Lama kami hanya dalam posisi yang sama. Hingga Unhy melepas pelukannya. Dia tersenyum dan memegang pundakku.
“Gimana? Udah mendingan?” Tanyanya, menyodorkan tisu untuk menghapus sisa air mataku. aku mengangguk, menerima tisu ulurannya. “Iya. Terima kasih Unhy.. aku nggak tahu bagaiamana jadinya aku tanpa kamu.. maaf aku selalu cengeng seperti ini. Padahal kamu nggak suka kalo aku bersikap seperti ini.. maaf..” aku tundukkan wajahku. Tidak berani menatap mata lembutnya yang selalu memberi keteduhan untukku. Aku merasa terlindungi saat membalas tatapannya. Dan kadang merasa terintimidasi jika ia mentapku marah. Dia adalah sekaligus sosok kakak selain sahabat untukku.
“Oke, aku maafin dan ucapan terima kasihnya diterima asal kamu nggak sedih lagi dong… oh iyah, bukannya hari ini kita bakalan jalan-jalan di daerah puncak kan?” Unhy berujar antusis. Aku mengangguk. Unhy tersenyum semakin merekah. “Ya sudah.. kita harus cepat siap-siap” Unhy melenggang keluar dari kamarku. Aku tersenyum kecut. Namun kemuadian mencoba tersenyum tegar. Meski berat aku harus membiasakan diri menjalani hari-hariku meski tanpanya.
Suasana segar dengan pemandangan indah yang disuguhkan di tempat ini sungguh menjernihkan pikiranku yang kalut menjadi lebih rileks. Sekarang, aku berdiri di halaman vila. Mengamati yang lainya tengah sibuk bercanda di teras.
Pandanganku terlihkan saat sebuah mobil putih tiba-tiba berhenti di depan vila ini. Aku bangkit. Memandang penasaran sesorang yang keluar dari mobil itu. Seorang wanita yang kira-kira seumuran denganku, dengan rambut ikal yang panjangnya sebahu. Ia terlihat tidak asing bagiku. Aku memutar otak mencoba mengingat wajah wanita itu. Hingga mataku membulat. Perasaan perih dan marah itu kembali memenuhi dadaku.
Aku mengenal wanita itu. Dia Windi, dia adalah wanita yang telah merebut Andis dariku. Dia adalah wanita yang Andis Cintai.
Windi berhenti tepat di depanku. Aku menatpanya datar. Kulihat raut wajahnya tidak seceria biasanya. Bukannya seharusnya dia bahagia. Tapi kenapa ekspresinya seperti itu. Lalu kenapa dia hanya sendiri? Dimana Andis? Mereka seharusnya bersama, kan? Bahkan seminggu setelah aku putus dengan Andis. Mereka mengirim undangan pernikahan untukku. Mereka seharusnya masih sibuk berbulan madu.
“Meta…” Panggilnya dengan suara parau. Aku tidak menjawab. Hanya diam dan menatapnya datar. Menunggu dia mengutarakan maksud kedatangannya kesini.
Lama. Kami hanya diam. Windi terlihat menundukkan kepala hingga aku mendengar suara isakan darinya yang membuatku terheran. Aku berniat bergerak lebih mendekat ke arahnya nanun aku urungkan saat dia tiba-tiba berguman maaf.
“Meta.. Maaf.” Ulangnya. Suaranya bergetar. Ia mengangkat kepalanya. Menatap lurus ke arahku dengan pandangan pilu. Aku terdiam kaku. Entah kenapa aku merasakan firasat buruk. “Memangnya, ada apa? Kenapa kamu tiba-tiba datang dan minta maaf..?” pertanyaan itu refleks keluar dari bibirku. Kulihat ia menarik napas kasar sebelum mengeluarkan sebuah kotak kecil dari tasnya. “Ini..”
Windi mengulurkan kotak kecil itu. Dengan ragu aku menerimaya. Segera aku buka penutup dari kotak kecil yang di dalamnya aku temukan barang-barang berharga yang pernah Andis berikan padaku. Bahkan cincin yang dulu ia lepas juga ada disana. Juga ada beberapa surat yang masih terbungkus amplop. Aku meraihnya lalu membaca tulisan yang tertera disana.
“Untuk Meta” bacaku lirih.
Air mataku menetes. Aku menggeleng tidak percaya namaku yang tertera di surat itu. Aku menatap Windi yang masih menangis.
“Apa maksud ini semua? Kamu datang hanya untuk memberiku semua ini. Aku tahu aku dan Andis tidak punya hubungan lagi. Tapi kalo memang Andis udah nggak mau nyimpan barang-barang ini.. dia seharusnya membuangnya saja. Bukan seperti ini.. lebih baik dia membuangnya dari pada mengembalikan semua ini padaku. Sudah cukup lukaku karena dia sudah hidup bahagia bersamamu. Jangan menambahnya dengan memperjelas kalo aku udah nggak ada apa-apanya di hidup dia dengan menghapus semua kenangan yang pernah mengikat kami. Ini terlalu menyakitkan untukku…”
Aku menghembuskan napas kasar di akhir kalimatku. Windi menggeleng cepat. Ia beralih ke depanku lalu memegang pundakku. Aku tidak bergeming menanggapi sikapnya.
“Maaf.. Meta. Tapi itu tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku datang untuk jujur padamu…” Windi terdiam sejenak. Kutundukkan wajahku demi menyembunyikan wajah yang penuh air mata. “… Aku dan Andis sebenarnya tidak punya hubungan apa-apa. Dia tidak pernah selingkuh. Kami tidak pernah berpacaran ataupun menikah. Andis tidak pernah mencintai orang lain selain kamu. Dan juga, sebenarnya aku adalah sepupu Andis…” Aku termangu. Tubuhku diam membeku. Ucapan Windi sungguh menohok perasaanku. Antara percaya atau tidak. Aku hanya menggeleng tidak terima. Mencoba menyangkal kebenaran dari ucapannya.
“Jangan menambah luka dengan membohongiku seperti ini.. jelas-jelas kamu dan Andis menjalin hubungan di belakangku saat aku dan Andis masih berpacaran. Kalian juga sudah mengirim undangan pernikan waktu itu..” tegasku setengah berteriak. Windi mengusap wajahnya lelah. Ia menatap mataku dengan pandangan senduh. Seolah ingin menyampaikan sesuatu yang sulit di ungkapkan.
“Undangan itu palsu. Itu adalah akal-akalan Andis agar kamu percaya bahwa dia tidak mencintaimu lagi. Andis memiliki alasan kenapa dia memberi luka pada seseorang yang dia cinta. Dia punya alasan kenapa dia bersikap seperti itu…” “Cukup. Hentikan ucapan gilamu itu. Aku tidak mau mendengarnya lagi!” “Oke. Sekali lagi aku minta maaf. Tapi sebelum pergi aku harus mengatakan ini padamu..” Windi terdiam sejenak lalu menghapus air matanya. “Sebenarnya.. Andis sudah pergi.. dia sudah pergi dari dunia ini untuk selamanya.”
Deg Satu kalimat itu membuatku tersentak. Air mataku semakin deras. Aku meoleh tidak percaya ke arahnya. Tanganku terkepal dan tubuhku bergetar. Kepalaku tidak henti menggeleng menolak kebenaran ucapan Windi. Ini tidak benar.. Andis nggak mungkin pergi secepet ini. Erangku dalam hati.
“Aku nggak bohong Meta.. Andis meninggal karena penyakit kenker yang mengidapnya sejak kecil. Kamu mungkin tidak tahu, kerena dia nggak pernah sanggup membuat orang yang dicintainya terluka kalo tahu keyataan ini. Selama dua bulan ini sejak setelah kalian berpisah. Andis dirawat di rumah sakit. Setiap hari dia memintaku untuk memberi kabar bagaimana keadaan kamu tanpa dirinya. Awalnya dia menyesal saat aku beritahu kamu terlihat sedih setiap hari. Tapi kemudian dia bilang kamu akan segera terbiasa tanpanya. Setiap malam sebelum tidur Andis akan selalu menulis surat untukmu. Sekalipun dia tidak mau mengirimnya padamu. Dia memintaku berpura-pura menjadi orang ketiga dalam hubungan kalian. Agar dia punya alasan untuk melepasmu. Dia tidak pernah menempatkan hatinya pada orang lain dan kamu telah menjaga hatinya untuk tetap berdiam di hatimu. Alasan yang membuatnya seperti ini adalah dia mau kamu terbiasa tanpanya dan belajar melupakannya. Dia tahu dirinya tidak bisa selamanya berada di sisimu karena itu dia melakukan ini agar kamu membencinya dan bisa mencintai orang lain yang lebih baik darinya.” Ucapan Windi menjelaskan semuanya. Tubuhku oleng. Aku terduduk dan bertumpu pada kursi yang tadi aku duduki. Windi menatapku prihatin. Ikut terduduk dan merengkuhku dalam peluknya. dia mengusap kepalaku. Mencoba memberi ketenangan untukku.
“Sebenarnya dia nggak mau kamu tahu semua ini. Tapi aku nggak tega melihatmu selalu bersedih dan menyalahkannya. Kemarin sebelum dia meninggal. Dia memberiku kotak itu dan menyuruhku memberikannya padamu setelah kamu memiliki orang lain yang bisa mengganti posisinya dalam hatimu. Tapi aku nggak bisa menunggu selama itu. Jadi aku mengatakan hal ini sekarang”
Aku hanya diam. Terlalu larut dengan perih di hatiku. Kami hanya diam di posisi yang sama hingga derap langkah mengisi kesunyian antara aku dan Windi. Unhy datang dengan wajah kaget yang melihatku menangis terisak di pelukan Windi.
“Ya Allah.. Meta ada apa. Apa yang terjadi…?”
Selamat malam Meta.. peri mimpiku.. Malam ini adalah malam ke enam puluh satu. Genap dua bulan sejak kita berpisah. Dan surat ini adalah surat yang ke enam puluh satu yang aku tulis untuk kamu. Entah kenapa aku sangat merindukanmu malam ini. Kamu tahu? Setiap detiknya seiring jarum jam itu bergerak yang aku lihat hanya bayangan saat kita bersama.. awalanya menyakitkan saat mengingat kenangan indah itu telah jauh pergi oleh luka yang aku berikan padamu. Namun, berubah menyenangkan saat sadar aku sempat menjadi laki-laki beruntung yang pernah hadir mengisi hari-harimu. Aku bahagia saat tahu perasaan cinta yang kamu beri semakin dalam merengkuh jiwaku. Senyuman manis yang selalu kamu pancarkan menjadi bingkai dalam sepi dan ketidak berdayaanku. Aku sakit sejak kecil dan selalu berpikir aku akan segera pergi dari dunia ini. Awalnya.. juga, tidak peduli tapi setelah bertemu kamu. Aku seperti menemukan harapanku yang tersembunyi di antara embun yang hampir menguap bersama udara. Semakin sakit itu menyerangku semakin aku berikir aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi dan rasa ketakutan akan berpisah denganmu semakin membelenggu ragaku. Aku tidak pernah sanggup menoreh luka di hatimu tapi aku melakukannya demi membiarkanmu mencari kebahagiaan yang lebih menjanjikan. Aku tidak bisa menjanjikan apapun karena aku tidak bisa selalu di sisimu untuk selamaya. Meta.. aku selalu menganggap kamu peri mimpiku yang akan mewujudkan mimpiku untuk hidup bersama sampai tua nanti. Tapi aku sadar itu tidak mungkin terwujud. Meta.. carilah seseorang yang bisa mengganti posisku dalam hatimu. aku bahagia jika kamu bahagia…
Ada begitu banyak hal yang ingin aku sampaikan tapi itu semua terlalu panjang untuk ditulis di surat ini. Aku tidak yakin kamu akan membaca ini atau tidak. Tapi yakinlah.. aku masih dan selalu mencintaimu…
Sepertinya aku menulis terlalu banyak. Mungkin karena aku merasa jika aku sudah tidak bisa bangun esok harinya. Maaf sudah membuatmu menangis dan terluka. Dan terima kasih atas cinta yang kamu berikan untukku. Love you peri mimpiku..
Andis
Aku menutup mulut. Menahan erangan yang ingin meledak. Aku histeris membaca surat yang ke anam puluh satu yang Andis tulis untukku. Sulit menerima keyataan bahwa Andis telah meninggalkanku bersama sepi dan kenangan. Perasaan menyesal dan marah pada diri sendiri karena aku tidak bisa memahami Andis seperti dia memahamiku. Aku menyesal tidak pernah peka dengan keadaanya yang kesakitan. Padahal dulu Andis memang kadang tiba-tiba dirawat di rumah sakit tanpa aku tahu penyebabnya. Aku seharusnya peka dan paduli padanya. Aku marah karena dia tidak pernah jujur padaku. Tapi sekarang aku hanya bisa meringkuk. Memeluk lututku di ujung kamar sembari mengenang kehadiran Andis dalam hidupku. Aku merendam isakku di antara perih yang aku rasa. Ini lebih menyakitkan dibanding dia mengkhianatiku. Aku sudah tidak bisa merasakan kehadirannya lagi. Dia sudah pergi membawa setengah dari kebahagiaanku. Aku terluka karena kepergiaanya.
“Andis… aku juga minta maaf karena tidak bisa memahamimu seperti kamu memahamiku. Aku juga berterimah kasih telah memberi cinta dan kenangan bahagia dalam hiduku. I love you Andis.. aku merindukan.. kamu…”
Cinta adalah bukan sebanyak bagaimana dia bisa memberi kebahagia padamu. Tapi cinta adalah sedalam apa dia menempatkanmu dalam ruang sepesial di hatinya. Dia akan memikirkan bagaimana kamu bisa mendapatkan kebahagian dan mencoba menepis luka di hatimu. Cinta itu bisa memberi alasan yang lebih menyenangkan dari kenapa dia menorehkan luka. Cinta itu sesederhana bagaimana kamu menghargai keberadaanya… thanks love to my life.
THE END
Cerpen Karangan: Upriani Rahman Blog / Facebook: Cepen cerbung love