Kicauan burung bersenandung riang di atas pepohonan cemara, tiupan angin musim hujan tidak menyurutkan semangat mereka untuk menyambut karunia mentari pagi. Sang matahari dengan ngantuknya membumbung enggan di cakrawala, sedangkan anak bumi telah kenyang terlelap di pelukan sang ibu malam, dan kini harus terbangun enggan menyambut seruan sang harapan
Kita, manusia-manusia ditarik oleh ikatan waktu dan di seret oleh tangan takdir. Suatu hari kau bisa berjalan di setapak mimpi, dan di hari lainnya kau dapat terjerembab di lubang yang tak berdasar. Tanganmu menggapai tetapi tidak ada yang mengulur, kau menyeru tapi tidak ada yang menyahut, kau berdoa tetapi angin melenyapkannya di udara
Air matanya pun mengering di tanah yang gersang “Jika begitu aku akan menjadi salju yang akan menutupi kesedihanmu”
Dan inilah kisah salju di tanah kering
Aku berjalan gontai di sepanjang koridor, pikiranku menerawang jauh menghiraukan lalu-lalang dan keramaian dalam sunyi ini. Tidak ada yang bercakap-cakap dan juga senda gurau, semuanya dengan urusannya masing-masing, dan itu bagus, karena aku tidak ingin orang-orang melihat wajahku yang penuh dengan guratan keriput ini terselimuti dengan kesedihan. Karena mungkin ada seseorang yang terlalu baik melihatku dan bertanya “Ada apa tuan, kau terlihat sangat menderita” lalu aku takut aku akan membagi kisahku padanya, aku tak ingin. Karena kisah ini terlalu sedih untuk diceritakan
Aku telah sampai di salah satu bangsal pasien yang bertuliskan huruf dan angka “A 323”. Dari dalam aku dapat mendengar banyak yang bercakap-cakap dan bersenda gurau, juga ada yang menangis sendu, semua perasaan menjadi satu di dalam sana. Aku melirik dari jendela kecil di pintu dan menatap langsung ke arah sebuah kasur di dekat jendela, di sana ada seseorang pemuda dan teman-temannya, sekarang aku tahu dari mana suara senda gurau itu berasal. Pemuda itu bukanlah siapaku dan tiada satupun dari mereka adalah kenalanku. Aku hanya mengenang seseorang yang pernah ada di tempat sang pemuda, seseorang yang spesial untukku
Setahun sudah berlalu, tetapi tiap pagi aku masih bisa mencium bau badannya di samping tempat tidurku, bau rambutnya yang tertinggal di bantal, kehangatan tubuhnya yang masih membekas di atas seprei, hingga cahaya matahari pagi yang menerobos jendela membuatku serasa bisa melihat siluet tubuhnya yang indah. Aku menunggu panggilan dari bawah tapi tidak ada. Menunggu seseorang membuka keran air di kamar mandi dan berkata “Bangun sayang, air panasmu sudah siap” aku bangun tetapi kamar mandi kering dan dingin. Aku berjalan ke bawah, ke ruangan dapur, mencoba mencari sisa-sisa bau masakan Sumiyati, singkong goreng dan juga kopi hitam kesukaanku, tetapi aku tidak menemukan sosoknya, bahkan pinggiran kompor pun masih mengkilat seperti setahun yang lalu, aku tidak pernah menyentuhnya karena aku tidak pernah pintar dalam urusan memasak. Aku duduk di sofa dan menunggu teguran dari Sumiyati “Dari pada kau duduk-duduk, kenapa kau tidak mencuci mobilmu!” dan aku pun menuruti perintahnya. Aku mencuci tanpa mengeluh dan ketika itu aku melihat surat di dasboardku. Tertera tulisan RS. Harapan, harapan apa yang sedang ku cari jika harapan itu sudah tidak ada. Tetapi aku menyalahkan mesin mobilku, dan menuju sisa-sisa harapanku
Lalu di sinilah aku, tempat terakhir aku merasakan genggaman hangat tangannya. Tempat kenangan-kenangan dirinya masih seperti hari kemarin dan juga, Astaga
“Sumiyati!!” Aku memegang pegangan pintu yang dingin, sesuatu dalam pandanganku sekarang ini memanggilku untuk masuk
“Tuan Nanda” Suara seorang wanita memanggilku, dan mengembalikanku kembali ke realita Aku menoleh dan melepaskan genggamanku dari pintu, merekahkan senyumku setulus bunga anggrek yang kulihat di atas meja pasien sang pemuda
Sang wanita berjalan mendekatiku “Tuan Nanda, lama tidak melihatmu” Dirinya membungkuk memberi salam Aku pun membalasnya dengan anggukkan, karena pinggangku sudah tidak mau berkompromi lagi “Anda mencari kenalan anda?” Sang wanita memandang ke angka pintu dan kemudian raut wajahnya menjadi tidak seceria tadi lagi “Tuan Nanda, anda…” “Aku kemari hanya karena aku ingin dan aku terkejut ketika melihat itu” Aku menunjuk ke dalam dan sang wanita mengikuti arahanku “Oh… itu, itu semua berkat anda” Aku memasang tampang bingung “Karena aku?” “Iya benar” Sang wanita kini ceria kembali dan bersemangat menjelaskan, tidak ada yang berubah dari dirinya, masih sama seperti satu tahun yang lalu “Berkat anda, sistem di rumah sakit kami berubah, memang sedikit, tapi cukup untuk memberikan kebahagiaan kepada pasien. Oh iya… tentang bunga anggrek itu, itu aku yang menaruhnya di sana. Jika ada pasien yang keberatan, kami akan menggantinya dan ketika pasien itu berganti, aku akan menggantinya kembali dengan anggrek. Dan… Astaga tuan Nanda, apa yang sudah kulakukan kepadamu?” “Tidak… tidak apa-apa ini hanya tangisan haru. Terima kasih kuucapkan padamu” Sang wanita membalas “Sama-sama tuan Nanda, dan maaf jika saya belum sempat memperkenalkan diri saya kepada anda. Nama saya suster Anita. Oh… ini saya ada tisu, tenang saja itu masih steril” Aku menerimanya dan membenamkan wajahku di tisu itu dan kemudian aku terduduk di kursi lorong, suster Anita menemaniku di sisiku. Ini tidaklah buruk, karena seseorang butuh seseorang yang lainnya
“Kau mau mendengar cerita terakhirku dengan Sum ku tercinta?” Anita terkejut, tetapi tidak ada raut wajah penolak-kan di wajahnya “Bolehkah?” “Tentu saja” Anita mengecek jamnya “Kurasa aku punya banyak waktu luang. Jadi, kapan saja anda boleh mulai tuan Nanda”
Aku memejamkan mataku, merasakan bahwa kejadian itu barulah kemarin. Menghirup bau kenangan Sumiyati yang serasa terpanggil oleh bunga anggrek itu, lalu dirinya tertidur di kasur yang terakhir kalinya mengangkat jiwanya ke surga
Aku kembali ke malam satu tahun yang lalu “Sum… sum…” aku memanggil lembut, selembut buaian angin malam yang hangat di bulan juni “Sum… Sumiyati” tanganku menggenggam penuh harap, dan aku bersiap-siap dengan senyum palsuku jika Sum nanti melihatku. Tetapi hanya bunyi monitor yang menyambut seruanku, dan menentramkan hatiku karena aku tahu bahwa dirinya hanya tertidur begitu lelapnya. Terkadang aku berpikir mengapa dia begitu egois membuatku menyendiri seperti ini, tetapi dari dahulu dia memang selalu egois. Rela menanggung bebannya sendiri dan juga orang lain
Tiga puluh tahun aku bersamanya, ombak dan badai dunia telah kami lewati bersama. Dirinyalah yang paling depan jika badai menerjang, dirinyalah yang tidak mau dianggap lemah padahal dirinya adalah wanita. “Kau pikir aku wanita lemah, apa?” kata-kata yang tidak dapat digoyangkan oleh sebuah ombak besar sekalipun karena dirinya sekokoh batu karang. Dan aku, aku hanyalah seorang nelayan yang takut akan lautan, lalu ketika aku melihat batu karang itu, aku terpukau akan keteguhan dan kelembutannya, serasa aku menemukan arti untuk mengarungi samudera kehidupan, menenggelamkan rasa takutku di dasar laut seperti kapal yang karam
Di sinari cahaya senja terbenam, batu karang itu berkilau bagai permata di tengah lautan, dan aku bersyukur bahwa akulah yang beruntung karena berhasil menemukannya Di masa lalu, saat vonis dokter menghukumnya bahwa dirinya tidak akan mampu memiliki anak, dirinya hanya terkikis sedikit, lalu berkata padaku “Aku mungkin tidak sesempurna yang kau harapkan, hatiku pun mampu patah, air mataku pun akan deras mengalir, tetapi cintaku sudah terlanjur di dalam dirimu, apa kau masih mencintaiku?” Aku menjawab “Jika hatimu patah maka aku yang akan merangkainya kembali, jika air matamu mengalir maka aku akan menampungnya dan membuangnya di telaga, jika cintamu ada di dalam diriku maka aku akan menjaganya dengan segenap hidupku. Ketika hati ini menemukanmu tidak pernah sekalipun kau tidak ada di dalamnya” Sum tersenyum padaku dan berkata “Untung saja air mata menghilang ketika terjatuh di tanah, jika tidak, kata-kata kepedihanku akan terpampang di permukaannya” “Jikalau begitu. Aku akan menjadi salju yang akan menutupi kata-kata kepedihanmu” Sum terkekeh “Dasar. Mana ada salju di Indonesia” Ketika itu tangannya menggenggam dan menghangatkanku, dan kini tanganku yang menghangatkannya
Cerpen Karangan: Juni anthonius Blog / Facebook: Juni Anthonius