Aku berdiri di sudut jendela, kusibak gorden warna hijau tua, pandanganku lurus pada butiran-butiran air yang terus turun membasahi tanah. Seolah menantang langit, mataku tak berkedip menatap awan pekat dengan curah hujan yang cukup tinggi disertai petir yang sesekali menyambar.
Hujannya merata, hampir di semua daerah. Sekarang memang sudah memasuki musim penghujan, tetapi untuk tahun ini, hujan dan panas datang silih berganti, jika hari ini hujan, esoknya matahari bersinar begitu terik, bahkan terkadang dalam satu hari hujan dan panas datang hampir bersamaan. Seiringan dengan datangnya hujan, bayangan Mas Danu menyelinap masuk ke sudut jendela tempatku berdiri, kulihat wajah lelakiku dalam balutan hujan. Sesekali ia tersenyum menyaksikan kesendirianku, tangan kananku menyentuh wajahnya, hingga akhirnya mata kami saling beradu pandang, akupun membalas senyuman Mas Danu, senyuman lembut yang mengisyaratkan betapa rindunya dia padaku, begitu juga halnya aku selalu merindukan Mas Danu yang kini tak jelas keberadaannya.
Ingin rasanya aku mengucapkan ribuan kalimat, tetapi bibirku terasa kelu, padahal aku tak sabar ingin segera berbicara dengannya. Aku ingin bercerita banyak padanya, tentang segala hal yang ada di sini, soal aku yang masih setia menantinya, dan soal aku yang masih menunggunya untuk datang ke rumahku seperti janjinya setahun yang lalu. Pelan, aku mulai merangkai kata demi kata di hadapan Mas Danu yang terpantul dalam kaca jendela.
“Aku merindukanmu, Mas!” aku terisak, air mataku menjadi saksi kerinduanku padanya. “Pulang, Mas. Jangan biarkan aku menunggumu terlalu lama di rumah” Aku merajuk memohon penuh harap. Mas Danu mengangguk dibarengi dengan senyuman khasnya, wajahnya yang manis dengan lesung pipi di sebelah kiri itu membuat jantungku makin berdegup kencang, sungguh, aku sangat merindukannya. “Sudah memasuki musim penghujan, aku menunggu Mas Danu” Aku berbisik diantara desiran suara hujan, untuk yang kesekian kalinya kutatap tajam wajah Mas Danu, lagi-lagi Ia mengangguk seolah paham apa yang aku bisikkan padanya. Menunggu Mas Danu adalah kegiatan rutin yang kerap kulakukan sejak beberapa bulan terakhir. Di sudut jendela, saat hujan turun, aku mulai menghitung waktu, dari mulai detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, hingga kini satu tahun sudah kepergian Mas Danu. Aku sadar Mas Danu tidak akan pernah pulang, tapi aku punya keyakinan Mas Danu akan kembali, entah kapan.
—
“Sedang apa, Dik?” suara telepon dari seberang menggairahkan semangat kerjaku. “Biasa, Mas. Masih disibukkan dengan kerjaan kantor” sahutku dengan nada sedikit manja “Jaga kesehatannya ya, bulan Desember ini Mas sudah selesai bertugas. Saat Mas pulang nanti, Mas akan melamar Adik” mendengar penuturan Mas Danu aku hampir saja menangis, antara haru dan bahagia. “Sungguh, Mas?” Aku bertanya lagi untuk meyakinkan. “Iya, Insha Allah. Doakan Mas ya, semoga semua rencana kita berjalan dengan lancar, dan niat baik kita dimudahkan oleh Allah” “Amin, Mas. Aku selalu mendoakan Mas Danu di sana. Semoga Mas dapat menjalankan tugas negara dengan baik dan amanah” suaraku kembali manja, energiku mulai bersemangat setelah hampir enam jam aku berkutat dengan rutinitas kantor. “Mas pamit mau kembali bertugas” katanya menutup pembicaraan kami.
Aku bertemu dengan Mas Danu dua tahun yang lalu, tugasku sebagai teller di salah satu Bank milik pemerintah menerima Mas Danu sebagai salah satu nasabah Bank di tempat aku bekerja. Pertemuan rutin itu akhirnya membuat kami berdua berkenalan. Setelah lima bulan saling kenal Mas Danu memintaku untuk menjadi kekasihnya, karena merasa cocok aku mengiyakan ajakan Mas Danu, hingga akhirnya kami berduapun berpacaran.
Dua tahun sudah aku menjalin kasih dengan Mas Danu. Di pertengahan tahun hubungan kami, Mas Danu mendapatkan tugas di luar kota. Sebagai abdi negara tentu saja Mas Danu tidak bisa menolak amanah yang harus diembannya. Tugasnya sebagai seorang tentara di negeri ini mengharuskannya jauh dari kedua orangtua, termasuk juga aku, kekasihnya. Hubungan jarak jauh antara Surabaya dan Wamena tidak menjadikan persoalan yang berarti buat kami berdua, kami saling setia, saling menjaga kepercayaan, karena kami berdua sama-sama ingin segera mengakhiri hubungan ini ke jenjang berikutnya, yaitu pernikahan. Setiap kali kami berhubungan lewat telepon, Mas Danu selalu berjanji padaku jika tugasnya telah selesai, dia akan segera melamarku.
Bulan Desember Mas Danu berkesempatan untuk pulang ke Surabaya. Sebagai kekasih yang sudah lama tidak bertemu tentu saja berita ini sangat membahagiakanku, tidak terkecuali kedua orangtuaku yang sejak kami berpacaran mereka sudah merestui hubungan kami berdua. Namun sayang, takdir Allah lebih berkuasa atas segala ribuan rencana manusia. Mas Danu tidak pernah datang ke rumahku. Bukan karena Mas Danu ingkar janji, tetapi karena Allah telah lebih dahulu menjemput jiwa raga Mas Danu dari pelukanku. Pesawat yang membawa Mas Danu bersama rombongannya menuju Surabaya mendadak kehilangan kontaknya tepat saat posisi pesawat berada di atas perairan Kalimantan, cuaca saat itu memang sedang hujan lebat. Menurut sumber berita yang kudapat, ada beberapa penduduk setempat yang sempat melihat dari kejauhan sebuah benda jatuh ke tengah laut yang diiringi dengan suara ledakan yang begitu keras, tidak lama kemudian api menyambar diantara benda tersebut. Pada hari itu juga berita ini menjadi breaking news di semua stasiun televisi, dan sempat menjadi trending topic di sosial media. Aku yang setengah percaya bahwa itu adalah pesawat yang membawa Mas Danu bersama rombongannya mencoba menenangkan diri dengan terus menghubungi ponsel Mas Danu, tetapi yang terdengar hanyalah nada tidak aktif.
Rasa khawatirku pun terjawab sudah, karena diantara dua belas penumpang pesawat Hercules milik TNI itu terdapat identitas kekasihku, dengan nama Danu Prasetyo, berjenis kelamin Laki-laki, asal Surabaya, usia 30 tahun. Kakiku seketika lemas, semua persendianku seakan mati rasa. Ya, Mas Danu benar-benar berada di dalam pesawat yang terjatuh, salah satu dari keluarga Mas Danu pun telah menghubungiku untuk memberikan kabar duka ini, sementara aku tidak dapat mengucapkan sepatah kata apapun ketika kutahu Mas Danu telah menjadi salah satu diantara para korban pesawat itu. Yang kulakukan saat itu, aku hanya ingin bernegosisasi pada takdir Allah, bila aku diberikan kesempatan, aku ingin melihat wajah Mas Danu untuk yang terakhir kalinya sekalipun sudah terbujur kaku menjadi mayat berbungkus kain kafan. Tetapi negosiasiku yang berupa doa-doa tidak pernah terwujud hingga kini, karena Mas Danu dan dua belas rekannya termasuk juga pilot dan co pilot tidak dapat ditemukan jasadnya, terkecuali puing-puing pesawat yang sudah tidak jelas lagi bentuknya telah berhasil ditemukan oleh tim SAR.
Jiwaku terguncang, bathinku menolak takdir, air mata sudah tidak lagi menjadi butiran-butiran air, melainkan seperti batu yang membeku. Kedua orangtuaku selalu meyakinkan bahwa ketetapan Allah adalah yang terbaik di dalam takdirku, antara siap dan tidak aku harus menerima kenyataan pahit ini.
Setengah jam sudah aku berdiri di sudut jendela, aku masih menatap bayangan Mas Danu dalam hujan, untuk yang kesekian kalinya rinduku yang telah terpendam begitu lama mulai sedikit terobati. Kembali kutatap langit bersama rintikkan hujannya, suasana makin senyap, tiba-tiba aku teringat sebuah lagu kesukaan aku dan Mas Danu yang berjudul Leaving On A Jet Plane, spontan, bibirku tergerak untuk menyanyikannya;
“So kiss me and smile for me, tell me that you’ll wait for me, hould me like you’ll never let me go, ‘cause I’m leaving on a jet plane, don’t know when I’ll be back again, oh babe, I hate to go”
Cerpen Karangan: Yatie Hasan Albanna Blog: Yatiehasan-albanna.blogspot.co.id Yatie Hasan AlBanna adalah nama pena dari Nurhayati, lahir di Jakarta 17 Februari 1982, saat ini berprofesi sebagai Guru di salah satu SMK Swasta di Jakarta