Rekan kerjaku di kantor datang menjenguk, juga teman-teman lain yang kutahu memiliki simpati yang begitu besar dan tulus. Sulatri alias Latri juga menyempatkan diri untuk datang, ia marah-marah karena aku baru mengabarinya setelah aku pulang ke rumah. “Kenapa kamu tidak update status, kan aku bisa langsung datang saat kejadian itu”, ia meracau. Anaknya tampak begitu lucu dan terus menatapku sambil tertawa. Aku juga tertawa menanggapi kata-katanya, “Sudahlah, untuk apa aku update status segala! Indonesia tidak perlu tahu bahwa satu warganya sedang terluka”, aku menjawab sekenanya. Suami Latri tertawa, aku tahu dia pasti amat sangat memahami bahwa kadang emosi istrinya meledak-ledak. Latri sekarang tidak ada bedanya dengan Latri yang dulu, berbeda dengan Samkya yang amat sangat berubah setelah mengenal cinta lain selain cintaku. Sudahlah, aku tak mau terseret lagi. Di hadapanku kini ada Latri dan keluarganya. Latri yang kukenal ketika aku masih belia. Kami bersahabat lekat dan akrab. Rumah kami bertetangga, rumah lamaku. Kami berteman sejak duduk di bangku sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama. Kami bersekolah di sekolah yang sama selama sembilan tahun. Latri dan aku telah menjalin persahabatan yang indah..
Ketika di taman kanak-kanak aku belum begitu mengenalnya karena seingatku ia sangat pemalu. Selama masa sekolah kami selalu bersama, membuat tugas bersama, menonton drama Taiwan tentang seorang wanita bersama 4 pria tampan, menonton telenovela juga film india dan nyanyikan lagu-lagunya bersama, hingga mengidolakan para peserta ajang pencarian bakat yang begitu heboh di masa itu. Ketika mengetahui hubunganku dengan Samkya ia sempat melongo tak percaya. “Jingga kamu yakin? Aku kira kamu sukanya sama Randy”, katanya waktu itu. Aku hanya tersenyum sambil menyembunyikan wajah di balik bantal. Hari itu adalah hari dimana aku menjawab pertanyaan Samkya tentang apakah aku mau berpacaran dengannya. Dan aku menjawab “Ya’. Samkya begitu gembira hari itu, ia tersenyum sementara aku bingung antara ikut membalas senyumnya atau hanya terdiam tanpa kata karena aku merasa sangat malu.
Hujan turun kala itu dan kami berteduh di kantin sekolah. Aku bahkan tak berani menatap matanya, aku rasa dia pun sama. Latri yang ketika itu belum memiliki pacar terus saja menanyakan pertanyaan yang sama padaku, “Bagaimana rasanya pacaran?”. Aku hanya tertawa mendengar pertanyaannya.
“Jingga cheese…”. Aku terhenyak mendengar suara cempreng itu, lamunanku buyar seketika. Tiba-tiba Latri mengarahkan telepon genggamnya ke arah kami berdua dan mengambil gambar. Aku hanya tersenyum sekenanya, pastilah wajahku amat pucat. Tak lama berselang handphoneku berbunyi, pastilah ia men-tag-ku di instagram. Aku tidak memiliki media social lain selain instagram. Facebook, Path, Snapchat, apapun itu aku tidak punya. Aku anti sosial. Tapi aku punya whatsapp yang terinstal di handphoneku yang berlambang buah tergigit seri 6. Aku berencana menambah serinya namun aku belum menemukan alasan yang tepat untuk melakukannya. Aku berharap ia terbanting atau meledak dengan sendirinya sehingga alasan itu tercipta. Aku mendengus, seharusnya aku bersyukur bahwa telepon genggamku baik-baik saja setelah kecelakaan kemarin. Andai saja handphone-ku hancur atau dicuri orang, pastilah amat sangat merepotkan. Tapi aku pikir itu bukan masalah bahkan bila benda itu hilang ditelan bumi sekalipun karena aku selalu ingat kata sandi akun instagram dan whatsappku. Kata sandi itu adalah tanggal lahirku, sesederhana itu.
“Jingga..”, suara Latri terdengar berbeda. Tanpa menyahut aku yakin ia telah mengerti bahwa tatapan mataku berarti, “Ya, ada apa?”. Latri tak berkata apa-apa, ia malah melirik suaminya yang tengah menggendong Gea yang terlelap dengan raut wajah menggemaskan. Aku menjadi penasaran, kuperbaiki posisi baringku. Latri masih diam bahkan bernapas pun mungkin tidak. Terlihat dari raut wajahnya ia didera dilema yang luar biasa. “Jingga, dia message aku”, ujar Latri dengan suara bergetar. Begitulah sahabatku, ia tak akan sanggup berbohong apalagi denganku. Tapi sesungguhnya ia selalu begitu kepada semua orang, maka beruntunglah Fadli, suaminya. Aku menelan ludah dan balik membisu. Diam semua diam, suasana mendadak sunyi tanpa suara. Kedua kupingku perlahan terasa pengap dan hampa udara.
Ia mulai membacakan pesan yang dikirim Samkya untuknya. Latri, dia kenapa? Aku ingin bertemu dengan dia, menurutmu bagaimana jika aku ke rumahnya. Aku terhuyung mendengar kata-kata yang dibacakan Latri. Jantungku seperti mau meledak, seluruh darahku terasa membuncah keluar dan buatku jadi kerangka kosong dengan hanya urat dan daging menempel diatasnya. Samar-samar kulihat Latri menghampiriku, mengguncang tubuhku dan aku tidak ingat apa-apa lagi. Sempat kudengar suaranya, “Jingga, kamu tidak apa-apa?”. Tapi ternyata itu bukan suara Latri, itu suara laki-laki. Rupanya aku terlempar lagi ke masa silam, masa dimana aku mendengar suara yang amat menyenangkan karena selalu membuatku semangat apapun yang terjadi dalam hidupku. Terdengar bunyi mesin kapal dan tercium aroma garam. Kami sedang ber-snorkling di Gili Trawangan. Kakiku mendadak kram, dengan sigap ia meraihku dan menuntunku berenang ke kapal bottom glass yang kami tumpangi.
Tur itu cukup murah, hanya dengan membayar seratus ribu rupiah kami dibawa menjelajahi tiga spot terbaik dengan pemandangan bawah laut yang eksotik. Kami berbincang sangat akrab dengan pemilik kapal di malam beach party dan dia memberi kami harga khusus juga sewa sepeda gratis karena aku membantu menerjemahkan brosur wisatanya ke dalam bahasa spanyol. Selesai snorkeling kami minum beer dan menikmati senja, senja yang tanpa kuketahui akan menerima isak tangisku di masa mendatang karena ditinggalkannya.
“Jingga… bangun”, alunan suara itu kini berubah, aku amat mengenalnya dan benar saja itu suara Latri. Ia terisak sambil mengusap dahiku lalu memelukku, “Jingga maafkan aku”. Kepalaku bertambah berat seakan disanalah seluruh pusat rasa sakit yang kualami, fisik maupun batin. “Sepertinya kamu perlu istirahat total dan tidak menerima kunjungan, kami pulang dulu ya”, Fadli menyerahkan Gea yang sudah bangun kepada ibunya. Latri masih terisak, aku tahu ia tak tega meninggalkan aku sendiri. Tapi aku berkata, “Ya, sebaiknya begitu. Nanti aku hubungi kamu Latri. Terima kasih sudah datang”. Aku melambaikan tangan dengan lemah pada mereka bertiga. Kudengar langkah kaki mereka bertiga telah sampai di teras depan dan kudengar suara mereka berpamitan pada ibuku. Semoga ibuku dapat mendengar dengan jelas dan bukannya malah menyambut mereka layaknya tamu yang baru datang karena belakangan penyakit pikun ibuku semakin parah. Tapi ia tidak lupa dengan keadaanku, ia berjalan pelan dan menutup pintu kamarku, dipikirnya aku sedang tidur karena wajahku aku tutupi dengan selimut.
Pintu berderak pelan saat ditutup dan suaranya kembali mengingatkanku pada kenangan lama. itu juga suara yang sama, suara pintu yang ditutup perlahan. Suara pintu penginapan kami, ia mengunci pintu lalu segera berbaring di sebelahku. Dipeluknya tubuhku erat hingga pagi menjelang. Esok harinya penjaga penginapan membawakan sarapan kami. Dua piring pancake nanas dengan dua cangkir kopi hitam pekat yang masih menyisakan bekas adukan. “Aku tidak bisa tidur tadi malam”, ujarnya sambil menyiram madu ke atas pancake. Rupanya ada madu yang melekat di jarinya, lalu ia bawa madu itu ke bibirku. “Kenapa?”, tanyaku sambil mencecap manisnya madu Sumbawa. “Aku memandangi wajahmu sampai pagi”. Aku hampir menyemburkan kopi yang kuminum, lalu aku memberi isyarat padanya untuk menyelesaikan makan terlebih dahulu lalu melanjutkan perbincangan. Ia hanya tersenyum dan menggelengkan kepala, begitulah kami. Kami yang saling mengisi dan benar-benar menyatu. Namun yang menyatu belum tentu selamanya akan bersatu, kadang perpisahan menjadi sesuatu hal yang tak dapat dielakkan kala salah satu tidak ingin bersama.
“Jingga, bersihkan badanmu dulu Sayang. Kenapa kamu menangis?”. Suara ibu mengembalikan jiwaku pada saat ini. Aku memeluk ibu dan menangis terisak. Ibuku bingung, tapi ia tak banyak bertanya karena ia tahu yang kubutuhkan hanya pelukan. Ibu mungkin aku akan tinggal bersama ibu hingga nanti. Aku tak ingin lagi merasakan cinta, benar-benar tidak mau lagi.
Aku begitu bosan di kamar, sudah hampir satu bulan aku di rumah. Bila lewat satu bulan dan aku belum kembali bekerja aku yakin aku akan kehilangan pekerjaanku, meskipun pekerjaan itu telah lama memberikanku nafkah. “Jingga, mau jalan-jalan ke depan?”, ibuku berkata sambil merapikan rambutku. Aku sudah bisa berjalan tanpa tongkat sekarang, hanya aku belum bisa berlari. Dan aku berjanji untuk kembali bekerja satu minggu lagi, jadi ibu benar aku harus sering melatih kakiku.
Aku berjalan pelan menuju teras depan, kucoba melangkah dengan ritme yang lebih cepat, aku tersenyum membayangkan hari di sekolah. Sekolah SMP yang entah kenapa berkelebat dalam ingatan. Aku kembali ke masa itu, masa dimana pelajaran tentang mencangkok berakhir dan aku keluar kelas dengan langkah gontai. “Jingga”. Aku masih merasakan diriku ada di dalam ingatan masa lalu, ya waktu aku ke luar kelas di masa itu dia memang mencegat langkahku dengan suaranya yang beralih dari suara anak-anak menjadi suara dewasa. Dan ketika aku berbalik aku benar-benar terkejut, ternyata lamunanku sekarang bertambah nyata. Tapi ia tidak nampak seperti seorang murid SMP. Ia tampak seperti seusiaku sekarang, dengan rambut lebih pendek dan kumis yang menghiasi wajahnya. Dia tampak jauh berbeda dengan dia di masa silam ketika mengejarku ke perpustakaan, amat jauh berbeda dengan dia yang datang menjemputku ketika kelulusan dengan rambut hijau, juga lebih jauh berbeda dengan dia sewaktu mengatakan kata-kata pencabut nyawa. Kali ini jantungku yang berdegup kencang, napasku tak beraturan dan bibirku megap-megap. Aku terkulai lemas dan seperti biasa ia menangkapku dengan dua lengan kekar yang telah lama tak menyentuhku. Aku merasakan handuk hangat diusapkan ke wajahku. Aku tahu itu usapan tangan ibuku. Aku begitu mengenal alunan merdu sentuhannya. Dan suara itu, aku bisa mendengar walau belum membuka mata.
“Sebaiknya saya biarkan Jingga beristirahat, mungkin dia masih lemah”. Ibuku menjawab, “Iya Samkya, tapi terima kasih kamu mau datang. Mungkin dia masih perlu istirahat beberapa hari lagi, dokter bilang karena saraf kakinya banyak terputus jadi itu berpengaruh pada keseimbangannya”. Aku agak gemas mendengar nada bicara ibuku, pasti pikunnya kumat lagi. Apakah ia lupa ia juga marah-marah saat berbicara kepada Samkya lewat sambungan telepon setelah tahu aku tidak makan berhari-hari setelah ditinggalkan olehnya begitu saja? Apakah rentang waktu lima tahun membuat ibuku lupa dan akhirnya bersikap ramah padanya? Lima tahun yang lama bagi ibuku namun tetap terasa baru kemarin bagiku. Bulir demi bulir air mataku berjatuhan, kudengar ia telah menghidupkan motornya dan pergi. Untuk apa dia kesini? Untuk apa mencariku lagi.
“Jingga sebenarnya waktu dia kirim pesan ke aku dia bilang dia mau jenguk kamu ke rumah tapi karena waktu itu kamu pingsan aku tidak berani mengatakannya aku sudah menyangka dia akan datang ke rumahmu karena dia bilang dia sudah putus dari pacarnya itu”, Latri berkata bagai kereta api, tanpa jeda. Aku tak menjawab, aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Jadi ia telah meninggalkan kekasih barunya? Atau ia ditinggalkan? Sudahlah, itu bukan urusanku. “Dia bertanya nomor teleponmu tapi aku tidak berani memberikan aku bilang nanti aku tanya pada Jingga ya boleh aku berikan atau tidak eehh dia sudah datang ke sana ya”. Lagi Latri berceloteh tanpa bisa kuhentikan. Aku hanya berdehem, belum kuangkat bicara ibuku datang bersama seorang laki-laki. Dia datang lagi. “Latri aku telepon kamu lagi nanti”, aku menutup telepon meskipun masih terdengar suara Latri di seberang sana.
“Hai Tuan Putri”, ia berkata sambil tersenyum, diberikannya sebuah buket bunga mawar kesukaanku. Dia selalu melakukannya di setiap hari jadiku. Ia akan memanggilku tuan putri dan memanjakanku. Bila di masa silam aku akan memeluknya erat dan tersenyum bahagia. Tapi hari ini seluruh anggota tubuhku kaku, juga bibirku. Tak sedikitpun senyumku tersungging untuknya. “Jingga, aku tahu kamu amat sangat marah padaku. Aku tahu aku adalah pendosa paling besar di dunia. Jingga, aku tahu ribuan kata maaf tidak akan cukup untuk menebus kesalahanku. Juga tidak akan mengurangi kebencian yang begitu jelas terlihat dalam sorotan matamu. Aku minta maaf Jingga, meski aku tahu bahwa kesalahanku tak termaafkan”, ia menangis. Menjijikkan sekali. Aku tak menjawab, tetap kupegang buket bunga darinya namun mawar itu tak kuciumi. Aku begitu yakin mawar itu berbau busuk jadi aku tak sudi mendekatkannya ke hidungku.
Cerpen Karangan: Safitri Saraswati Blog / Facebook: facebook.com/igasafitrisaraswati Kelahiran Denpasar, 17 Juni 1989. Menulis puisi dan artikel. Puisi-puisi saya dimuat dalam antologi Puisi – makna dalam kata (Nahlu Media, 2017), Puisi Untuk Rohingya (2017), dan Mengunyah Geram Melawan Korupsi (2017). Aktif menulis artikel untuk portal kamantara.id