Takdir itu seperti labirin, berbagai kemungkinan bisa terjadi, arusnya pun tak menentu: manis, pahit, senang, atau pun sedih. Tak ada yang bisa menebak akan kemana Takdir itu berujung.
Kata sebagian orang, Takdir layaknya senja. Ketika petang usai, tak perlu kau tunggu, senja kan datang dengan sendirinya—kepastian yang mutlak.
Begitulah Sang Pencipta melakukannya. Pahit. Kini Takdir membawaku ke arus tersebut. Arus yang begitu kubenci, yang selalu menyeret banyak jiwa ke ambang kehancuran. Meski begitu, tak bisa kusalahkan Takdir begitu saja. Karena malam ini, aku berharap akan kehadiran senja. Namun, mampukah aku melawan arus Takdir?
Orang-orang berpendapat, “Mungkin, inilah yang terbaik,” bahkan beberapa sahabat karibku juga berkata demikian. Walau hati ini terpaksa untuk menerima hingga begitu rapuh di dalamnya. Walau satu-satunya harapan ini dilenyapkan begitu saja oleh Takdir, apakah diri ini mampu membiarkan hal itu terjadi begitu saja?
Apakah ini yang dinamakan TERBAIK? Hah!? Keparat! Omong kosong!
Apa salahnya jika kita berharap, lalu kita berusaha untuk mencapainya? Jika aku menginginkan senja dalam kegelapan malam? Jika selalu berharap di samping orang yang kita cinta? Bukankah manusia berhak untuk bahagia!?
Aku tahu, jodoh sudah ada pada genggaman yang Maha Kuasa—aku percaya akan hal itu. Tapi bukankah hal itu begitu naif? Begitu naif jika kita menyerahkannya begitu saja kepada Tuhan?!
Yang kutahu, jika kita tak berbuat sesuatu, maka tidak akan ada yang terjadi. Apapun itu, tidak akan pernah ada yang berubah. Tetapi ketika wanita itu mengucapkan kata-kata tersebut, aku sadar, memang tak ada satu hal pun yang bisa kulakukan, untuk diri ini, pun dirinya.
Kalau memang Takdir, hal itu pasti akan terjadi. Kita akan bersama, suatu saat nanti.
Begitulah yang wanita itu katakan ketika kucoba untuk menjalin hubungan yang lebih bersamanya. Ketika mencoba untuk memulai mimpi-mimpi yang kubenamkan jauh di dalam lubuk hati; menjalani kehidupan masa depan hingga waktu menggeroti usia; melihat anak-cucu bermain bersama, mewarnai masa-masa kami yang sudah berada di ujung usia.
Namun sayang, mimpi-mimpi itu tak dapat lagi terwujud.
Dia meninggalkanku seorang diri. Ia memilih menjauh, ke tempat yang tak dapat lagi kujangkau. Begitu jauh, hingga hanya jiwa-jiwa tak bernyawa yang dapat berjumpa dengannya. Sedangkan aku? Masih meratapi sisa nafasku kemana ia akan berhembus. Lucy.
Di sinilah aku, memikirkan nama itu sepanjang gelap, membaringkan tubuh di atas rerumputan tajam yang terbentang luas, seluas bintang-bintang yang menyinari pekatnya malam, dipenuhi oleh tatapanku yang tak berarti. Kosong, begitu tak bermakna.
Sesak. Aku kembali terjatuh, jauh ke dalam ambang kegalauan. Semakin dalam terjatuh, semakin sulit aku menggapai nafas. Hingga saatnya tiba ke dasar, mungkin, aku tak pernah kembali ke permukaan. Lalu, akankah aku mendapatkan asa kembali?
Aku mencoba untuk melepaskan, tetapi ada sesuatu hal selalu menghantui pikiran ini. Sesuatu yang selalu membuatku tak bisa bergerak maju dari titik di mana aku berada. Sesuatu yang selalu membuatku mengintip kenangan-kenangan yang masih tersisa. Ya, itulah masa lalu. Ia selalu berkata, “Jangan lepaskan! Atau kamu akan menyesal.”
Rumput menjadi lembab sudah oleh air mataku. Akankah mereka berujung subur, atau tandus karena kepedihan ikut serta bersamanya. Tidak ada yang tahu. Dan aku benar-benar tidak ingin tahu. Biarkan Takdir yang bertindak. Biarkan seisi alam berbicara sesukanya. Karena kutahu, mustahil bagiku melawan arus Takdir.
Oh, bidadariku, kau telah kembali ke kediaman yang sesungguhnya. Tuhan dan para malaikat surga pasti selalu membahagiakanmu di sana. Hingga suatu saat nanti aku datang, kumohon, tunggulah. Semoga ajal cepat menjeputku. Senang pernah menangkap kelopak matamu yang indah.
Berkali-kali kuucapkan. Selamat jalan, Lucy.
Cerpen Karangan: Abbluadam Blog: berbagiceritakata.blogspot.com Hanya seorang penulis amatir.