan Juna.
Aku dan dia masih baik-baik saja tanpa menceritakan kegiatan pekerjaan kami. Dan aku senang kami bisa saling memahami. Aku tidak tahu apa yang dilakukan dengan kegiatan intelnya dan dia tidak tahu apa yang aku lakukan di berbagai belahan dunia yang penuh konflik, kekuasaan dan keserakahan.
Aku menghela napas khawatir sekarang. Jam digital di tanganku menunjukan angka 15:13. Sampai kapan aku menunggunya disini tanpa kabar. Aku dan gadis itu berjanji akan bertemu sebelum aku berangkat ke Somalia 20 jam lagi.
Setengah cangkir milk teaku sudah tandas dan cheese cake ku sudah habis tanpa sisa. Lagu I’ll Wait For You-Westlife mengalun keseluruh penjuru ruangan ini.
KRIIING! Aku mengangkat kepalaku mendengar bunyi bel pintu. Seorang wantia cantik dan terlihat dewasa masuk dengan tergesa-gesa. Ia berhenti di konter dan memesan. Selang beberapa menit, ia membawa pesanannya berjalan menuju mejaku. Wanita itu menggunakan pakaian kantor biasa. Celana bahan hitam, kemeja honeydew serta blazer hitam. Name tag bertuliskan ‘Abeegail Laila Praditha’ tersemat di dada kanannya. Hentakan sepatu pantopelnya terdengar saat dia berlari.
“Kantor gue sibuk gila hari ini.” Dia duduk di hadapanku dengan napas terengah. “Maaf!” Senyum cerahnya terlihat saat dia selesai mengelap keringatnya. Aku tersenyum sambil mengangguk. “Hai!” Abee mengangguk menjawabku. Aku meraih ponsel biruku mengetik pesan dan mengirimnya kepada Juna. Semakin jarang aku bertemu dengannya, semakin indah dia terlihat di mataku.
“Nan, ingat Gina gak? Ketua art club angkatan kita?” Aku mengangguk sambil menatapnya, “Gila, baru tiga bulan nikah, sekarang dia udah hamil. Kemarin dia hubungin gue ngajak ketemu, dia bilang mau re-“ “Besok aku mau pergi.” Mutlak. Aku menyela ceritanya. Abee mengerutkan keninganya hingga alis tebalnya hampir bersatu. “Lo baru pulang dua hari lalu. Besok mau pergi lagi?” Aku tersenyum menanggapi reaksinya. “Kemana?” Hanya satu hal yang boleh kami pertanyakan dalam hal pekerjaan ‘kemana’. “Somalia. Aku ada tugas disana.” Aku menengguk habis milk teaku yang tersisa. Mata Abee bergerak gelisah menatapku, “Tapi bukan itu maksud aku ‘pergi’. Aku mau pindah ke Amerika.” Senyum meremehkan dan pandangan tidak percaya terpancar dari wajahnya, “Yunan?” Suaranya serak dan bergetar. Mata indahnya mulai berkaca-kaca, “Maksudnya lo nggak kesini lagi?” “Hei,” aku mendesah dan memajukan tubuhku kearahnya lalu meraih kedua tangannya, “Aku punya kak Airell, aku punya kamu, aku punya Juna. Gak mungkin kalau aku gak kesini!” Aku memandangnya meyakinkan. “Tapi gue gak mau lo pergi.” Demi Tuhan, kalimat itu lagi. “Tapi, aku harus per-” “I love you!” Mataku membulat mendengar menuturannya. Awalnya aku ingin tertawa karenanya. Tapi melihat matanya menatapku sunguh-sunguh. Sebuah benteng kuat yang selama ini aku bangun hancur menjadi puing-puing kecil yang mungkin bisa tertiup angin dan pergi tanpa sisa.
“I really love you!” Tangan kecilnya membalas genggaman tanganku, “Do you feel the same? Did you?”
Aku diam terus menatap mata bulatnya, mencari celah canda di dalamnya. Mata jernihnya menatapku penuh harap, memohon dan kesunguhan. Aku menghela napas lalu membuang pandanganku agar aku bisa berpikir. Melihat sosok yang aku kenal sedang berlari dari parkiran café. Mata Abee masih memandangku memohon. Aku tersenyum lalu menarik tangannya mendekat. “You would never break my cousin. Do you remember that?”
Abee menarik tangannya dan menunduk. Bahunya bergetar hebat. Sebelah tangannya menutup mulutnya dan sebelah lagi meremas celananya. Isakan pelannya terdengar dari celah tangan yang menutup mulutnya.
Juna sampai di hadapanku dengan napas memburu. Pria itu duduk di samping Abee dan langsung menarik pundak kekasihnya, mendekapnya. Juna beralih pandanganku, menatapku menuntut. “Are you serious?” Aku tersenyum dan menatap Juna sunguh-sunguh. “Iya” dan dengan mantap menjawab pertanyaannya. “Aku harus pergi!” Aku mulai memasukan barang-barangku ke dalam tas. “Lo mau pergi sekarang, Yun?” Juna menatapku tidak percaya saat aku sudah berdiri. “Harus siap-siap” aku berhenti dan memandang Abee yang masih menangis di pelukan Juna. Tanganku terulur mengusap rambutnya sampai pipinya yang basah. Lalu menghela napas dan berjalan menjauh dari tempatku. “Jaga dia!” Menepuk pundak Juna sebelum aku benar-benar pergi.
Aku menoleh saat sampai konter. Juna masih sibuk menenangkan Abee yang menangis. Aku mengeluarkan dua lembar uang seratus ribu untuk membayar. “Mbak, boleh minta kertas sama pulpen?” Pelayan wantia di hadapanku tersenyum lalu mengambil kertas berwarna hijau, pulpen dan sekalian uang kembalianku. Aku menulis sesuatu di kertas itu lalu kembali menatap pelayan di hadapanku, “Nanti, tolong kasih ke perempuan yang tadi duduk sama saya!” “Ah, baiklah” Aku menarik tangannya dan memberikan uang kembalian tadi, “Ambil kembaliannya!”
Aku berlari ke mobilkku yang aku parkir agak jauh dari pintu masuk. Mobil hitam ini adalah salah satu hasil kerja kerasku selama 5 tahun kebelakang. “Haaah” aku menghela napas menatap kedalam café itu. Juna dan Abee masih belum keluar dari sana.
Aku masih merasakannya sampai sekarang. Setiap ada di dekatnya, aku merasakan hal aneh. Setiap dia bersamaku, seolah gadis itu adalah milikku.
Aku bimbang kemana aku harus melangkah. Terkadang, dia memberiku harapan lebih dan terkadang dia menjauh. Dan aku mencintaimu, sungguh tanpa harus kau tahu. Aku ingin menyimpannya sebagai rahasia cintaku. Tapi, aku rasa kau berhak untuk tahu walau tidak akan ada yang berubah sekalipun.
Beberapa menit setelah aku duduk di mobil. Juna dan Abee bangun dari tempat mereka dan menuju konter. Pelayan wanita tadi memberikan kertas hijau yang tadi aku pesan padanya. Aku dapat melihat semuanya dari sini. Melihat Juna yang membayar pesanan mereka dan Abee yang mebuka kertas itu. Detik berikutnya, Abee kembali memeluk Juna dan menangis.
Aku tidak bisa mengakhiri ceritaku sama dengan cerita indah lainnya. Karena kertas itu bertuliskan-
I do.
Cerpen Karangan: Adiningsih