“Valix, aku membawa bekal makanan untukmu” ucap perempuan itu dengan senyum yang mengembang di bibir tipisnya. Saat ini mereka sedang berada di koridor dekat kelas Valix, XII IPA 1. “Tidak Revina, kau makan saja sendiri makananmu” laki-laki bernama Valix itu melangkah pergi meninggalkan Revina. Gadis cantik dengan mata kecil itu hanya bisa menundukan kepalanya memandangi kotak bekal yang sudah susah payah ia siapkan. Ia mengehembuskan nafasnya pelan dan berbalik meninggalkan tempat itu. “Mungkin aku harus mencobanya lain kali” gumam Revina.
Sepulang dari sekolah, Revina langsung pergi menuju kamarnya dan melempar tasnya asal. Ia menjatuhkan tubuhnya di atas kasur dengan kaki yang menjuntai kebawah. Dikeluarkannya benda pipih persegi panjang itu dari dalam sakunya. Ditatapnya dengan seksama layar ponsel yang menampilkan foto seorang laki-laki tampan yang diambilnya secara diam-diam. “Valix Alfaerona” gumamnya pelan sambil memejamkan matanya perlahan. Ia menyukai semuanya dari laki-laki itu, tatapan dinginnya, suaranya, senyumannya, tawanya, dan bahkan ia menyukai nada bentakan yang sering laki-laki itu lontarkan padanya. Dengan perlahan ia mulai memasuki alam bawah sadarnya, ia terlelap untuk sementara. Ya, hanya untuk sementara.
Keesokan harinya pada saat jam istirahat, saat ia hendak menuju kantin ia melihat Valix sedang berjalan sendirian. Seketika senyuman itu menghiasi wajahnya yang cantik. Ia segera menghampiri laki-laki itu dengan langkah yang cepat.
“Valix kau mau kemana?” tanyanya saat ia sudah berada disamping laki-laki itu. Ia menyesuaikan langkahnya dengan langkah Valix yang panjang. “Bukan urusanmu!” jawab Valix dingin. “Emm baiklah, boleh aku menemanimu?” Revina tidak menyerah, ia akan melakukan apa saja demi mendapatkan hati laki-laki pujaannya yang sudah ia incar hampir 3 tahun lamamya. “Tidak usah!” ketus Valix.
Tiba-tiba saja Revina menghentikan langkahnya. Ia menunduk melihat baju seragamnya yang ternodai dengan cairan berwarna merah. Ia menyentuh bagian tengah antara hidung dan mulutnya, dan benar saja, darah itu keluar dari sana. “Kenapa harus sekarang?” batinnya sedih.
Ia segera melangkahkan kakinya menuju toilet. Ia membasuh wajahnya dan melihat pantulannya dicermin. Wajahnya yang putih terlihat sangat pucat, matanya yang kecil terlihat sayu dan bibirnya yang pink pun terlihat sedikit memutih. Perlahan cairan bening itu keluar dari matanya. “Tidak! Aku tidak boleh lemah seperti ini. Aku tidak boleh pergi sebelum mendapatkan apa yang aku mau!” Batinnya berontak. Ia segera mengusap air matanya dan bergegas keluar menuju kelasnya karena bel tanda masuk sudah berbunyi.
Jam mata pelajaran terakhir telah selesai. Saat Revina hendak bangkit dari duduknya tangannya dicekal oleh Maya, teman sebangkunya. “Rev, wajahmu terlihat sangat pucat. Biar aku mengantarkanmu pulang, aku membawa mobil” ucap Maya khawatir. Revina balik menggenggam tangan sahabatnya itu dengan senyum yang terukir indah di bibir pucatnya. “Aku tidak apa-apa. Hanya saja aku lupa membawa obat dan merasa sedikit pusing. Aku bisa pulang sendiri, aku tidak ingin merepotkanmu, terimakasih Maya” ujarnya lembut. Ia pun berdiri dan segera melangkahkan kakinya keluar kelas. Maya hanya bisa menatap cemas sahabatnya itu.
15 menit sudah berlalu, tapi mobil jemputannya tak kunjung datang. Ia sudah sangat lemas, wajahnya pun semakin pucat. Tapi tiba-tiba saja ia melihat Valix hendak pulang dengan motor gedenya. Ia segera menghampiri Valix yang sedang berdiri di parkiran hendak memakai helmnya.
“Valix, bolehkah aku ikut pulang bersamamu?” ucap Revina pelan bahkan hampir seperti berbisik. Valix sedikit terkejut melihat wajah Revina yang sangat pucat. Tapi tetap saja hatinya tak tersentuh dengan apa yang dilihatnya. “Tidak, kau pulang saja sendiri!” jawabnya sambil memakai helm fullfacenya. “Valix kumohon..” Revina menundukan wajahnya dan seketika badannya ambruk dengan darah yang mengalir dari kedua lubang hidungnya. Valix sangat terkejut dan langsung melepas kembali helmnya. Ia berjongkok di samping Revina dan menepuk-nepuk pelan pipinya. “Hey Revina, bangunlah! Kau jangan bercanda!” ucapnya dengan nada yang sedikit tinggi. Ia menyibakan rambut yang menghalangi wajah Revina dan seketika matanya membulat melihat darah yang sudah mengalir lumayan banyak. Maya yang melihat itu dari kejauhan langsung berlari menghampiri mereka. “Rev, Revina. Bangunlah!” ucapnya dengan cemas. Matanya beralih pada Valix yang berada dihadapannya. “Apa yang kau lakukan? Cepat angkat dia dan bawa ke UKS!” bentaknya kesal karena laki-laki itu hanya diam saja seperti patung.
Revina membuka matanya perlahan dan langsung mendapati Valix yang menatapnya tajam. Ia segera bangkit dari posisinya dan duduk dengan kaki yang dijuntaikan kebawah. Perlahan Valix mendekatinya dengan tatapan mata yang tidak berubah. “Maksudmu apa hah berlaga sok pingsan di depanku? Menurutmu aku akan peduli? Tidak! Tidak akan pernah! Aku sudah muak dengan semua tingkahmu yang selalu menggangguku selama ini! Tidak kah cukup aku sudah menghargaimu dengan membiarkanmu menggangguku? Cukup sudah! Sekarang aku lelah! Menjauhlah dari hidupku dan lupakan saja aku! Anggap saja kau tidak pernah mengenalku!” bentak Valix. Ia segera melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu, tapi langkahnya terhenti dan membalikan kepalanya pada Revina. “Satu hal lagi. Berhentilah menemuiku mulai dari sekarang” lanjutnya dan langsung meninggalkan Revina yang sudah berlinangan air mata. Maya yang menyaksikan semua itu dari luar jendela segera menghampiri sahabatnya dan langsung memeluknya. Revina menangis semakin menjadi-jadi di pelukan sahabatnya.
Sesampainya di rumah, Valix merasa bersalah pada gadis itu. Bagaimana pun gadis itu tidak sepenuhnya bersalah. Ia berniat untuk meminta maaf besok dan setelah itu urusannya dengan Revina selesai.
Keesokan harinya saat jam istirahat ia langsung melangkahkan kakinya menuju kelas Revina. Tapi belum sempat ia sampai di pintu masuk, ia sudah bertemu dengan Maya, sahabatnya Revina. “Apa yang kau lakukan disini?” tanya Maya ketus. “Aku ingin menemuinya, aku ingin meminta maaf” jawab Valix santai. “Minta maaf katamu? Apa kau sadar kau telah sangat menyakitinya? Kau sudah sangat keterlaluan! Kau bahkan tidak hanya menyakiti perasaannya, tapi juga kau menyakiti fisiknya. Akibat ulahmu kemarin sekarang kondisinya semakin memburuk! Tidakkah kau sadar betapa besar perjuangannya untuk mendapatkanmu selama hampir 3 tahun ini? Ia bahkan rela terus-menerus memakan obat-obatan sialan itu hanya untuk bertahan dari hidupnya yang tinggal beberapa tahun lagi. Kedua orangtuanya bahkan sudah tidak peduli terhadapnya. Hanya kau satu-satunya alasannya untuk bertahan sampai sekarang! Tapi apa yang sudah kau lakukan terhadapnya? Kau sungguh keterlaluan Valix! Setidaknya kau bisa mengatakannya secara baik-baik! Kau iblis Valix! Kau tidak punya perasaan!” bentak Maya dengan air mata yang sudah mengalir di pipinya. Ia segera masuk ke dalam kelasnya dan meninggalkan Valix yang hanya bisa berdiri mematung sambil mencerna apa yang dikatakan Maya.
Satu bulan sudah berlalu. Namun Valix tak kunjung melihat Revina berada di sekolah. Sekarang gadis itu benar-benar menghilang dari hidupnya. Ia merasa sangat kosong. Hari-harinya tidak seperti biasanya. Mengapa baru sekarang ia menyadari bahwa kehadiran gadis itu sangat berarti untuknya? “Ternyata memang benar, sesuatu akan terasa lebih berarti saat sudah pergi” Batinnya.
Sore ini sepulang sekolah, ia berniat untuk pergi ke rumah Revina. Ia mengetahui rumah Revina karena memang jalannya searah dengan rumahnya. Saat ia sudah sampai di depan pintu utama rumah mewah itu, ia langsung menekan belnya dan tak lama kemudian keluarlah seorang wanita paruh baya dari dalam rumah itu. “Aden cari siapa ya? Non Revina?” ucap wanita itu yang ternyata merupakan pembantu Revina. “Eh iya bi, Revinanya ada?” tanya Valix sopan. “Loh, emang aden tidak tahu? Non Revina kan sudah hampir satu bulan di rumah sakit. Ini bibi mau pergi kesana” ucap wanita itu. Valix terkejut dengan apa yang ia dengar. “Sebenarnya Revina sakit apa bi?” tanya Valix lagi. “Tapi aden jangan bilang-bilang orang lain ya. Sebenarnya non Revina sudah lama mengidap Leukimia” ucap bibi itu ragu-ragu. Seketika Valix merasakan badannya ditimpa benda raksasa beribu-ribu ton. Badannya lemas dan matanya sudah memanas. “Kalau begitu saya ikut bi” ucap Valix.
Tak lama kemudian, mereka sudah sampai di rumah sakit yang tak terlalu jauh dari rumah Revina. Mereka segera bergegas menuju ruangan yang ditempati Revina. Saat sudah sampai, Valix tak sanggup lagi menahan air yang sudah terkumpul di kelopak matanya. Ia begitu sakit melihat gadis itu terbaring lemah tak berdaya diatas ranjang rumah sakit. Wajahnya sangat pucat, bibirnya memutih, matanya sedang tertutup, dan jarum infus yang menancap di atas tangannya. Nafasnya teratur menandakan bahwa ia sedang tertidur.
“Den, bibi mau ke ruang dokter sebentar ya. Tolong bibi titip non Revina sebentar” Valix hanya bisa menganggukan kepalanya pelan.
Saat bibi itu sudah keluar dari ruangan, Valix segera duduk di samping tempat tidur Revina. Digenggamnya tangan gadis itu dengan lembut dan dikecupnya dengan lama. Ia langsung memeluk tubuh mungil Revina yang tidak berdaya. “Maafkan aku” bisiknya pelan. Air matanya sudah mengalir kembali membasahi baju Revina. Dengan perlahan Revina membuka matanya dan merasakan hangat di sekitar lehernya. Ia tahu persis siapa orang yang sedang memeluknya saat ini. Ia kembali memejamkan matanya dan mengangkat sebelah tangannya untuk mengusap kepala Valix. Valix segera menjauhkan kepalanya dan melihat terkejut ke arah Revina yang sedang tersenyum ke arahnya. “Jangan menangis” ucapnya lemah seraya mengusap air mata dipipi Valix. “Maafkan aku” lanjutnya lagi. “Tidak, seharusnya aku yang meminta maaf padamu. Aku baru menyadari bahwa kau sangat berarti untukku. Aku menyayangimu, bahkan aku mencintaimu. Tetaplah di sampingku, jangan pernah pergi lagi” ucap Valix tegas. Kali ini Revina yang menangis. Ia merasakan kebahagiaan yang sudah dimimpi-mimpikannya selama ini. Valix langsung menghapus air mata Revina. “Jangan menangis lagi, aku tidak suka melihatnya. Lekaslah sembuh, aku merindukanmu yang terus mengikutiku” Valix mencium lembut kening Revina.
“Girl your heart, girl your face is so different then other I say, you’re the only one that I’ll adore.. Cos everytime you’re by my side My blood rushes through my veins And my geeky face, blushed so silly yeah, oh yeah And I want to make you mine Oh baby I’ll take you to the sky Forever you and I, you and I.. And we’ll be together till we die Our love will last forever and forever you’ll be mine You’ll be mine..”
Valix menyudahi nyanyiannya dan menatap lembut pada Revina.
“I love you Valix Alfaerona” ucap Revina dengan mata berkaca-kaca. Valix kembali memeluk Revina dan mengusap lembut rambut indahnya. “I know, and thank you for loving me, baby.. I love you too, Revina Alexandrov..”
Tamat.
Cerpen Karangan: Nabila Utami Irawan Blog / Facebook: Nabilla Utami Irawan