Aku kembali ke laman instagram Latri, kubuka gambar kami berdua. Aku ingat gambar itu kami abadikan sewaktu kami berlibur ke Karimun Jawa sekitar dua tahun yang lalu. Liburan itu kami lakukan sebagai pertanda ia akan segera melepas masa lajangnya. Ada banyak komentar di gambar itu, salah satunya adalah komentar yang ditulis oleh akun bernama @SamkyaKarnata. Bunyi komentarnya, “sweet”. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang, ingin kulihat laman instagramnya yang aku yakin akan membawaku pada kesakitan yang amat sangat namun aku mengurungkan niatku. “Untuk apa Jingga? Sudahlah”. Aku ingin melindungi hatiku. Lagipula melihat gambar-gambarnya hanya akan menyayat luka hatiku lebih dalam lagi. Aku yang setelah perpisahan kami menjadi amat sangat rapuh. Aku yang setelah perpisahan kami menjadi… kulempar handphone-ku lalu berlari keluar.
Aku memakai sepatu olahraga dan mengambil handuk kecil dari jemuran. “Bu, Jingga ke lapangan”, aku agak mengeraskan suara karena pendengaran ibuku kurang baik akhir-akhir ini. Aku berlari mengitari lapangan dekat rumahku. Berlari dan terus berlari seakan dengan itu maka hilang pula seluruh kenyataan pahit dalam hidupku. Bila benar demikian adanya, maka sakit hati ini tak perlu kupendam lama. Andai benar seperti itu, maka aku tak perlu merasakan kebencian sekaligus ketakutan mendalam terhadap makhluk Tuhan bernama laki-laki.
Aku terhenti, napasku ngos-ngosan. Ada samsak tinju tergantung di pojok lapangan, disediakan bagi siapa saja yang ingin melatih otot lengan. Biasanya beberapa pria bertubuh besar selalu memblokade area samsak ini. Pria-pria bertubuh gempal dengan lengan yang besar, lebih besar dari isi kepalanya sehingga berperilaku arogan dengan tidak mau membayar karcis parkir. Aku pun memanfaatkan kesunyian di pojok samsak itu, kutendang dan kupukul buntalan hitam yang tergantung pasrah. Karena tidak ada perlawanan maka aku jadi semakin beringas memukulinya. Aku melakukannya dalam diam, tanpa suara. Hanya bunyi napas yang menderu tiap kulayangkan pukulan dan tendanganku ke arah samsak itu.
Terseret aku ke dalam kenangan masa lampau. Waktu itu kami ke pantai, aku masih kelas 2 SMA dan dia pun sama. Setelah lama tidak bertemu akhirnya dia menghubungiku di suatu hari dan berjanji akan berkunjung ke kota tempat tinggalku. Janji itupun ditepati dan dia benar-benar datang. “Akhirnya kita bertemu ya”, ujarnya dengan nada gembira. Sementara aku sibuk menutupi wajahku dengan jaket. Aku begitu takut terlihat oleh orang-orang, takut bila nanti ada yang mengadukan pada ibuku. Waktu itu aku tidak diizinkan untuk berpacaran, setidaknya hingga melewati usia 17 tahun. Dia tertawa geli melihat tingkahku sementara aku membalas dengan senyuman. Lalu kami berlarian di pantai berpasir lembut diiringi debur ombak yang memecah kesunyian. Aku berkata, “Berdiri disana, aku mau latihan tinju”. Ia mengangguk dan mengambil posisi kuda-kuda, “Ayo, pukul aku!”, tantangnya. Kami pun larut dalam sore paling indah dan mengakhiri hari dengan menatap senja. Senja yang kelak menjadi pengganti dirinya di hatiku. “Kapan kita bertemu lagi?”, tanyanya. Aku hanya tersenyum sambil menunjuk langit, “Nanti di saat langit berwarna merah”. Ia tersenyum dan memelukku, rasanya waktu itu kami adalah pasangan paling bahagia di dunia.
Suara para pria pemilik arena samsak menyadarkanku dari lamunan. Aku segera pergi meninggalkan samsak yang tergantung dan babak belur menerima pukulan dan tendanganku yang bertubi-tubi. Aku pulang dengan langkah gontai, hari ini menyenangkan sekaligus melelahkan. Aku harus mandi dan bersiap menikmati senja, bertemu dengan kekasihku Suryasta. Ibu menggeleng-gelengkan kepala melihatku yang hanya numpang mandi lalu pergi lagi. “Hati-hati di jalan, Nak”, ujarnya. Aku mencium pipi ibu dan tersenyum, “Iya, Bu”. Lalu aku pun memacu motorku dan pergi ke pantai. Pantai yang pernah aku datangi bersama Samkya. Pantai dimana kami bertemu saat remaja sekaligus pantai dimana kami memutus tali kasih saat beranjak dewasa.
Tiba disana angin seakan menuntunku untuk mengingat kenangan lama. Namun aku memilih untuk mengabaikannya. Aku kesini ingin bertemu dengan Suryasta, bukan untuk meratapi segala ingatan tentang masa laluku bersama Samkya. Rupanya angin tak terima dan ia berhembus lebih keras hingga menyibak rambut ikalku. Aku tetap tak peduli dan duduk di atas pasir. Dengan sabar ku menanti langit terang berubah menjadi lembayung. Suasana magis terasa kala Sang Surya yang bagaikan bola bara perlahan turun lalu menghilang dibalik awan yang perlahan menggiringnya ke balik layar cakrawala. Ia menghilang, sesingkat itulah pertemuan kami.
Bila angin telah menyerah untuk membawaku pada kenangan lama maka kini suara debur ombak yang menyeret ingatanku ke dalam memori terdahulu. Namun kembali kulawan dengan sekuat tenaga. Sudah, jangan ingatkan aku lagi dengannya, cerita kami telah berakhir. Di hatiku kini hanya ada Suryasta, tidak ada nama laki-laki lain terlebih laki-laki di masa lalu. Namun terngiang kembali kata-kata yang dia ucapkan waktu itu, kata-kata yang kujuluki sebagai kata-kata pembunuh. “Jingga, aku telah menemukan orang lain”. Dadaku sesak dan napasku bagai terhenti. Kata-kata itu selalu terngiang di saat yang tak tepat, menyeretku masuk ke dalam jurang paling dalam di alam semesta. Kata-kata yang seketika bisa membuatku kehilangan semangat dan menghancurkan kepercayaan diriku. Sebegitu jahat kata-kata itu hingga aku selalu menangis tiap kali mengingatnya. Dan suara deburan ombak akhirnya berhasil menyeretku ke masa silam.
Hari itu adalah hari kelulusan SMA, aku begitu gembira karena namaku masuk dalam daftar lulus sekaligus daftar nama siswa yang diterima di Perguruan Tinggi pilihanku. Seakan tak puas dengan seluruh kegembiraan yang kurasa, handphoneku berbunyi. Nomor asing yang segera kuketahui adalah nomor wartel. “Halo!”, ujarku bersemangat. “Jingga, aku ada di dekat sekolah kamu.” Menyusullah aku ke wartel tempat ia telah menunggu. Ia muncul dengan baju penuh coretan dan rambut berwarna hijau. Aku tertawa melihatnya, ia menjabat tanganku ketika kukatakan aku lulus seleksi penerimaan mahasiswa baru. “Aku belum tahu mau kuliah dimana, yang jelas kita tidak mungkin satu kampus”, ia berkelakar.
Kami pun pergi ke puncak bukit, disana banyak murid dari sekolah lain sedang berkonvoi merayakan kelulusan. Sepanjang jalan kami tertawa tanpa memedulikan jalanan yang macet, sinar matahari yang terik, dan pekatnya asap kendaraan. Hanya karena kami dapat bertemu, itu saja sudah merupakan alasan utama kegembiraan dan kebahagiaan kami hari itu. Hanya itu saja yang mau kukenang. Sisanya aku tak mau ingat lagi, meski semua muncul lewat potongan-potongan adegan seperti tempat kerjanya di dekat kampusku, rumah indekos yang awalnya masing-masing namun perlahan melebur menjadi satu. Wisudaku yang dihadiri olehnya sekaligus perkenalannya untuk pertama kali dengan ibuku. Kepindahannya ke kota tempat tinggalku karena aku tak tega meninggalkan ibuku selepas meraih gelar sarjana sehingga ia yang rela berpindah kerja. Motornya yang selalu mengantarku ke tempat kerjaku hingga terakhir di hari itu, hari dimana ia mengatakan kata-kata penuh racun yang membuat jiwaku wafat.
“Tidaaaaaaaaakkkkkkkkkkk!!!!” aku berteriak. Kencang, kencang sekali. Beberapa orang menoleh ke arahku, beberapa tidak memedulikanku. Nafasku terengah-engah, kepalaku terasa berat. Kebencian ini, kekecewaan ini, penyesalan ini. Semua bagaikan algojo yang siap memenggal kepalaku kapan saja. Aku sudah mati, semua yang ada di dalam diriku mati. Jiwaku, hasratku, rasaku, cintaku, semua telah padam. Hanya tubuhku saja yang hidup, itupun mungkin karena terpaksa dihidupkan oleh Yang Kuasa mengikuti jalan umur yang masih tersisa. Sejak hari itu aku bahkan tak ingat kapan terakhir aku tertawa, sejak hari itu bahkan untuk melihat mata seorang laki-laki pun aku tak bisa. Hari naas dimana tubuhku terasa kembali suci karena tak ada lagi yang menyentuh, mencumbu bahkan hanya sekedar memandang. Suryasta telah pergi, ia terbenam kemudian menghilang berganti malam.
Pertemuan kami selalu singkat, karena ia begitu sibuk. Ia berpindah dari satu belahan dunia ke belahan dunia lainnya. Aku yakin ia tak setia, ia selalu punya kekasih di belahan bumi manapun. Namun karena cintaku padanya memerdekakan, tak mengikat terlebih menjerat, maka kurelakan saja ia dicintai wanita lain. Toh kami sama-sama tak dapat merengkuh apalagi meraih Suryasta dalam pelukan. Bicara pelukan langkahku terhenti. Padahal motorku terparkir masih jauh dari tempatku berdiri saat ini. Senja telah berganti malam, dingin angin pantai mencoba menusukku dalam, namun ada semacam kehangatan alami dari balik kulitku sehingga alobar sekalipun tak akan mampu memporak-porandakan apa yang tersimpan di dalamnya. Kehangatan alami yang terbentuk dari pelukan demi pelukan yang selalu ia berikan selama dua belas tahun kebersamaan kami.
Satu dekade lebih kami bersama, jarak dan waktu pun bungkam selama itu karena menyerah melihat api cinta kami yang membara. Apa yang ada dibalik genangan rupanya telah kubaca seluruhnya, begitu juga dengannya. Aku sempat terbuai mimpi bahwa dia adalah lelakiku satu-satunya. Bahwa selamanya kami akan bersama, seperti yang pernah ia goretkan di pohon akasia di depan kolam renang. Terseret lagi aku ke masa itu, saat aku libur semester dan dia libur ditempatnya bekerja.
“Jingga kita berenang yuk!” ia mengajakku. Waktu itu kami belum memutuskan untuk tinggal dibawah atap yang sama. “Kamu libur?” tanyaku. Dia mengiyakan. Demi aku ia mencari kerja yang lokasinya dekat kampusku berada. Ia bilang ia tidak ingin melanjutkan kuliah, ia ingin bekerja saja. Aku pun setuju-setuju saja, karena sungguh aku mencintainya seutuhnya, tulus tanpa menuntut apapun darinya. Sama seperti cintaku kini pada Suryasta. Entah ia muncul, atau terhalang gumpalan awan hitam, ataupun ia muncul sesaat kemudian menghilang, apapun itu aku tetap mencintainya.
Kembali aku dibawa ke masa itu, selesai berenang kami berjalan menuju motornya yang terparkir dibawah pohon akasia. Ia mengambil obeng dari bawah jok motornya, “Lihatlah, apa yang aku tulis”, ia berkata sambil menggoret nama kami. Jingga Love Samkya, 2006 – forever. Aku sebenarnya agak keberatan ia melakukan itu, terlebih saat kulihat kulit pohon yang terkelupas karenanya. Aku meminta maaf pada pohon akasia itu, namun aku yakin pohon itu pun tahu betapa bahagianya aku membaca tulisan yang tergoret di batangnya. Tak ada yang lebih berharga selain ketika mengetahui orang yang kita cintai juga mencintai kita sama besarnya. Dan ia masih mencintaiku amat sangat besar hingga di hari eksekusi itu, hari dimana ia mengatakan kata-kata untuk membunuhku, “Jingga, aku telah menemukan orang lain”. Tanpa sadar helm di tanganku kulempar jauh, air mataku berderai. Tukang parkir membantuku mengambilkan helmku yang terguling lumayan jauh dari lokasiku berdiri. Dari ekspresinya ia menunjukkan ketakutan untuk sekedar bertanya apa yang terjadi denganku. Entah itu ketakutan atau hanya sebatas keseganan, aku tak tahu.
Segera kubayar karcis parkir dan kulesatkan motorku di jalanan berbatu. Betapa ku malu pada diriku, bahkan setelah lima tahun berlalu aku belum juga mampu melupakannya. Lima tahun yang sebenarnya bisa aku manfaatkan untuk mencari penggantinya sama seperti dirinya yang memanfaatkan waktu dua belas tahun kebersamaan kami untuk mencari cinta lainnya. Lainnya… orang lain… lain… Jingga aku telah menemukan orang lain… kepalaku terasa pusing sekali. Aku tak ingat apa-apa lagi selain kepala yang berputar dan motor yang hilang kendali. Samar-samar aku mengingat kembali apa yang terjadi petang tadi, laju motorku limbung dan seketika sebuah mobil yang juga berlari kencang menerobos masuk dari arah berlawanan, semua tak bisa kuhindari dan terjadi begitu cepat.
Ketika kubuka mata, aku sudah berada di rumah sakit ini. Entah kebetulan atau bagaimana tapi lokasi kecelakaanku rupanya berada tak jauh dari sebuah rumah sakit. Kecelakaan, ya rupanya aku kecelakaan. “Jingga kamu tenang saja Nak, ibu sedang menuju kesana bersama Om Yanto dan Om Harto”, bergetar dan bercampur isak tangis, seperti itulah reaksi ibuku saat kuhubungi. Padahal telah kucoba berbicara sesantai mungkin di telepon. Kakiku, oh kakiku yang malang. Aku bahkan tak bisa merasakannya. Aku mati rasa. Apa kakiku diamputasi? Aku bahkan tak bertanya sedikitpun pada para perawat yang hilir mudik disekelilingku, ya aku tahu mereka amat sibuk. Jadi kubiarkan saja mereka melaksanakan tugas mereka.
Samar-samar kulihat kakiku merah menyala bersimbah darah. Kulihat sekali lagi rupanya kaki kiriku terluka seperti sayatan ikan fillet. Kakiku tersayat, urat syaraf dan otot kaki terputus dan luka kakiku menganga, jari-jariku tidak bisa digerakkan, oh ini sebabnya aku tak bisa merasakan kakiku. Bukan diamputasi Jingga, tenang saja. Aku sempat-sempatnya bergurau pada diriku sendiri. Lalu satu diantara perawat yang lalu lalang itu, menghampiriku dan aahhh! betapa perihnya ketika kakiku disiram dengan sejenis cairan, rupanya perawat itu tidak menutup aliran darahku, kakiku hanya dibalutnya dengan kasa perban. “Dasar sembarangan!” aku mengumpat. Perawat itu mendelik ke arahku. Ternyata luka kakiku cukup parah bahkan amat sangat parah sehingga darah terus saja mengalir keluar hingga membasahi kasur dan bantal yang diletakkan di bawah kakiku. Darahku terus keluar dan terjun bebas ke lantai. Aku rasa aku bisa kehabisan darah lama kelamaan.
Cerpen Karangan: Safitri Saraswati Blog / Facebook: facebook.com/igasafitrisaraswati Kelahiran Denpasar, 17 Juni 1989. Menulis puisi dan artikel. Puisi-puisi saya dimuat dalam antologi Puisi – makna dalam kata (Nahlu Media, 2017), Puisi Untuk Rohingya (2017), dan Mengunyah Geram Melawan Korupsi (2017). Aktif menulis artikel untuk portal kamantara.id