Purnama belum sempurna menggantung di hamparan lagit bersama ribuan bintang yang berkelip. Aku menengadah mengamati gelap malam yang ditaburi benda-benda lagit yang indah. Udara dingin yang menyapu kulit bercampur suara kebisingan dari pengunjung lain taman ini sedikit pun tidak mengusikku. Dengan penerangan minim dari lampu taman, aku bisa menatap beberapa pasangan yang saling tersenyum pada pasangannya dengan senyuman yang tidak pernah lepas dari bibir mereka
Kakiku berdenyut. Aku putuskan mencari tempat duduk sebelum kakiku patah karena sudah hampir dua jam berdiri menunggu Andis. Ia kekasihku. Kami sudah menjalin hubungan hampir lima tahun tapi dia belum memberi kepastian tentang hubungan kami selanjutnya. Padahal harapanku aku ingin kami segera menikah. Orangtuaku bahkan mengancam menjodohkanku jika tahun ini Andis belum melamarku. Karena itu aku mengajaknya bertemu untuk membicarakan ini.
Aku menduduki bangku taman yang belum terisi oleh siapapun. Membuka plat shoes yang aku kenakan lalu memijit kakiku. Beberapa menit aku masih menunggu dalam diam. Sesekali melirik ponsel untuk melihat mungkin ada telepon atau pesan darinya.
Waktu tetap berputar. Para pengunjung yang meramaikan taman ini mulai berkurang. Hingga hanya aku yang masih setia menunggu Andis ditemani sunyi dan gelap malam. sudah empat jam aku menunggunya. Sampai mataku menangkap sosok Andis dari ujung jalan. Dia menghampiriku dan duduk di sampingku.
“Kamu datang..” Sambutku antusis. Ia menganguk acuh dan sibuk memainkan ponsel. Aku tersenyum tipis. Hatiku terluka melihat sikap acuhnya padaku.
“Ada apa? Kamu nungguin aku sampai selarut ini? Aku sudah bilang kan.. aku belum siap menikah untuk sekarang..” Ia berujar ketus. Tidak menyadari raut wajahku yang meredup akibat ucapannya. Aku menggigit bibir menahan gejolak air mata yang ingin tumpah.
“Ayah bilang mau ketemu sama kamu. dia mau menayakan kelanjutan hubungan kita. Ayah mau kita segera menik..” “Nggak.. aku nggak bisa..” potongnya cepat. Mataku memanas. Jantungku bergerumuh gelisah. Ia menoleh ke arahku dan membuka cincin pasangan yang dulu ia beri di hari anniversary kita dulu.
“Kita akhiri saja hubungan ini… Aku sudah lelah.. Ayah kamu selalu memintaku menikahimu.. Aku sudah berapa kali bilang, kan? Aku belum siap untuk berkomitmen..”
Seakan petir menyambar. Tubuhku meremang dan bergetar. Tidak bisa kupungkiri kali ini ucapannya sangat menyakitiku dan membuat perasaan takut menjalar keseluruh tubuhku. Aku takut ditinggalkan olehnya.
“Tapi..” Ucapanku menggantung. Tak kuasa menahan air mata yang ingin tumpah. Ia menoleh ke arahku. Menatap diriku dalam-dalam seolah menyiratkan jika ucapannya tadi hanya bohong. Tapi kenapa tadi ia mengucapkan itu. Tampa memikirkan luka di hatiku. Ia berpaling. Menatap lurus ke depan.
Kami bungkam selama beberapa menit. Aku menundukkan kepala. Mencoba menstabilkan emosi yang kian meluap. Ingin sekali rasanya berteriak marah pada Andis tapi yang aku lakukan hanya menghembuskan napas jengah. Lalu menoleh ke arahnya yang tengah bangkit. Satu tangannya mengusap kasar wajahnya.
“Pulanglah, aku juga harus pergi. Nggak ada lagi hubungan di antara kita. Kita putus…”
Andis mulai melangkah menjauh. Aku menggeleng tidak terima. Wajahku sudah dibanjiri air mata. Segera aku berlari mengikutinya. Menahan lengannya yang dulu sering merengkuhku dalam hangat. Aku tidak bisa menerima keputusan Andis. Dia tidak seharusnya melakukan ini padaku.
“Andis…” Lirihku pilu. Ia tidak menoleh. Hanya diam. Aku meremas lengannya yang aku pengang.
“Oke, aku tidak akan meminta kamu melamarku ataupun menikahiku sebelum kamu siap. Aku nggak bakalan ngelakuin apapun yang nggak kamu suka. Aku juga nggak bakalan…” Aku diam sejenak. Menarik napas disela isakan yang tidak ingin berhenti.
“Andis.. Ak..Aku nggak bakal ngebuat kamu kesal atau marah lagi sama aku. Aku janji.. tapi pliss! Jangan lakuin ini.. aku sakit. Aku terluka.. aku nggak mau kamu pergi dari hidupku.. aku masih—” “Cukup! Aku sudah muak dengan hubungan ini. Mendingan kamu nggak usah bilang KITA. Tidak ada lagi, KITA, antara Andis dan Meta… aku lelah menghadapi sikap manja, pengatur dan keras kepala yang kamu miliki.. aku udah nggak cinta lagi sama kamu. Ada seseorang yang lebih berarti dalam hidup aku dibanding kamu.. aku mencintai orang lain..!” Bentak Andis. Ia kembali membuang muka di akhir kalimatnya.
Aku terpaku. Harapan besar dalam benakku yang selalu ingin aku wujudkan bersama Andis meluap di antara pupusnya mimpi untuk hidup bahagia bersamanya. Hatiku beku mendengar ia telah melangkah jauh dari hatiku dan memilih orang lain. Aku mundur. Tanganku melepas genggaman di lengannya. Semuanya sudah berakhir. Ucapannya tadi memperjelas berakhirnya hubungan kami. Aku menengadah menatap pekatnya malam ini. Berusaha menghentikan laju air mata yang semakin deras. Lalu menunduk mengumpulkan segenap keberanian untuk menyeruakan pertanyaan yang berkecemuk dalam benakku sebelum Andis benar-benar berlalu dari tempat ini.
“Beri aku satu alasan.. kenapa? Kenapa kisah yang selama ini kita rajut bersama untuk mencapai akhir kebahagian malah berakhir dengan miris seperti ini. Aku tahu, sekarang kamu mencintai orang lain.. tapi, pasti. Ada alasan kenapa kamu bisa menempatkan hatimu pada orang lain dan memilih meninggalkan hati yang sudah lama kamu singgahi… aku hanya ingin tahu.. kenapa aku tidak bisa menjaga hati seseorang yang aku cintai untuk tetap berdiam disana..”
Tidak ada jawaban. Andis hanya berdiam memunggungiku. Aku putuskan untuk melangkah mendekatinya. Berdiri tepat di belakangnya. Menunggu sabar jawaban yang akan ia beri. Namun, hatiku mencolos saat dia malah melangkah pergi tanpa berniat menjawab pertanyaanku. Aku menatap punggungnya dengan tatapan terluka. Terkulai lemas di tanah dan menangis sejadi-jadinya. Andis.. kenangan ini terlalu menyakitkan untuk diingat..
—
“KITA?! Nggak ya, pokonya aku.. aku nggak setuju kalo film yang kita tonton itu film action. Kan, aku cewek.. aku nggak suka film yang begituan..” “Trus film yang bagaiaman lagi.. romantis? Atau horror?.. gitu?” Aku mengangguk. Andis terlihat jengan mendapati anggukanku. Ia menggeleng sejenak lalu berlalu begitu saja meninggalkanku tanpa menghiraukan raut kesal yang aku tunjukkan padannya. Segera aku susul dirinya lalu mengaitkan tanganku di lengannya.
“Jadi kamu marah nih..?” tanyaku manja. Ia tidak bergeming. Hanya sibuk menatap lurus koridor sepi menuju Bioskop. Aku tahu ia sangat ingin menonton film terbaru yang bergenre action itu. Aku tidak tahu judulnya. Tapi yang pastinya ia mungkin sangat kesal karena aku tidak menuruti permintaannya. Padahal apapun yang aku minta padanya pasti dia kabulkan. Aku sungguh tidak adil bukan? Jadi wajar saja kalau dia marah. Yasudah… tidak apa-apa nanti kesalnya redah sendiri. Aku mengangkat bahu acuh memikirkan hal itu. Hingga tidak sengaja aku melihat poster film terbaru Aliando Syarif. Actor tampan pendatang baru yang aku gilai sejak tiga tahun belakangan ini.
“Ali..” pekikku keras. Andis mengangkat wajahnya menatap arah poster yang juga aku lihat. Ia bedecak. Memang, selalu kesal saat menghadapi sikap berlebihanku pada idolaku itu. “Dia lagi.. dia lagi..” gerutunya. “Lho.. Kenapa kalo dia..?” ujarku. Menanggapi gerutuannnya dengan kesal. Ia membuang muka. Lalu melepas tanganku yang mengait lengannya. Kembali berjalan tanpa menghiraukan panggilanku saat aku teriaki.
“Andis!! Mau kemana…?” Tidak ada jawaban. Andis!!..” teriakku lagi. “Andis! Kalo kamu kayak gini sama aku kita marahan aja..” Ancamku.
Seketika langkahnya terhenti. Ia menoleh kasar dan mentapku jengah. Aku membalasnya dengan senyuman. Memasang ekspresi merajukku agar ia kembali menghampiriku. Belum tiga menit. Sesuai perkiraanku Andis benar-benar kembali. Ia menghampiriku dengan langkah setengah tidak rela.
“Apa lagi sih..?” ketusnya. Aku terkikik geli mengahapi sikap terpaksanya itu. “Kita nonton ini yuk..” tunjukku pada poster itu. Andis refleks menggeleng. Ia menatap tidak suka melihat raut antusiasku saat mengatakan hal tadi. “Nggak.. Kita udah nonton film itu sebanyak empat belas kali.. memangnya kamu nggak bosan. Aku aja sudah hapal gimana jalan ceritanya…” jelasnya frustasi. “Trus…?” tanyaku polos. “Nggak usah. Mending kita pulang. Udah hampir tengah malam..” Andis melirik jam tangannya lalu meraih tanganku tapi aku tepis. Ia menatapku semakin kesal.
“Meta!!” panggilnya tegas. Aku tidak peduli. Kali ini aku yang melangkah pergi meninggalkannya. Dia pikir hanya dia yang bisa marah aku juga bisa tau… kesalku dalam hati. “Oke.. iya, kita cepetan pesan tiketnya!!” ujarnya. Aku langsung menoleh. Berlari kembali kearahnya lalu memeluknya erat. “Terima kasih sayang…” ujarku bersuara ceria. Memasang senyum paling manis untuknya yang ditanggapi sikap acuh. “Giliran minta sesuatu baru bisa sok manis kayak gitu.. Huh dasar. Cewe memang nggak bisa diajak kompromi..” Runtuknya. Aku menhan tawa lalu memsang tampang risih. “Aku bisa dengar lho…”
—
Jika air mata bisa membeku. Mungkin itu sudah terjadi pada air mataku yang selalu mengenang di wajahku. Sudah hampir dua bulan sejak hubungan aku dan Andis berakhir. Tapi rasa sakitnya seperti baru hari ini tertoreh. Seakan kenangan indah yang pernah kita lalui bersama, berputar seperti kejaran jarum jam yang mengelilingi satu poros hatiku yang kalut oleh perih. Seakan kenangan indah itu menertawakanku saat menyadari aku hanya bisa merengkuh bayangnya dalam khayalanku. Rasa rindu yang membelenggu seakan mengusik udara kosong dalam hatiku. Nama yang selalu aku benahi ukirannya setiap hari telah menguap terbawa arus perpisahan.
Aku tidak pernah menyangaka perpisahan itu benar-benar nyata. Berharap kenangan menyakitkan itu hanya suatu mimpi buruk yang akan terkubur oleh kenangan indah yang terukir dalam memoriku. Tapi harapan hanyalah sepenggal mimpi yang jauh dari nyata. Jadi aku hanya bisa menikmati perasaan terluka ini dan mengingat sejuta kenangan yang bisa menerbitkan senyum di bibirku.
Kilasan kebersamaan yang pernah terjadi antara aku dengannya. Aku bisa mengingatnya, meskipun itu semakin membuat perasaan sedih menyinggapi jiwa. Mulai pertemuan pertama, awal jadian, perayaan anniversary kami, hingga kenangan terakhir kami saat di bioskop dua bulan lalu. Semuanya terulang dalam ingatanku. Mengobati kerisauan hati karena tidak pernah lagi menatapnya.
Jujur aku merindukannya. Bahkan sangat..
“Meta…” Panggilan itu membuyarkan lamunanku. Segera aku hapus air mataku lalu menoleh ke arah Unhy yang memamnggilku. Aku memasang senyum untuknya.
“Ada apa..?” tanyaku dengan suara serak. Unhy diam memperhatikan wajahku yang pucat. “Kamu habis menangis lagi..?” tanyanya. Aku menggeleng. “Nggak..” “Trus yang aku lihat ini apa..?” Tanyanya.
Ia memerhatikan wajahku lekat. Aku memegang wajahku. Memeriksa apa ada sisa air mata yang belum aku hapus. Aku tidak mau Unhy tahu kalau aku baru saja menangis karena jika dia tahu dia akan selalu kesal melihatku menangisi Andis. Dia tidak suka aku menangisi pria yang sudah dengan tega mencampakanku.
“Nggak usah bohong deh.. aku tahu kamu baru saja menangis lagi karena Andis… mungkin kamu bisa bohong. Tapi mata kamu nggak pernah bisa bohongin aku.. mata kamu bakalan merah setelah menangis.. kamu tahu sendiri. Aku sudah kenal kamu selama Sembilan belas tahun.. aku akan selalu tahu gimana keadaan dan suasana hati sahabatku ini…”
Ia mendekatiku lalu memeluk tubuhku. Air mata yang sedari tadi aku tahan menyeruak. Aku menangis lagi karena luka yang sama. Bersyukur tuhan telah menganugerahkan seorang sahabat seperti Unhy. Dia selalu bisa memahamiku lebih dari aku tahu bagaimana diriku. Dia sahabat yang baik. Aku berjanji pada diriku sendiri ini adalah terakhir kalinya aku menangisi Andis.
Cerpen Karangan: Upriani Rahman Blog / Facebook: Cepen cerbung love