Seminggu kemudian, dia rela rela datang ke kelasku hanya untuk mengembalikan buku yang saat itu kulupakan di kantin. Entah berapa penyesalan yang akan aku terima nantinya saat aku baru tau akan arti kehilangan dia. Namun, aku tidak berfikir sejauh itu. Hatiku tetap pada pendirianku.
Ketika bel istirahat berbunyi, aku datang berbondong bondong bersama kedua temanku yaitu Risa dan Pita. Ketika itu, mereka berdua menepukku dari belakang seperti ada yang mereka sembunyikan dariku. Namun ketika kusadari dan aku tau apa yang ada di punggungku yang membuat seluruh isi kantin tertawa terbahak bahak melihatku, kebetulan Dewan ada di belakangku dan dia memegang sesuatu yang ada di punggungku.
“ada apa kalian menatapku seperti itu?” kataku dengan penuh rasa malu “Pita, apa yang terjadi? mengapa mereka semua menertawaiku? apa ada yang salah denganku?” tanyaku pada Pita. “lihat…!!!” kata Pita mengambil sebuah kertas putih bertuliskan “AKU GILA” dari tangan Dewan. “siapa yang melakukan ini? siapa yang tega melakukan ini padaku?” tanyaku sambil tak kuasa kulelehkan air mata. “dia..!! dia yang melakukannya” kata Pita dan Risa sambil menunjuk Dewan. “tega kamu ya Dewan! apa begini cara kamu membalasku karena belum memaafkanmu?”. kataku yang tak mampu lagi kutahan yang saat itu emosiku tidak terkendali. Namun, aku tidak memberi kesempatan Dewan untuk menjelaskannya padaku. Sejak kejadian itu aku semakin dan semaaakin menjauhi Dewan.
Keesokan harinya saat jam pulang sekolah tiba, Aku berdiri di luar gerbang sekolah menanti jemputan. Tetapi, sudah hampir 3 jam aku menunggu hingga mondar mandir kususuri dan kupandang arah jalan dari utara yang terbayang di pandanganku. Tiba tiba… Dewan datang dengan sepeda motornya. “Ira, ikutlah bersamaku ini untuk yang te…” “Tidak, terima kasih. Kamu duluan saja” kataku ketus menolak ajakannya. Yang saat itu, perasaanku semakin tidak enak, dan bukan main, perasaan ini benar benar sangat terbuai dalam kekhawatiran. Entah apa yang akan terjadi mengapa hatiku gemetar saat menolak ajakannya kali ini?.
Dan saat Dewan ingin belok ke utara, Sebuah truk melaju kencang dari arah selatan dan menghantam Dewan habis habisan. Peristiwa naas itu terjadi dan kusaksikan di depan mataku sendiri. Sepeda Dewan rusak, Helm Dewan hancur tertindas, dan Dewan… Dewan tergeletak di tengah jalan dengan wajah bermandikan darah dan seragamnya robek karena gesekan dari aspal jalan yang kejam itu. Suara kecelakaan itu terdengar sangat jelas di telingaku. Lalu, mobil setia kecelakaan datang membawa Dewan. Apa yang terjadi? aku menangis tersedu sedu. Mengapa kau hukum aku tuhan dengan adanya kecelakaan naas ini?.
Saat kecelakaan itupun berlangsung aku melihat sebuah kertas kuning dari saku baju Dewan yang tiba tiba terlempar melayang ke arahku. dan ketika kubaca, membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku. Kubaca surat itu sambil perlahan lahan air mataku jatuh membanjiri wajahku tanpa terasa.
“Untuk: Ira, Gadis sederhana penarik hati Ira, maafkan aku. Selama ini aku telah memberi harapan yang belum sempat kuwujudkan untuk membahagiakanmu, untuk membuatmu sekedar tersenyum, aku laki laki egois, pecundang dan tidak punya hati. Tapi Ira, semenjak kau menghindariku, aku menjadi rindu segalanya darimu. Sikap malu dan kesederhanaanmulah yang mampu membayangiku setiap saat aku mengendarai sepeda motorku sendirian, tiada lagi wajah lugu mendeku yang mampu kulihat dari kaca spion sepedaku. Maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab atas kekecewaan yang selama ini kuberikan. Seandainya aku bisa, aku ingin memperbaiki kesalahanku, Tetapi aku tidak mau kau kehilangan cintaku yang tersembunyikan selama ini
Allah memberiku waktu teramat singkat karena mencintaimu adalah hal terbaik yang kuabaikan selama ini. Saat saat mataku tertipu dengan pergaulan bersama teman temanku, aku melupakanmu, aku melupakan persahabatan kita 6 tahun yang lalu, aku melupakan segalanya tentang kita dulu.. Air mata ini tak akan cukup menebus kesalahanku.. Aku tidak tau bahwa dirimu adalah awal kebahagiaanku. Satu hal yang membuat aku kagum padamu Ira. Meskipun di tengah kamera surya yang amat membakar, kau tetap melangkah penuh keteguhan, tekad, dan keberanian. Sedangkan aku, aku hanya seorang lelaki yang lemah, pengecut yang hanya bisa menyakiti hati seorang perempuan sebaik kamu. Cinta ini, mungkin akan kubawa pergi jauh, Aku harap kau mendapat seorang lelaki yang pantas untukmu. Maafkan aku…
Dewan”
Setelah membaca surat itu, betapa menyesalnya aku setelah mengetahui pengakuan tentang kebenaran semuanya. Tentang kejadian di kantin tadi yang jelas jelas bukan Dewan pelakunya melainkan Pita dan Risa. Tentang hubungan Dek Dira dan Dewan selama ini yang hanya sebatas rekan organisasi dan tidak lebih dari itu, Penyesalan karena hatiku telah dikuasai oleh amarah. Mengapa saat itu hatiku keras kepala?, hatiku sekeras batu untuk memaafkan kesalahan Dewan. Padahal aku sendiri tau bahwa aku tidak berhak menghukum seseorang dan akupun tidak berhak untuk tidak peduli kepada seorang yang sudah jelas jelas menyesali kesalahannya. Mengapa bisa aku melakukan kesalahan terbesar dalam hidupku? Ya tuhan, bisakah engkau mengembalikan Dewan padaku? aku menyesal karena tidak menyadarinya.
Namun drama ini sudah berakhir dan hatikulah jadi korbannya. Berapa sakit lagi yang harus aku tahan karena kehilangan orang yang aku cintai selama ini?. Oh, Air mata kini kawanku adalah dirimu, jangan ingatkan aku… Pada dia yang sering tertidur di sandaran pilar masjid, Jangan ingatkan aku saat saat terakhir dia membujukku untuk menebeng padanya. Dia yang kutuduh telah menaruh sesuatu di punggungku saat di kantin itu, kekecewaanku yang membuatku semakin menghindarinya selama ini. Andai saja waktu memberiku kesempatan, cinta dan ketulusan ini tak akan pernah berbelok. Oh jiwa jiwa yang hampa..!! kini naunganku bersamamu. Sedemikian perih penyesalan yang harus kutanggung dan kualami ini, kau akan setia mengawal kesedihan dan penyesalanku karena kehilangan dia.
Waktu? mengapa kau tak berpihak kepadaku? mengapa kau biarkan aku terpisah dengan cinta tulusnya? bukankah kau telah mempertemukanku dengannya? mengapa kini kau harus mengambilnya dariku kembali jauh kesisi-Nya. Yang semula cinta dan kecewa kulampiaskan padanya.
Mengapa aku menangisi dia? orang yang selama ini telah mengecewakanku. Bukankah ini yang kuinginkan? kehilangan dia untuk selamanya dalam hidupku?. Tapi mengapa hatiku harus berbohong bahwa hatiku masih mencintai dan menyayanginya?. Mengapa pula saat itu aku tidak mau mendengar penjelasannya meskipun hanya sekejap saja?. Aku telah menyia nyiakan cintanya selama ini demi memuaskan kekecewaan hatiku padanya dengan alasan yang sama sekali tidak logis. Selama delapan tahun aku menantinya berharap ia memberikan secuai dan setetes cintanya untukku. Tetapi setelah kudapatkan semua itu, bahkan hatiku sendiri dibutakan oleh kekecewaan yang membunuhku saat dia masih bersamaku.
Seminggu sepeninggal Dewan, imajinasiku menjadi semakin menjamur. Derapan derapan harapanlah yang sudah berguguran di tengah penyesalanku ini. Aku tak mau lagi menghadapi cinta lelaki lain setelah Dewan tiada. Sehingga ketika kepergiannya, Dewan tetap membanjiri hatiku dengan cinta. Banyaknya lelaki yang hadir, tak mampu menghapus sosoknya yang masih saja tak pernah absen dalam hatiku. Namanya tetap harum di dalam hati kecilku ini yang paling dalam.
Ketika aku pulang sekolah bersama Gita yang sama sama berjalan kaki dari jembatan Gujun, Lamunanku semakin berulah di sepanjang jalan itu. Ketika itu Gita berbicara kepadaku. “Ira, apakah sebelum bersamaku kamu terus berjalan seperti ini?” tanya Gita sambil melihat ke arahku. Namun tiba tiba saja aku terbayang Dewan yang membujukku nebeng padanya hingga dari itulah bicaraku mulai ngawur. “tidak, terima kasih“ kataku perlahan di tengah lamunanku. “Ira, maksud kamu apa bilang tidak terima kasih?” kata Gita sambil menepuk kedua tangannya di depan mataku yang sedang dalam tipuan bayangan. “oh.. tidak, maksudku apa yang kamu bicarakan barusan?” “heh, makanya jadi orang jangan melamun terus” kata Gita padaku.
Beberapa jam kemudian, aku sampai di rumahku. Ketika ku melihat rumah Dewan di sebelah selatan rumahku yang jaraknya hanya tiga sampai empat pekarangan sawah dari rumahku. Begitu hancurnya hatiku saat ini. Air mata merebak deras di mataku. Aku teringat rasa sesal yang memenuhi rongga dadadu saat ini. Sekuncup rindu dan setangkai kenangan ketika masih bersamanya biarlah menjadi karangan bunga bunga dalam hatiku.
Dewan, maafkan aku. Tidak sepantasnya aku kecewa atas apa yang kau lakukan selama ini. Mengapa bisa aku terkecoh dalam keadaan ini? kau pergi tinggalkan penyesalan ini yang tak mampu kupikul hingga nanti. Begitu egoisnya aku memperlakukanmu selama ini?. Bukankah cinta itu tidak saling menyakiti?. Aku mencintaimu dengan senyuman, tetapi aku kehilanganmu dengan penyesalan. Bagaikan nasi yang telah menjadi bubur, kau tak akan pernah kembali untuk menimang cinta ini lagi. Biarlah penyesalan cinta ini menjadi pelajaran pertama dalam hidupku, walau kau hanya sebagai kenangan, tetapi kau lah akhir segalanya bagiku.
Maka dari itu, kawan, jika kita mencintai seseorang, kita jangan pernah menunggu untuk sampai dicintai. Dan bila nanti cintamu padanya tak mampu kau tahan hingga akhinya tertuang kekecewaan karena mencintainya, janganlah sekalipun kau berputus asa akan harapan yang telah kau tanam padanya. Meski dia tidak menyadari bahwa kau mencintainya, yakinlah “Cinta itu adil bagi siapa saja yang mau mempercayainya”. Jangan pernah menyia nyiakan waktu untuk membenci seseorang karena kegagalan cinta. Jika suatu saat orang itu mulai jatuh hati padamu, maka bila nanti tiba saat kau kehilangan dia, menyesallah hal terpahit yang akan kau telan untuk selamanya.
Cerpen Karangan: Nor Aini Blog / Facebook: Nor AiniTheBornWriter tempat tanggal lahir: Sumenep 22 Juli 2000 alamat: Mantajun, kec. Dasuk Sumenep sekolah: Man Sumenep kelas: XII IPS 2 hoby: Menulis cita cita: Sastrawan