Suara pintu di geser mengembalikan aku kembali dari kenanganku. Sesosok wanita berbaju putih masuk dengan mendorong sebuah gerobak alumunium kecil, mendorongnya hingga terpampang di sebelah Sumiyati. Sebuah cairan dalam plastik, alat suntik, serta obat cair dalam tabung kecil berjumlah tiga banyaknya, ironisnya itu adalah jumlah yang begitu diidamkan oleh kami berdua
“Bapak, izinkan saya” Sang wanita menurunkan kantong cairan yang hampir habis, lalu menggantung yang baru setelah itu menancapkan kembali ujung jarum ke lengan Sum yang tinggal tulang berlapis kulit, aku sedikit meringis ketika melihatnya. Jarum suntik berisi obat disuntikkan kedalam bungkusan cairan yang telah di gantung, dan setelah itu dia menyentuh pergelangan nadi Sum, aku ingin berkata, tidak perlu dia masih hidup, tapi sum tidak akan menyukai penolakanku karena Sum akan menganggap aku bukanlah diriku. Sang wanita mengecek jam tangannya, lalu menuliskan sesuatu di papan tulis kecilnya, begitu cepat dan seakan tanpa arti
“Jadi. Bagaimana keadaannya?” Aku ingin tahu apa yang ditulis olehnya Sang wanita menatapku dan mengutas senyum yang sepertinya sudah terlatih “Itu bisa ditanyakan kepada dokter yang menanganinya nanti dan juga” wanita itu melihat kearah bunga yang ada di atas meja pasien “Apakah anda mau saya mengganti bunga yang ada di sana?” “Tidak” Sang wanita sedikit tergagap dan salah tingkah “Maaf, bukan maksud saya, tetapi kami memiliki pelayanan untuk mengganti bunga yang tampak sudah layu” “Tidak usah” Sang wanita mengangguk dan menyadari kejengkelanku karena tidak menambahkan kata terima kasih kepadanya Jadi. Dirinya membereskan sampah yang ada di atas meja, lalu dirinya terdiam lagi memandangi bunga itu
“Ada apa?” Nadaku sedikit ku tinggikan Sang wanita menggeleng “Tidak. Bukan apa-apa, Tapi” “Tapi apa?” Sekarang aku mulai sedikit jengkel dengannya, terlalu muda dan penasaran, serta tidak tahu kondisi. Jika saja kami punya anak, pasti sudah seumur dirinya dan mungkin saja perlu bimbingan soal tingkah laku Sang wanita melanjutkan “Bunga itu agak tidak pas. Ou… maaf kan aku, aku tidak bermaksud, eh… ah… maksudku aku…” “Tidak apa, lanjutkan!” Wajahnya semerah kepiting rebus sekarang “Karena…”
Jeda
“Tidak biasanya ada yang memasang bunga anggrek di ruangan pasien UGD. Biasanya bunga Matahari atau Anyelir yang banyak dipakai”
Aku terdiam dan mengalikan pandanganku kembali kepada Sum, aku terlalu lelah untuk menjelaskan dan jika saja aku berganti tempat dengan Sum, maka aku yakin wanita itu akan dimarahi habis-habisan oleh Sum
Wanita tersebut cepat-cepat membersihkan dan kemudian mendorong kembali gerobak alumuniumnya sambil menunduk
Sebelum sang wanita pergi “Memang kenapa dengan Anggrek. Itu adalah bunga kesukaan istriku?” Pertanyaanku membuatnya berhenti, lalu berpaling Sang wanita menjawab “Maafkan aku sebelumnya. Itu karena…”
Jeda
“Selama tiga tahun aku bekerja di sini, aku hanya pernah melihat anggrek di letakan di bagian Ibu bersalin saja, itu karena anggrek melambangkan kesuburan dan hidup baru. Dan juga… Astaga, apa yang sudah kulakukan kepada anda, tuan?” Air mataku terjatuh perih, begitu bodohnya aku sampai-sampai tidak mengerti arti dibalik senyumannya selama ini “Kenapa Sum… kenapa… kenapa kau egois sekali. Bukankah kita sudah sekian lama bersama, mengarungi asam manis kehidupan bersama, bercengkrama dalam suka dan duka, tapi kenapa Sum…” aku tersedak dan susah untuk menarik nafas, serasa kenyataan ini memukulku dengan palu tepat di dadaku “Kenapa kau…” air mata ini terasa pahit di lidahku yang pelu “Kenapa kau menanggungnya sendiri… kenapa tidak kau bagi kepadaku. Jangankan secuil bahkan segunung sumerupun akan kupanggul dirimu tuk mendakinya”
“Nanda…” Sum tiba-tiba memanggilku Aku terkejut, bercampur senang, sedih dan marah, aku tidak tahu yang mana “Iya… Sum, aku di-sini… aku di-sini” cepat-cepat aku menghapus air mataku. Sum membuka matanya dengan sangat perlahan, dan aku memperhatikan dengan sabar “Pelan-pelan saja Sum!”
Sang wanita masih berdiri di sana dan tertegun memperhatikan kami “Aku… aku akan panggilkan dokter” sesaat aku melihat dirinya membasuh pipi dengan telapak tangannya, lalu berjalan keluar dengan membawa gerobak kecilnya. Aku tidak sempat mengucap terima kasih, karena mulutku telah penuh dengan kata-kata kepedihan, Tetapi, terima kasih kuucapkan dengan segenap hatiku
“Nanda” Sum menatapku dengan matanya yang cekung serta sayu “Nanda, kenapa kau menangis?” “Bukan apa-apa, ini hanya karena aku bahagia” “Kau bohong Nanda!” Sum berusaha dengan susah payah untuk tersenyum “Kau kira aku tidak tahu dirimu” “Dan kau kira, aku juga tidak tahu dirimu” Perih hati ini sudah tidak tertahan lagi “Kenapa Sum… kenapa kau menyimpannya selama ini” “Aku…” Sum berusaha menarik nafas, dan tiap tarikan nafas bagaikan menahan perih yang tak tertahankan “Jangan… jangan Nanda, jangan pergi dariku, kau di sini saja, aku takut aku tidak punya kesempatan lagi” “Tidak… tidak, kau akan sembuh… kau akan sembuh” Aku mendekatkan genggaman tangannya ke ujung bibirku yang telah basah, mengecupnya dengan harapan separuh hidupku bisa di salurkan kepada Sum
“Kau tahu Nanda, bahwa aku bukanlah wanita yang sempurna, andai saja aku menghilang lebih cepat, kau mungkin akan menemukan cinta yang baru” “Kau bicara apa!! Kau memang bukan wanita yang sempurna, tetapi kau adalah Istri yang dikirim tuhan untukku. Jadi, apakah aku mempunyai hak untuk menentang rencananya?” “Kau punya, dan kau tidak melakukannya, Nanda” “Itu karena cinta, Sumiyati. Bagaimana sanggup aku menolaknya. Tanyakanlah pada bunga matahari, apakah dia sanggup untuk tidak menghadap hangatnya sang surya. Tanyakanlah pada nelayan di lautan, apakah bisa mereka menentang datangnya angin dan badai. Tanyakanlah pada cacing-cacing di tanah, apakah mereka tidak merindukan hujan. Dan tanyakanlah pada hatimu mengapa aku ada di sisimu saat ini?” “Hatiku telah retak, Nanda. Aku hidup dengan cacat dan jiwaku menjerit dalam sunyi. Lalu kenapa kau begitu bodohnya menghabiskan sisa waktumu bersamaku?” “Harus berapa kata dan tetesan air mata, agar kau bisa mempercayaiku?” “Hingga kau berkata, bahwa aku adalah takdir yang harus kau lalui”
Aku terdiam dan seketika aku menyadarinya. Sumiyati tidak mempertanyakan cintaku, tetapi dirinya menguatkanku, agar aku tidak kalah oleh kesedihan kelak “Kau masih saja, di saat seperti ini kau…” aku menahan tangisanku “Mengapa kau begitu egoisnya?” “Karena cintaku padamu, Nanda. Bagaimana sanggup aku menderitakan cintamu. Cukup aku saja, seorang. Cukup aku Nanda”
Sudah berapa banyak tangisan yang telah ku keluarkan, tetapi itu bagaikan tidak cukup bagiku “Aku akan hidup demi dirimu, Sum. Karena aku juga akan menjadi egois sepertimu, aku tidak akan mati karenamu, karena aku akan menjaga cinta kita agar lebih lama di dunia ini. Biarkan waktu yang akan menggantikanmu mengatakan cukup kepadaku” Sum tersenyum meng-iya-kan, namun tiba-tiba dia menarik nafas semakin kencang, air matanya mengalir dan tangannya mencengkram pinggiran tempat tidur hingga sepreinya terlepas
“DOKTER… TOLONG” Aku berteriak hingga udara di paru-paruku habis “DOKTER…” “Nanda… nanda” Sum menggapai-gapai seakan dirinya mencari di dalam gelap “Aku di sini, aku masih di sini… aku akan mencari dokter untukmu Sum, sial.. sial… di mana suster keparat itu” “Nanda” Nada Sum semakin melemah “Aku melihat salju nanda, dingin… dingin sekali” Aku tidak peduli lagi dengan selang-selang bedebah ini, aku berbaring di samping Sum dan memeluk erat dirinya, pipiku kutempelkan ke pipinya, dan tanganku mendekap pinggulnya yang hanya tinggal tulang saja
Sum menggerakkan tangannya dan menyentuh pipiku, dengan kekuatan cinta yang tersisa, wajahnya didekatkan kepadaku dan kemudian mengecup bibirku, setelah itu tersenyum kepadaku “Aku beruntung memilihmu dalam hidupku!” Aku mengelus rambutnya, lalu mengecup keningnya seperti yang sudah-sudah. Sekuat tenaga aku menahan tangisku “Aku juga…” Tetapi tetap tidak mampu membendung aliran perasaan ini
“Nanda, aku melihat salju turun” “Apakah ada aku di antara salju itu?” “Iya nanda, kau sedang berdiri dan tersenyum kepadaku” “Apakah aku tampan?” “Selalu… selalu di hadapan mataku” “Aku mencintaimu Sum”
Tidak ada lagi kata-kata dari Sum, dia telah melebur terbawa salju dan terjatuh di tanah yang kering. Hingga menutupi segalanya dengan putih yang suci seperti di Surga
Anita menghabiskan banyak sekali tisu, lalu dirinya meminta maaf kepadaku “Maafkan aku Tuan Nanda, maafkan aku, seandainya waktu itu aku bisa menemukan dokter lebih cepat, maka…” Aku menggenggam tangan Anita “Tidak apa-apa Anita, akulah yang seharusnya berterima kasih karena kau telah mengurusnya” akupun berdiri dengan sedikit beban yang berkurang “Sampai jumpa lagi”
“Jika anda ingin mencari saya, tanyakan saja kepada resepsionis. Saya akan bersedia untuk anda” Aku menatap Anita, dan hatiku pun menghangat “Semoga kau mendapatkan kebahagiaanmu Anita” “Dan semoga orang itu seperti anda tuan Nanda” jawab Anita sambil tersenyum hangat
Di saat takdir berakhir, percayalah bahwa dirimu membawa takdir yang lain di dalam diri orang lain. Di saat satu kisah berakhir, maka akan ada kisah yang lain yang akan terlahir
Jadi. Apakah kalian akan menjadi salju di tanah yang kering sepertiku?
Cerpen Karangan: Juni anthonius Blog / Facebook: Juni Anthonius