Perawat berbeda memeriksa tekanan darahku lalu ia juga mengambil darahku, ia mengatakan untuk mengecek kadar HB yang entah maksudnya apa. Kemudian aku dibawa ke ruang rontgen, untuk melihat kondisi lukaku. Aku rasakan tubuhku semakin lemah, ingatan dan pandanganku mulai hilang timbul tapi aku terus berusaha untuk tetap bertahan dan bersabar. Luka ini tidak ada apa-apanya dibanding luka batinku yang kusimpan selama ini. Luka yang dibuat olehnya. Sialan! Kenapa dia bertindak bagai seorang adikara? Datang dan pergi dalam pikiranku sesuka hati, dalam saat-saat apapun hanya ada dia dan dia. Mengapa? Lalu kudengar ibuku datang dan sudah tentu ia menjerit dengan histeris. Aku juga bisa mendengar suara kedua pamanku yang coba menenangkannya. Tapi tetap saja mereka tidak diizinkan untuk berlama-lama menemuiku di dalam ruangan ICU dengan alasan aku akan segera dibawa ke ruangan operasi.
Setelah dirontgen, aku dibawa ke ruangan IRD lalu kudengar kabar rupanya dokter bedah yang akan mengoperasiku baru bisa datang beberapa jam lagi. Aku pun terus berusaha untuk bertahan walaupun aku merasakan rasa haus yang luar biasa, tapi perawat bilang aku tidak diperbolehkan untuk minum karena akan dioperasi. Aku menggigil, aku sangat kedinginan. Mungkin karena saking banyaknya darah yang keluar. Dingin ini adalah dingin yang nyaris sama saat dia memelukku di bawah langit Kintamani.
Pagi itu kami melihat matahari terbit, berjalan kami mendaki Gunung Batur, menapaki Ibu pertiwi bernaungkan Ayah langit. Semesta masih buta kala itu, belum tercerahkan oleh sinar Sang Surya. Dan kami, berjalan beriringan mengejar hari agar sampai di puncak tepat waktu. Kulihat arloji tahan air yang melingkar di pergelangan tangan kananku, arloji itu menunjukkan pukul 5.04 dan kami sudah berada di puncak. Cahaya keemasan dari ufuk timur menyinari tubuh kami yang bersimbah rindu. Tak kami pedulikan orang-orang yang bercampur tanpa embel-embel bangsa apalagi agama yang tumpah ruah memadati area sunrise point. Mereka disana untuk satu tujuan, mencecap indahnya matahari terbit di atas Gunung Batur. Sementara kami, kesana atas nama cinta. Dia merangkul pundakku, dan membisikkan kata-kata mesra. Bersama kami menyaksikan Sang Surya memulai ceritanya di hari itu. Sang Surya yang bulat dan penuh cahaya, tak cemburukah Samkya padanya? Tak tahukah ia bahwa kelak saat ia meninggalkanku, Sang Suryalah yang menjadi pengganti dirinya di hatiku.
Darahku masih saja mengalir, menyadarkan aku dari lamunan. Tapi aku kembali lagi ke dalam dunia itu, dunia masa lalu. Aku menggeleng, tidak ia tidak akan tahu bahwa keberadaannya di hatiku saat ini telah digantikan oleh Sang Surya dikala senja yang kunamai Suryasta. Luka kakiku dibersihkan oleh dokter jaga, tanpa obat bius ia mengorek sayatan itu dan rasanya benar-benar sakit bahkan aku mulai berpikir inilah saat yang paling menyakitkan dalam hidupku, namun setelah kupikir lagi rasa sakit ini tetaplah tak sebanding dengan rasa sakit ketika mendengar kata-kata penuh racun itu. Ya Tuhan, bahkan saat kakiku terluka parah aku masih sempat-sempatnya mengingat semua cerita masa laluku. “Dasar otak payah!” aku meracau tak karuan.
Waktu hampir menunjukkan pukul 22.00, aku masih di ruang IRD sementara ibu dan kedua pamanku menungguiku sambil berharap cemas. Lalu aku dengar dokter bedah dan dokter anestesi sudah datang. Ya saat itu aku lebih mampu mendengar daripada melihat karena pandanganku sudah semakin gelap, suaraku pun sudah semakin hilang dan blaassss! saat itu rupanya aku pingsan, tak sadarkan diri. Dokter dan perawat panik, terlebih ibu dan kedua pamanku. Oksigen yang menempel di kedua lubang hidungku digerak-gerakkan, tekanan darahku hanya 50/40, HB ku tinggal 6. Dan aku ada disana, saat ini. Di sebuah pulau sunyi yang kucapai bersamanya setelah perjalanan melelahkan yang kami tempuh nyaris lima jam lewat laut.
Saat itu kami membelah selat Lombok dari Padang Bai, dengan motor milik Bli Made yang kami sewa tanpa imbalan. Motor itu kami bawa masuk ke dalam lambung kapal feri bernama Dharma Kosala. Tiba di Pelabuhan Lembar dia sempoyongan. Kekasihku yang malang rupanya mabuk laut. Aku tertawa dan mengambil alih kemudi motor. Tanpa peduli waktu dan aroma tubuh yang pengap kami seberangi jalanan rindang kota Mataram, melaju di tanjakan tajam Senggigi dan kagumi pantainya. Motor itu kami titipkan di Pelabuhan Bangsal. Entah apa yang akan dikatakan Bli Made bila tahu motornya berpindah pulau, karena sepengetahuannya kami sedang berada di Ubud. Ya, kami memang berada di Ubud, namun hanya dua malam saja. Kami menikmati kayuhan demi kayuhan sepeda yang kami sewa dengan harga tiga puluh ribu rupiah dan bersepeda melewati hutan penuh monyet dan manusia.
Aku samar-samar mulai mendengar suara, walaupun mataku belum bisa kubuka. Dokter memberiku air gula yang sangat manis, katanya untuk menaikkan kadar gulaku. Tapi rasa manis dari air gula ini tak sedikitpun bisa menghempas kepahitan hidupku setelah mendengar kata-kata maut itu. “Stop!!!” Dokter terhenyak, ia mengira aku tak mengizinkannya mendekat. “Anda baik-baik saja?” tanyanya. Aku mengangguk pelan, entah berapa malu yang harus aku tanggung akibat sikap adikaranya itu! Dokter pun memutuskan bahwa aku tidak jadi dioperasi malam ini, berulangkali ia mengatakan “live saving – live saving” bahwa nyawaku yang harus diselamatkan terlebih dahulu. Dokter itu pun mengganti pembalut kakiku dengan perban elastis, ini lebih bisa menahan aliran darah walaupun rembesannya masih tetap ada. Karena kondisiku yang belum stabil, perawatanku pun kembali dipindah ke ruang ICU. Dokter Bedah dan Dokter Anestesi turut mengantarkan aku ke ruang ICU, mereka terlihat sangat ketakutan. Mungkin mereka takut bila nyawaku hilang saat mereka bertugas. Padahal ini hanya luka di kaki, ingin sekali aku bertanya apa aku akan mati bila luka hati ini kuidap dua tahun lagi? Tapi sungguh aku tak mau menanggung malu lebih dalam lagi. Luka hati juga beban masa lalu ini benar-benar membunuhku. Tak hanya membunuh secara batin namun fisikku pun lama kelamaan digerogotinya habis. Aku benar-benar tak menyangka sebegitu hebatnya duka yang ditinggalkan oleh perpisahanku dengannya. Namun sayang seribu sayang duka ini hanya aku yang menanggungnya, sendiri. Sementara dia, mereguk ribuan suka bersama cinta lainnya.
Ini benar-benar pengalaman pertamaku dirawat di ruang ICU. Bila selama ini aku hanya melihat orang yang dirawat dengan berbagai selang menempel di badan melalui layar televisi, kali ini aku merasakan hal yang benar-benar nyata. Tubuhku ditempeli berbagai selang, mulai dari selang oksigen hingga selang dan kabel untuk deteksi detak jantung. Ada juga selang kateter, labu transfusi darah, dua botol cairan infus, dan selang terbesar untuk pemanas tubuh. Benar-benar aku tidak bisa bergerak. Dan malam ini adalah malam pertamaku di Rumah Sakit ini, sungguh sangat berbeda dengan malam yang aku habiskan bersamanya di Gili Meno. Kami bercumbu dibawah pendaran sinar kejora. Selalu ia mampu membuatku luluh dengan kata-kata mesra yang memabukkan. Tidak ada signal di pulau itu, jadi tak ada satu bunyi deringan pun yang menjeda kemasyukan kami. Kami terjaga semalaman, kami sama-sama tak dapat memejamkan mata sedetik pun. Namun yang berbeda adalah dia tak ada. Ibu dan kedua pamanku menunggu diluar. Mereka pasti telah diberitahu bahwa operasiku akan dilangsungkan esok pagi. Perawat memintaku untuk tidur, tapi aku benar-benar tidak bisa memejamkan mata. Aku masih merasakan kedinginan, kakiku yang sakit dan tidak bisa digerakkan, kesadaranku yang belum pulih benar, dan bayang-bayang masa lalu yang terus merajang. Sepanjang malam aku berdoa, aku juga memikirkan ibu dan kedua pamanku yang masih menunggu diluar. Dan entah mengapa disaat seperti ini betapa aku ingin tidur dipelukan ibuku, padahal dikala sehat jangankan tidur berpelukan dengannya bahkan saat ia masuk ke kamarku saja aku akan sewot bukan kepalang. Maafkan aku ibu, tanpa terasa bulir-bulir air mataku berjatuhan. Aku juga berdoa sambil menyebut nama mendiang ayahku, semoga beliau juga memberkatiku dari surga dan menolongku agar tetap kuat menghadapi rasa sakit ini, juga rasa sakit akibat masa lalu yang tak juga kunjung berdamai denganku. Entah apa yang akan dikatakan ayah seandainya beliau masih hidup dan berdiri di sebelahku. Apakah ia akan marah atau hanya menggeleng-gelengkan kepala melihatku.
Keesokan paginya aku bersiap untuk dioperasi. Karena menurut dokter banyak syaraf kakiku yang putus, pembuluh arteriku juga putus dan otot-otot kakiku terlepas namun aku harus bersyukur karena tulang kakiku tidak ada yang patah.
Pukul 10.00 aku dibawa ke ruang operasi, dokter anestesi pun mulai menyuntikkan obat bius ke punggungku. Aku diminta untuk melengkungkan badan, lamat-lamat aku pun mulai hilang kesadaran sampai akhirnya aku tidak ingat apa-apa lagi selain saat aku melengkungkan badan. Itu sama persis seperti yang kulakukan waktu itu di Amed. Aku beryoga, di bawah sinar bulan diantara pohon-pohon kelapa. Dia tidak ikut, dia menungguku di luar sambil mengobrol dengan penjaga studio dan beberapa pemuda yang memberinya sebotol minuman putih yang mereka sebut arak. Pukul 13.00 aku terbangun. Operasiku hampir selesai, setengah jam kemudian operasiku benar-benar selesai. Dan ketika sesi yoga waktu itu selesai, dia mabuk. Bukan mabuk cinta atau mabuk kepayang tapi mabuk minuman. Seorang laki-laki tegap berkulit legam membantuku untuk memapahnya ke penginapan kami. Sungguh tak satupun terbesit amarahku melihatnya begitu. Itulah cinta, ia selalu membebaskan, ia selalu memaafkan.
Aku dibawa kembali ke ruang perawatan, masih di ruang ICU hingga kondisiku stabil. Aku bahkan tidak diperbolehkan bangun selama 24 jam, jika aku penat atau bosan maka aku hanya boleh memiringkan badanku. 24 jam yang menyiksa terlebih dengan kelebat ingatan-ingatan kurang ajar yang selalu lalu lalang tanpa permisi. Untuk sekedar mengambil minum di meja sebelahku pun aku tidak bisa, sementara aku tidak terbiasa dilayani karena rasanya tidak enak menyusahkan orang lain. Begitulah aku yang kadang membuat orang-orang di sekitarku gemas. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak mungkin dapat mengerjakan segala hal sendiri, itu yang kubaca dari buku Pendidikan Moral Pancasila yang kutemukan di rak usang perpustakaan sekolahku. Yang selalu kubaca bila belum ada koleksi komik terbaru di perpustakaan. Aku tak mengerti mengapa aku begitu berminat untuk membaca, apapun itu.
Selama 2 hari aku berada di ruang ICU, setelah aku agak pulih aku pun dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Total selama 8 hari aku dirawat di rumah sakit ini. Aku begitu merindukan ruang kerjaku, rekan-rekanku, dan juga kamarku. Maka dari itu setelah semua selang yang membelit tubuhku bagai gurita dilepas dan pembalut kakiku diganti, aku memaksa dokter agar mengizinkanku melakukan rawat jalan. Dan akhirnya aku diizinkan pulang dengan syarat aku tidak boleh turun dari tempat tidur. Dan selama 2 minggu aku harus bed rest. Aku amat sangat pasrah saat mengabari pimpinanku di tempat kerja namun ternyata ia tidak sejahat yang kusangka. “I really admire how you are handling this. I know it’s difficult. That’s fine enjoy your resting time”, begitu ucapnya.
Kakiku boleh turun dari tempat tidur namun belum bisa menapak, segala kegiatanku dibantu dengan kursi roda. Setelah itu aku belajar jalan dengan dibantu dua tongkat dan selanjutnya dibantu dengan satu tongkat hingga akhirnya sekarang aku sudah bisa berjalan normal. Walaupun belum pulih seratus persen namun bila terlalu banyak berjalan dan membawa beban agak banyak, kakiku akan terasa sakit. Aku tertegun, begitu besar perjuanganku mengatasi luka di kaki, dan aku tak perlu waktu hingga berbulan-bulan untuk mencapai kesembuhan. Namun mengapa rasanya butuh waktu seumur hidup untuk mengobati luka di hatiku?
Cerpen Karangan: Safitri Saraswati Blog / Facebook: facebook.com/igasafitrisaraswati Kelahiran Denpasar, 17 Juni 1989. Menulis puisi dan artikel. Puisi-puisi saya dimuat dalam antologi Puisi – makna dalam kata (Nahlu Media, 2017), Puisi Untuk Rohingya (2017), dan Mengunyah Geram Melawan Korupsi (2017). Aktif menulis artikel untuk portal kamantara.id