“Aku menghabiskan delapan tahun untuk mencintainya, tetapi akupun hampir sepanjang hidup dan sepanjang waktu tak ingin lagi mengenal cinta dan mempercayainya lagi. Waktu yang membuatku berproses mencintainya, namun waktu pula yang melukis kecewa dalam hatiku karenanya. Dia telah membuatku kecewa. Dia tak pernah peka terhadap perasaanku. Bukan hanya itu, hanya karena malu dia mencampakkan cintaku selama itu.”
Aku bahkan tidak mau menyebut namanya lagi, itulah yang selalu kubesitkan di dalam hati kecilku hampir sepanjang waktu disaat aku melihatnya. Menit dan detik berlalu menjadi jam, haripun terus melangkah, mataku senantiasa kupalingkan dari arahnya. Bukan aku membencinya. Tetapi, entah mengapa saat aku memandangnya perlahan lahan luka dan kecewaku padanya yang tampak menutupinya. Karena mengingat cintanya adalah siksa, jika aku nekat, perih yang akan kurasa di sepanjang waktu itu. Tidak ada hubungan antara cintaku dengannya lagi seperti sebuah hubungan yang lebih rapuh dari bunga. Namun yang ada hanya bingkisan duri duri kehancuran kehancuran yang diberikannya padaku. “Dewan”. Itulah nama yang tak ingin kudengar lagi.
Walaupun setiap hari aku bertemu dengannya di sudut kantin sekolah, aku merasa dia asing bagiku, dan juga dia bukan tipeku lagi. mungkin, dia malu menebengku karena kekuranganku ini. Yang setiap saat dia membiarkanku di seberang jalan melewati teriknya matahari, dalam kekurangan ini selalu selipkan butiran doa meskipun dia tak akan tau dan tak akan mungkin bisa mengerti.
Ketika bertemu dia, aku menjadi seorang Ira yang tegar. Dimana dari ketegaran itulah yang menjadi benteng kekuatanku. Aku berpura pura tak peduli padanya. Padahal seribu kata cinta dan sayangku tetap untuknya meskipun dia tak pernah mau mengerti. Detik detik kekecewaanku masih saja terus merayu. Dia membuatku semakin muak dengan sikap cueknya itu. Andai aku bisa buktikan bahwa dia tak lebih dari seorang lelaki pecundang meskipun aku tau, aku tak akan bisa tega melakukan itu dan tak akan pernah mungkin aku membalas kekecewaan ini padanya.
Namun pada suatu ketika, pulang sekolah, aku tidak tau harus nebeng kesiapa, bila tidak, jalan hitam berlikulah susuranku. Namun, aku mencoba memberanikan diri walau hanya sekali saja aku mencoba minta tolong pada Dewan untuk menebengku walau cuma hari ini saja. Aku memanggilnya dengan perasaan rendah hati. Tetapi dadaku terasa sesak dan terbelah rasanya ketika mendengar jawabannya.
“Aku tidak bisa Ira, aku ada urusan. Kamu pulang sendiri ya?” katanya dengan nada agak begitu kasar. Aku tidak menyangka, mengapa aku bisa memberi hati pada orang yang tidak punya perasaan sama sekali?. Lalu, mendengar jawabannya itu aku hanya mengangguk dengan disertai senyuman hangatku yang biasa kuberikan. Sembari kukatakan “ya, Tidak apa apa”
Hingga hari demi hari, aku kepergok dia yang selama ini menolak menebengku mentah mentah hanya karena ingin beli bensin saja. LIHAT…!! begitu jahatnya dia padaku! begitu teganya dia lakukan itu?. Aku tidak tahan lagi melihatnya. Bahkan bibirku ini enggan sekali berbicara dengannya lagi. Saat dia melakukannya lagi dan lagi, air mataku hanya bisa meleleh tanpa henti di sepanjang jalan setiap hari. Ketika doaku membasahi sirah sirah langit yang mendung, kutatap kesedihanku, lalu ku bertanya “UNTUK apa aku menangisi lelaki seperti dia?”
Pada suatu hari, entah setan macam apa yang membujuknya untuk datang padaku. “Ira,… aku mau…” katanya perlahan lahan. Namun, aku sudah memutuskan untuk tidak ingin melihat apalagi berbicara dengannya. Jadi, tanpa berkata apapun aku langsung pergi meninggalkannya. Andai saja dulu aku tidak mengenalnya, maka rasa yang begitu dalam ini tidak akan mendapat getah karena perlakuannya selama ini.
Suatu ketika pulang sekolah, seperti biasa aku menghabiskan imajinasiku di pinggir lorong hitam yang kulalui dengan langkah pelan pelan. Ketika itu ada Dewan di belakangku, namun aku tetap tidak menoleh. Aku sudah tidak yakin lagi dengan kebaikannya lagi. Hatiku sudah hancur bersama kekejaman dan ketegaannya padaku. Namun dia berusaha mengejarku dengan sepeda motornya.
“Ira, mari ikut denganku?” katanya berpura pura lugu. “Tidak, terima kasih. Kakiku masih kuat berjalan” kataku menolak ajakannya “Sudah, ayo. Panas nih!!” ajaknya yang kedua kali “Tidak, terima kasih. Aku takut kamu malu.” “Sudah ayo! kalau tidak mau ya sudah” katanya mulai kasar. “tidak, terima kasih” kataku sambil kubalut keringat yang menetes perlahan lahan. Mungkin dia sudah bosan dan lelah mengajakku. Hingga diapun pergi meninggalkanku. Tetapi aku harus kuat, aku harus menjadi cewek strong meskipun lapar dan dahaga mulai terasa menyengat. Maafkan aku Dewan, bukannya aku menolakmu, tetapi aku hanya tidak mau kau malu lagi karena aku.
Ketika di sekolah, tepat di sudut kantin aku bertemu dia tepat di depanku. “Ira… aku…” katanya padaku. Tetapi aku tidak mau peduli dia mau bicara apa. Aku sudah bosan melihat muka pecundangnya itu. akupun langsung pergi. Namun, dia tetap mengejarku hingga sampai ke kelasku. “Ira… Tunggu…!! Tolong dengarkan aku…” katanya di depan pintu kelasku yang banyak cewek cewek. Namun sekali lagi aku tetap tidak peduli padanya. Saat melihatnya entah kenapa luka ini semakin perih dan sakit rasanya.
Dan pada suatu hari, dia menemuiku di kantin sambil berkata “Ira… mengapa kamu menghindariku?” “Sudah, jangan lagi menemuiku. Aku takut kamu nanti malu pada teman temanmu” kataku sambil memalingkan muka dari pandangannya. “Ira… aku tau aku salah, tapi…” “SUDAH…!!” “mulai detik ini, jauhi aku…” kataku sambil beranjak pergi hingga aku melupakan buku yang kutaruh di atas kursi kantin. dan akupun lupa ingin membeli apa di kantin. Gara gara bertemu dia, aku menjadi tidak nafsu makan jajanan sekolah.
Ketika di kelas, aku hanya menatap layar jendela. Kuselipkan bingkaian kata yang menemani suara jiwa. Tak berkutik, luka ini semakin membara saat teringat mimpi mimpi yang hendak kucapai bersama dia yang kini telah membutku kecewa. KECEWA… yang tak dapat terobati dengan hanya kata maaf saja.
Berulang kali, dia membujukku untuk menebeng padanya. Tetapi hatiku tetap bersikeras menolaknya. Aku tidak bisa memaafkannya dengan begitu mudah. Gejolak kecewa ini selalu saja merasukiku setiap kali aku ingin memaafkannya. Aku tau, tuhan saja maha pengampun apalagi aku yang sangat hina ini. Tetapi rasanya hatiku belum mampu memaafkannya, karena dia sudah benar benar keterlaluan. Lantas, dengan dasar apa dia bisa mengembelikan kepercayaanku? Setiap hari senin di sekolah tepat di sudut masjid, itulah ruang pertemuanku dan dia. Yaah, dia selalu duduk bersandar di pilar masjid. Entah mengapa hatiku masih saja memperhatikan gerak geriknya.
Pada suatu ketika, aku melihatnya menemui adik kelasku yang bernama dek Dira. Entah apa yang dibicarakan mereka hingga serius sekali. Melihat keadaan itu, aku semakin kecewa. Pikiranku semakin kacau. Tetapi, mengapa aku masih cemburu saat melihat dia bersama dek Dira?. Meskipun aku merasa dia tidak pernah punya perasaan apapun padaku. Mengapa hatiku berat sekali untuk melupakannya?. Disaat hatiku berlumuran kekecewaan padanya.
Dan ketika pulang sekolah, dia mengajakku menebeng padanya lagi. Entah mengapa perasaanku semakin tidak enak padanya. Namun aku tetap menolaknya lagi. Aku berpikir, aku tidak butuh rasa kasihannya itu, aku tidak butuh dengan drama keluguannya, aku tidak tahan dengan kepura puraan perhatiannya padaku. Yang semasa itu hatiku selalu menangis saat mengingat kata katanya “Kau Bukan Siapa siapa bagiku” yang ia ucapkan pada saat di depan kelasnya yang sekaligus disaksikan banyak teman temannya. dia sungguh tak punya hati dan perasaan.
Hari demi hari, dia semakin dekat dengan dek Dira. Bahkan di hadapanku saja mereka bercanda tawa menghabiskan waktu berdua. Hatiku semakin hancur teriris iris rasanya. Lelaki yang selama ini kucintai 8 tahun silam yang telah mengukir benahan harapan dalam hidupku ternyata dia itu php. Tetapi aku sadar, aku tidak pantas untuknya. Memori bersama dia hanyalah sebatas debu debu kehancuran yang tersiram oleh hujan deras. Dia tidak akan mengerti bagaimana kekecewaan ini, dia tak akan mengerti luka yang selama ini kurasakan, karena hanya akan terlihat ketajaman pisau di hatinya, Membayangkan cintanya adalah siksa, Sama seperti cintaku padanya yang semakin terkikis karena kekecewaan ini padanya.
Aku selalu menghiasi hatinya dengan air mata dan penderitaan, itulah yang sering kulakukan untuk membalas kekecewaan cinta padanya yang selama ini selalu menyakiti dan mengecewakanku.
Cerpen Karangan: Nor Aini Blog / Facebook: Nor AiniTheBornWriter tempat tanggal lahir: Sumenep 22 Juli 2000 alamat: Mantajun, kec. Dasuk Sumenep sekolah: Man Sumenep kelas: XII IPS 2 hoby: Menulis cita cita: Sastrawan