Hujan di awal Januari, setitik gerimis dengan semburat warna jingga makin mempercantik langit Yogyakarta. Tapi andai kamu tahu, segala kecantikan itu tak sebanding dengan rona merah yang muncul saat kugoda dirimu, atau lengkungan di bibir mungil nan merah itu … lengkungan yang mana selalu membuat kedua pipimu bercekung indah ….
Katamu dulu, hujan selalu membuat banyak cerita untuk hati yang sekuat baja, untuk usaha yang setekun kapal membelah samudera. Ah … jikalau dulu aku selalu mengatakan kata-katamu terlalu bermajas, tapi tidak dengan sekarang. Aku malah rindu, menginginkan suara selembut itu untuk kudengar lagi.
Sekarang aku hanya bisa tersenyum kecut, merasakan tetesan air menghunjamku secara perlahan. Mungkin, aku terlihat seperti kupu-kupu kesepian yang mengetuk relung hatimu pelan-pelan. Menyedihkan, kamu tak pernah ‘lagi’ membukanya.
Tentunya, setelah hatimu kembali kugores dengan sebilah pisau tak kasatmata. Yang mana, kesabaran hatimu kembali kuuji. Kesetiaanmu sebagai sang kekasih kupatahkan begitu saja.
Aku memang bukanlah perempuan baik-baik. Tidak berjilbab seperti yang kamu harapkan, asamu kuabaikan, lebih memilih mementingkan karierku yang saat itu gumilang.
Senja namamu, seelok pula rupamu. Lelaki sabar dengan sejuta pesona yang dapat menggetarkan hati para turunan Hawa, yang mana banyak gadis yang diam-diam menyebut namamu dalam setiap doa mereka kepada sang pemilik kehidupan. Berbeda halnya dengan diriku, kadang kehadiranmu pun kuanggap sebagai figuran yang tak berarti.
“Teh lagi, Mbak?” Seseorang bertanya, memakai seragam abu-abu usang yang kini memegang poci di tangan ringkihnya. Aku menatap dia nyalang, tersenyum samar seperti orang gila. Bodoh memang, sempat menganggap dia adalah kamu.
Fatamorganaku terlalu tinggi ya, Senja? Dalam hati aku merutuki diriku sebagai perempuan terbodoh sepanjang abad.
Aku mengangguk pasrah, biarlah kantung kemihku membengkak akibat cairan yang kuteguk secara berlebihan. Atau, sebentar lagi aku akan menderita diabetes?
Ah, aku tak peduli lagi, yang penting bukan sejenis alkohol yang kuteguk saat ini. Lihat, aku menuruti perkataanmu Senja ….
Jadi, kapan kamu kembali? Tak tahukah kamu, aku tercekik oleh rindu yang kini mencengkeram kuat dadaku. Aku tercekik oleh perasaan sesalku terhadapmu. Dan aku, perempuan yang sudah kehilangan urat malunya untuk sekadar memohon agar kekasihnya kembali lagi.
Lalu, perhatianku tertuju pada sosok wanita berkerudung yang membawa seorang bayi dalam buaiannya. Ia cantik, wajahnya bersinar cerah, rona kemerahan alami menghinggapi kedua pipi putihnya. Dia berjalan ke arahku dengan senyum yang tak pernah memudar.
“Mbak Santhy bukan?” Perempuan itu bertanya ramah. Dan aku mengangguk acuh menanggapinya, “Duduklah,” kataku singkat. Lalu perempuan itu duduk berhadapan denganku, bibirnya mendesis pelan saat bayi itu merengek akibat terbangun dari tidurnya.
“Ada apa Anda ingin bertemu dengan saya? Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?” Kalimat terpanjang yang pernah kuucapkan kepada orang asing. Aku seorang introvert yang tak suka banyak bicara, apalagi sekadar berbasa-basi dengan orang baru. Bukan tipikalku sama sekali.
Aku menatap tajam perempuan di depanku ini. Ia masih diam, saling meremas kuat jemarinya. Mengedarkan segala pandang, berada di kafe yang tergolong nostalgia di Yogya merasa agak nyaman dengan suasananya. Apalagi, tempat ini menyimpan banyak kenangan dengan Senja–kekasihku yang menghilang entah ke mana. Salahku juga, sudah membuat air mata berharga seorang lelaki menetes akibat ulah bejatku sendiri berselingkuh dengan adik iparnya–Angkasa Mada Syailendra. Tapi takkan lagi untuk saat ini dan seterusnya.
“Mbak kenal Mas Senja ‘kan?” Kata perempuan itu. Aku melotot tajam, responsku sungguh tanggap saat nama kekasihku disebut. “Ada apa? Apa kau mengenalnya? Tahu keberadaannya? Apa kau sudah membaca blog pribadiku?” Cecarku dengan segala rasa ingin tahu tinggi. Wanita itu mendadak diam, bibirnya seakan kelu untuk membuka. Aku makin gemas dibuatnya.
“Tak bisakah kau menjawab? Apa kau bisu?!” Kugebrak meja bundar itu, membuat dia sedikit tersentak dari lamunannya. “Maaf Mbak … saya harus mengatakan ini semua … Mas Senja suami saya, tolong jangan ganggu dia lagi … saya mohon …” wanita itu berlutut di hadapanku. Dan aku hanya terkulai lemas, tulang keringku seakan meleleh dan lembek seperti jeli, tak bisa kugerakkan. Mataku mendadak sulit terpejam sekadar berkedip. Rasanya terlalu berat saat beban yang kubawa ditarik paksa tiba-tiba.
Entah sejak kapan, air mata ini mendobrak keluar, bibirku gemetar, gigiku bergemelatuk hebat hingga terdengar nyaring. Kurasakan wanita itu sudah duduk kembali di hadapanku. Tangannya hendak meraih kedua telapak tanganku yang langsung kutepis.
“Kau pikir aku percaya, hah?! Senjaku tak akan pernah pergi dari hidupku! Kau tahu? Kekasihku itu orangnya setia, selalu menjaga komitmen yang ia jaga! Selama ini, wanita cantik yang selalu mengantre untuk mendapatkannya selalu ditolak. Dan kau … dengan seenak jidatmu berkata, jika Senja adalah suamimu. Mana urat malumu, hah?!” Makiku. Batas emosiku sudah mencapai ubun-ubun. Dadaku naik turun akibat rasa panas yang menjalar hingga ke ulu hati. Rasa sakit akibat merasa terselingkuhi menyeruak keluar dalam dada.
Wanita itu gemetar, wajah ayunya tak lagi melukiskan senyum. Hanya isakan yang makin keras dapat kudengar. Wajahnya memerah, kedua tangannya menyumpal rapat bibirnya.
“Saya tidak berbohong, lihat cincin ini.” Ia pun memperlihatkan jari manis yang di mana tersemat cicin emas putih di sana. Aku tertawa sumbang, meyakinkan diriku jikalau ini hanya sandiwara belaka.
“Kalau begitu, di mana Senja? Aku ingin bertemu langsung dengannya! Aku ingin memastikan jika kau hanyalah pembual yang ingin memisahkan kami berdua!”
Kulihat, wajahnya memucat. Perempuan itu menggigit bibirnya kuat hingga memutih. Tatapannya meragu ke arahku, sementara aku makin tertawa penuh kemenangan.
“Kau bohong.” Aku tersenyum culas memandangi wajahnya yang kian memucat. Aku pun meletakkan beberapa lembar ratusan ribu di meja bundar itu, “Hiduplah dengan baik, bukan dengan menyebarkan berita palsu seperti ini, Nona!” Kataku. Tak banyak kata lagi, aku pun bergegas pergi dari kafe nostalgia ini.
Bukan, bukan, bukan. Jika kalian mengiraku pengecut karena takut dengan pemaparan fakta wanita berkerudung itu. Hanya saja, aku mendadak sesak saat suasana masa lalu terasa di kalbuku.
Senja Angkasa Rajendra. Di mana kamu sekarang sayang?
—
Kembali berkutat pada aktivitas keseharianku, menjadi manager perusahaan bonafid di Yogyakarta. Kusandarkan wajahku pada tumpuan tangan kiriku, entah mengapa penat juga berhubungan dengan angka. Sesuatu yang sempat kugilai.
“San, Pak Angkasa ingin memeriksa data keuangannya. Tolong segera temui dia,” suara Revan membuyarkan lamunanku. Aku pun bangkit berdiri, merapikan sedikit kemejaku yang kusut karena dipakai duduk terlalu lama.
Aku menghela napas panjang, kegugupan ini kembali lagi. Aku akan bertemu dengan lelaki itu, lelaki yang sempat menawariku keindahan surgawi dan aku sempat tergodanya.
Pintu itu terbuka, kumasuki ruangan Angkasa yang rapi seperti biasanya. Lelaki itu memasang wajah datar dan dinginnya tak menggubris kehadiranku.
“Sudah kamu copy di flashdisk?” Suara beratnya memecah keheningan ruangan. Aku hanya mengangguk dan menyerahkan benda persegi panjang itu di meja kerjanya. “Silakan kembali bekerja, Nona,” katanya.
“Katakan di mana Senja, maka aku akan pergi!” Kepalanya tersentak ke atas, tatapan setajam elang itu seakan ingin melubangiku. “Kak Senja sudah punya keluarga baru, setidaknya jangan ganggu dia lagi.” Kenapa pernyataan mereka selalu sama dan tampak bersungguh-sungguh? “Jangan bohong kamu, Angkasa! Kamu tidak akan bisa memerdayaiku!” Teriakku dengan menggebrak meja, tak lagi menghormati dia sebagai atasanku. “Keluar atau kupecat kau sekarang Nona Santhy Adara?” “Pecat saja aku, toh aku tak akan peduli dengan pekerjaan memuakkan seperti ini!!”
Aku keluar dengan hati dipenuhi gelora api. Baranya kian terasa, sampai-sampai wajahku harus bermandikan peluh keringat. Ingat Senja, kalau kamu dulu berjuang mati-matian mempertahankan hubungan ini, sekarang kamu tak lagi berjuang sendirian. Kamu tak akan lagi berjalan dengan satu kaki, melainkan dua kaki, kita bisa berjalan normal. Aku yakin, memang sudah saatnya kuperjuangkan dirimu. Kembalilah Senjaku …
Hari demi hari terus berlalu, bulan demi bulan terus berganti. Hingga aku kembali di titik awal, di mana Januari tahun kedua aku mencarimu. Dihujat perempuan tak tahu malu pun aku terima, benar katamu dulu, kita tidak akan bisa menuruti setiap perkataan orang lain demi hidup kita.
“Mbak.” Seseorang menepuk bahuku, perempuan yang sama dengan Angkasa di samping wanita ini. “Ada apa kalian ke sini? Mau menyadarkanku, kalau dia istri Senja?!” Angkasa menarik wanita itu ke belakang tubuhnya, seakan ingin melindungi wanita itu dari suatu bahaya di depannya. “Sudah San, kita di sini tidak ingin berdebat dengan kamu. Lebih baik, ikut kami,” kata Angkasa.
Pada akhirnya aku mengikuti kedua sejoli itu, membawaku entah ke mana. Sampai aku tersadar dari lamunanku. Berada di tanah lapang dengan ratusan nisan di atasnya.
“Di sinilah Mas Senja berada, lelaki setia yang selalu menjaga komitmennya. Lelaki yang mempunyai cinta suci untuk kamu, tapi kamu tidak pernah menghargainya.” Anisyah–nama perempuan itu, baru buka suara menjawab segala pertanyaan di kepalaku.
Senja kasihku, telah pergi untuk selamanya. Kekasih yang tak pernah lagi bisa kembali … Kekasih terbaik yang pernah kupunya …
“Aku Anisyah, adik Mas Senja sekaligus istri dari Angkasa.”
Bagaikan dipukul godam besi, kenyataan itu menamparku kuat-kuat. Senja tidak pernah berselingkuh, bahkan janjinya dibawa hingga ke liang kuburnya.
Maaf …
Cerpen Karangan: Linda Kartika Sari Blog / Facebook: Linda Kartika Sari