“Jingga”, ia mendekat. Aku bersiap memukulnya dengan buket di tanganku. Ia tersenyum, dipikirnya aku tengah mengajaknya bernostalgia. “Kamu ingat sewaktu kamu membaca komik dan aku…”. “Diam!” ujarku. “Aku tidak mau ingat apa-apa lagi”. Ia tersenyum dan mengusap pipiku tapi tangan kaku itu kutepis. “Jangan nanti aku jerawatan”. Lalu kami pun tertawa dan larut dalam obrolan. Dua belas tahun kebersamaan tak terjeda oleh lima tahun kehampaan dimana ia menghabiskan waktu bersama wanita lain sementara aku nelangsa dengan hanya ditemani irama dari detak jantungku sendiri.
Ia menginap di rumahku dan ada baiknya ibuku pikun jadi dia tidak keberatan anaknya diinapi oleh lelaki yang ia pikir masih menjadi kekasih anaknya.
Hari–hari selanjutnya terasa kembali seperti biasa, tak ada lagi bayangan-bayangan masa lalu karena kini roda kehidupan terasa berputar ke masa lalu. Aku pergi ke tempat bekerja setelah sekian lama dan disambut dengan gegap gempita oleh rekan kerjaku. Di mejaku disiapkan bunga mawar dan dekorasi berwarna jingga, sesuai namaku. Aku begitu terharu, tiada yang lebih berharga dari mengetahui bahwa kita begitu dicintai oleh orang-orang di sekeliling kita. Dan rekan-rekanku begitu gembira aku kembali ke kantor. Mungkin sama dengan kegembiraan dan kebahagiaan yang aku rasakan karena dia kembali. Nafsu makanku bertambah, aku pun tak lagi murung. Ibuku berkata sudah lama tidak melihat senyumku yang seperti sekarang, dan aku heran mengapa penyakit pikun ibuku kadang ada kadang tidak.
Dan jam menunjukkan pukul 17.00 usailah jam bekerjaku. Aku agak bingung hari ini, haruskah aku kembali melihat senja? Perlukah aku bertemu Suryasta? Sudah satu bulan aku tak bersua kekasihku. Tidakkah ia bertanya-tanya kemana aku? Tapi Suryasta punya begitu banyak kekasih jadi ketidakhadiranku tak akan membuatnya merasa kehilangan. Tapi kembali ku terseret ingatan lama, saat pertama kali aku bertemu Suryasta.
Hari itu adalah hari eksekusi bagiku. Samkya meneleponku dan berkata akan menjemputku ke tempat kerja. Aku bingung karena aku mengendarai motor dan tak butuh jemputan tapi dia berkata biar saja motorku di kantor. Aku menurut saja karena kekasihku ini memang mengidap penyakit gila yang sangat parah. Tepatnya kami sama-sama mengidap kegilaan akut. Diajaknya aku ke pantai, dulu sekali kami juga kemari saat dia menemuiku dan aku tersenyum malu dibalik jaket yang menutupi kepalaku.
“Kamu ingat pantai ini?”, tanyanya. Ekspresi wajahnya begitu datar hingga aku mengira ia sedang berlagak serius. Aku malah dengan besar kepala menyangka ia akan melamarku, usiaku waktu itu 25 tahun. “Jingga aku telah menemukan orang lain”. Hanya kata-kata itu yang sempat ia katakan padaku. Begitu ia ingin bicara lagi tangan kananku telah melayangkan sebuah tamparan keras. Ia begitu memahamiku dan hanya menganggukkan kepala lalu pergi, meninggalkanku. Aku diam, membeku. Desir angin dan deburan ombak tak mampu mencairkanku. Jadi ini alasan kenapa belakangan ini sikapnya begitu berbeda. Sering ia tak menjawab teleponku. Bicaranya pun tak lagi manis, yang ada ia mudah marah. Sebenarnya aku telah mengetahui bahwa ia memiliki wanita lain dalam hatinya namun aku yang terlalu percaya padanya sehingga tak pernah menyangka ia benar akan meninggalkan aku yang telah bersamanya selama 12 tahun. Wanita yang namanya ia sebut saat meniduriku. Yang tak kutanyakan karena aku percaya ia hanya salah dalam berkata. Dan siapa yang terangi hatiku saat ia dilanda gelap akibat kehilangan lentera? Siapa yang setia menghangatkanku kala hati dingin ini membeku dan tak tercairkan? Suryasta, ia benar-benar pelipur lara. Saat kekasih yang kusangka akan abadi menemaniku pergi meninggalkanku. Suryasta, suryasta, nama itu terngiang-ngiang dalam pikiranku.
Aku segera berlari menuju halaman parkir dan tanpa kusangka Samkya ada disana. “Aku takut kamu belum bisa bawa motor, ayo kuantar pulang”. Aku tak berkata apa-apa dan segera duduk di belakangnya. Motornya melaju pelan, dibimbingnya tanganku untuk melingkar di pinggangnya. Suryasta terlihat mengintip dari balik pepohonan rindang yang berjejer tak beraturan di jalur pejalan kaki. Marahkah ia kepadaku? Cemburukah ia melihatku berboncengan dengan laki-laki lain? Laki-laki yang namanya pernah kuadukan padanya karena membunuh jiwaku? Apa yang ada di pikiran Suryasta saat ini? Aku wanita pengkhianat? Aku wanita penipu? Lalu apa bedanya aku dengan Samkya? “Suryasta, aku telah menemukan orang lain”. Haruskah aku mengatakan hal itu juga kepadanya? Apa reaksinya bila mendengar kata-kata itu keluar dari mulutku? Apakah ia akan pergi meninggalkan bumi dan berpindah mengikuti rotasi di planet yang lain? Apakah jiwanya juga akan mati seperti jiwaku saat ditinggalkan oleh Samkya lima tahun yang lalu? Aku merasa pusing, dan mendadak motor yang kutumpangi berhenti.
“Jingga, kamu kenapa?”. Samkya menurunkan standar motor dan berdiri di sebelahku. Aku menurunkan kaki karena motornya agak limbung. “Jingga!”. Ia memaksaku untuk melihat matanya. Aku tetap diam, tak berminat untuk mengatakan apapun. “Kita ke dokter ya?”. Aku pun diam, menunggunya berputus asa namun ternyata tidak. ia kembali menaiki motornya dan membawaku ke rumah sakit.
“Tensinya normal, mungkin Ibu kurang istirahat sehingga terlihat lemas”, ujar dokter jaga usai memeriksaku. “Bisa diberi vitamin, Dok? Saya takut kondisinya melemah”, Samkya bersikap seolah-olah yang sakit adalah dirinya. Siapa dia? Hanya mantan kekasih yang tiba-tiba kembali setelah sekian lama. Dan siapa aku? Hanya wanita gila yang mau saja menerimanya kembali. Lalu siapa Suryasta? Kekasihku yang aku tinggalkan tanpa kata.
“Jingga sepertinya kelelahan Bu”. Aku mendengar suara Samkya berbincang dengan ibuku. Aku beralasan mandi lalu mengunci pintu kamarku rapat-rapat. Ya aku memang membasuh tubuhku, tapi tidak perlu waktu lama. Aku terdiam merapatkan tubuhku ke jendela agar semakin jelas kudengar suara mereka. “Ya ibu sudah bilang sebaiknya dia berhenti bekerja tapi kamu tahu sendiri bagaimana dia”, ibuku menimpali. “Ya sebaiknya begitu. Atau tidakkah Ibu berfikir sebaiknya Jingga saya nikahi secepatnya?”. What??? Aku menutup mulutku sendiri agar tidak berteriak. Apa yang dibicarakannya? Menikah? Aku dengan dia? Dasar gila! Aku semakin merangsek ke jendela, telinga kubuka lebar-lebar namun mulut kututup rapat. “Bagaimana menurut Ibu?”, merasa tak mendapat tanggapan Samkya mengulangi pertanyaannya. Ibuku tertawa pelan, “Kalau soal itu kamu tanyakan sendiri padanya. Kalian kan sudah dewasa, kalau memang sudah suka sama suka ya tidak ada salahnya”. Aku semakin keras menekan mulutku. Apa yang dikatakan ibuku? Tanya apa? Dia pikir aku mau? Aku harus mengusirnya segera dari rumahku, aku harus benar-benar memastikan ia tak akan datang lagi, aku harus… “Apa yang kamu buat disitu?”. kemunculannya mengagetkanku. “Kamu nguping?”, ia tertawa sambil menjewer telingaku. “Kamu sebaiknya…”. “Menginap disini”, ia memotong ucapanku. “Karena besok aku libur dan aku mau mengantar kamu ke tempat kerja”, ia melanjutkan ucapannya sambil menyibak rambutku. Apa? Menginap? Aku terus meracau dalam hati, namun anehnya tak satu kata pun keluar dari mulutku. Apa aku bisu? Kemana kekasihku Suryasta? Oh aku lupa, ia hanya muncul di kala senja. Malam hari dia mati, ditelan bumi. Tapi besok aku pastikan ia terlahir kembali, jadi setiap hari aku mencumbui orang yang berbeda. Selalu suci hari demi hari, tiada cela dan dusta. Tidak seperti laki-laki yang saat ini membasuh tubuhnya di kamar mandiku. Lelaki yang semena-mena datang, pergi, kemudian datang lagi ke dalam hidupku. Laki-laki yang telah keluar dari kamar mandi. Laki-laki yang hanya mengenakan handuk dan mendekatiku. Laki-laki yang mencumbuku dengan lumatan api hingga kurasakan bibir ini terbakar. Laki-laki yang membisikkan kata-kata mesra di telingaku. Laki-laki yang… dialah Samkya. Cinta pertamaku. Kekasih pertama dan kukira akan menjadi kekasih terakhirku. Tidak hingga aku mengenal Suryasta. Kekasihku yang entah sekarang berada dimana, semoga esok aku masih bisa menemuinya lagi. Namun sudikah ia bertemu dengan aku yang mengkhianatinya? Atau ia bersembunyi di balik awan dan tak mau melihat wajahku?
Hari ini acara tukar cincin. Keluarga ibu dan keluarga mendiang ayahku semua berkumpul bertumpah ruah di rumahku. Teman-temanku juga banyak yang berdatangan, tak terkecuali Latri. Ia bahkan tak pernah mau pergi dari sisiku. Anaknya ia titipkan pada mertuanya dan ia datang sendiri kemari sementara suaminya ia tugaskan untuk menjaga anaknya.
“Jingga kamu cantik sekali, aku tidak menyangka kamu akan menikah juga”. “Ini baru acara lamaran Latri”, aku mengoreksi ucapannya. “Ups, iya iya”, ia terkikik sambil mengoleskan gincu berwarna merah muda di bibirnya yang ranum. Ya, ini baru acara lamaran dan entah kenapa acara ini digelar. Samkya yang waktu itu datang bersama orangtuanya dan mengatakan niatnya untuk menikahiku. Ibuku yang teramat bahagia mengetahui putrinya akhirnya laku sehingga mengiyakan saja apapun yang dikatakan Samkya juga orangtuanya. Dan aku, si bodoh yang hanya mengangguk-anggukkan kepala saat ditanya apakah aku mau menikah dengan mantan kekasihku. Ya, aku si bodoh. Apalagi sebutan untuk wanita yang mau menikah dengan mantan kekasihnya sementara kekasihnya menantikan kehadirannya dalam diam. Apa yang telah Samkya lakukan untuk membunuh jiwaku? Kemana dia selama lima tahun kesakitanku? Apa ini sebanding dengan luka yang telah ia goreskan tepat di jiwan mukti-ku?
“Jingga, ayo keluar”, suara bibiku membuyarkan lamunanku. Latri terlihat begitu bersemangat, seolah-olah yang dilamar adalah dirinya. Aku melihat Samkya berdiri disana. Di kursi putih itu, ia tersenyum ke arahku. Senyum itu, senyum yang menua dimakan usia. Senyum yang tak pernah kulihat lagi selama lima tahun namun sekarang tiba-tiba muncul kembali. Senyumnya yang tak sehangat rengkuhan Suryasta. Ingin kuhentikan senyuman itu, kutampar, kurobek, kuhunjam. Aku begitu membenci Samkya namun mengapa aku berdiri di sebelahnya? Aku benci sekali hari ini.
Dan mulailah pamanku berpidato, mewakili mendiang ayahku. Mengucapkan terima kasih pada hadirin yang telah hadir, mengucapkan selamat padaku dan Samkya. Selamat untuk apa? Selamat untuk kebodohanku? Selamat untuk Suryasta yang menangis dan meratapi kepergianku? Pergi? Memangnya aku pergi kemana? Aku tidak kemana-mana. Apa Suryasta akan datang? Menggagalkan acara lamaranku dan membawaku bersamanya menuju cakrawala? Dimana Suryasta? Tidakkah ia tahu kekasihnya akan mengikat janji dengan lelaki yang kutahu pernah mencintaiku, lalu mencampakkanku, dan kini mencintaiku kembali. Laki-laki macam apa dia. Dimana Suryasta? Suryasta. Suryasta. Suryasta. Nama itu terus terngiang. Suryasta. Suryasta. Suryasta. Kepalaku pusing sekali, mataku berkunang-kunang. Entah apa yang dikatakan oleh Ayah Samkya sehingga semua yang hadir bertepuk tangan dan kulihat Samkya mengambil kotak kecil berwarna biru yang diberikan oleh ibunya. Ia tersenyum kepadaku namun senyum itu perlahan-lahan memudar dan lalu gelap. Aku tak ingat apa-apa. Tak ada apapun, tak ada siapapun juga Suryasta. Dimana dia? Dimana Suryasta? Dimana kekasihku? Aku harap ia telah membawaku pergi, menembus lapisan ozon dan berputar mengikuti rotasi. Suryasta, aku mencintaimu.
Perlahan mataku terbuka, dan aku begitu mengenali rasa sakit ini. Rasa sakit pada pergelangan tangan kananku. Rupanya ada selang infus yang tertempel disana. Di sebelahku ada Samkya dan juga ibuku. Mereka menangis, entah apa yang mereka tangisi. Aku hanya dapat membuka mata pelan, lalu aku tersenyum ke arah mereka berdua. Tangis Samkya semakin keras, juga ibuku. Aku benar-benar bingung, kembali ku bertanya apa yang sebenarnya mereka tangisi? Samkya berulang kali berkata, “Aku mencintaimu Jingga, maafkan kesalahanku di masa lalu. Aku mohon jangan tinggalkan aku. Bangun Jingga, bangun!!!”. Aku merasa aku telah duduk di sebelahnya, namun entah kenapa aku melihat diriku yang lain terbaring di ranjang itu. Aku mencium ibuku namun tak kurasakan pipi keriput itu. Aku duduk di sebelah Samkya dan berkata pelan, “Samkya, aku telah menemukan orang lain”. Bersamaan dengan kata-kataku, muncullah seberkas sinar terang berwarna merah kekuningan. Aku mengenali warna ini, ini adalah warna cintaku. Suryasta ada di sana, ya ia rupanya menjemputku sesuai janjinya. Ia tak pernah meninggalkanku. Ia selalu ada untukku, kapanpun dan dimanapun. Kini, aku dapat bertemu dengannya dalam waktu yang lama. Aku tak perlu lagi menemuinya ke pantai namun aku bisa menemuinya kapanpun aku mau. Ia membisikiku betapa ia juga mencintaiku dan berjanji tak akan pernah meninggalkanku. Ia juga berkisah tentang hidupku yang telah berakhir karena rupanya ada benturan di kepalaku yang tak kusadari dan akhirnya memecahkan salah satu pembuluh darahku. Mungkin itu sebabnya aku selalu merasa pusing dan sering pingsan. Entahlah, aku tidak peduli. Yang kutahu kini aku terbebas dari bayang-bayang masa laluku bersama Samkya. Dan aku telah meninggalkan dunia jadi sudah seharusnya aku melupakan semua.
Kini kumulai babak baru kehidupan di tanah tak bertuan, disini terasa begitu tenang dan damai. Dan disini setiap hari adalah senja, Suryasta selalu ada di sisiku, tak pernah pergi tinggalkanku sendiri. Suryastaku begitu tampan. Tubuhnya merah menyala, rambutnya panjang terurai. Ia begitu kekar dan hangat. Pelukannya membuatku tak ingin kembali ke dunia. Tidak, aku tak akan kembali kesana. Aku akan selamanya berada disini bersamanya. Dan inilah akhir kisahku. Aku, Jingga yang mencintai Suryasta. Aku, Jingga yang mencintai senja.
Cerpen Karangan: Safitri Saraswati Blog / Facebook: facebook.com/igasafitrisaraswati Kelahiran Denpasar, 17 Juni 1989. Menulis puisi dan artikel. Puisi-puisi saya dimuat dalam antologi Puisi – makna dalam kata (Nahlu Media, 2017), Puisi Untuk Rohingya (2017), dan Mengunyah Geram Melawan Korupsi (2017). Aktif menulis artikel untuk portal kamantara.id