Ini hari minggu, pagi yang cerah tampak dari jendela kamarku Indra menungguku di depan pintu sambil mengetuknya. “Masuk aja Ndra” seruku. Seperti biasa Indra sangat pengertian, dia menyiapkanku bubur ayam hangat ditemani teh panas. Akupun langsung menyantapnya dengan lahap.
“Ayo!” seru Indra sambil menyiapkan kursi roda untukku. “Hah? Mau kemana?” tanyaku. “Jalan-jalan biar gak suntuk di kamar terus” terus Indra.
Aku langsung menaiki kursi roda yang telah disiapkan oleh Indra. Indra langsung ke belakangku untuk mendorong kursi rodanya. Indra membuka pintu depan lalu mendorongku kembali, bau udara sejuk pukul enam pagi menusuk hidung langsung mengalir ke otakku tanpa kendala. Kursi roda yang telah melewati gerbang rumah nampak dua pasang kekasih yang sudah berumur sedang lari pagi dengan wajah gembira. Kami pun melanjutkan perjalanan menuju sawah yang dekat dengan komplek kita.
“Seger kan jalan-jalan pagi?” tanya Indra menghadap ke depan, aku mengangguknya. Kami berjalan dihapit dua ladang sawah, kemudian Indra menghadapkanku melihat sawah. Indra duduk di samping kursi rodaku.
“Ndra, apa yang lo suka dari gue? Gue yang begini lo suka? Kan lo bisa cari cewek lain yang lebih dari gue” kataku dengan halus. “Gua udah suka lo dari lama nad, sejak kita masih SMP kita pernah hangout bareng dan gue lihat muka bahagia lo itu kaya aset yang berharga, gue lihat senyum lo gue bersyukur bisa ketemu lo dan lo alasan gue bisa bertahan dan semangat Nad, setelah gue sampe rumah kaya ada yang hilang dan itu elo Nadiya. Gue sengaja pura-pura punya gebetan agar punya bahan obrolan dengan elo, biar gue bisa deket sama lo biar lo bisa tertawa dan lo bahagia karena itu yang gue suka dari elo.” “Bertahan apa ndra?” tanyaku. “Nggak papa, gue sebenarnya cemburu lihat Randi deketin lo. Randi tanya gue buat tahu apa aja kesukaan lo Nad, gue yang kasih tahu bunga apa favorit lo: bunga kacapiring yang dibeli di pasar bunga tokonya pak Ahmad, karena gue tahu kita pernah jalan sore hari ngelewatin toko itu, lo hirup bau bunganya, dan lo senyum lebar banget dari kuping ke kuping. Gue yang kasih tahu Randi apa musik kesukaan lo, apa makanan dan minuman favorit lo. Nad, semua itu gue Nad jadi please jangan berpikiran kalo Randi yang tahu tentang lo Nad, gue ngasih tahu ini karena gua sayang dan kasihan sama lo Nad, lo cuma dimanfaatin Nadiya” Indra menghela nafas. “Terus gimana? gue gak tau ndra mesti ngapain, dari dulu gue bersyukur banget ndra punya elo, lo yang selalu merhatiin gue lo yang selalu ada buat gue dan saat gue yang begini pun lo masih ada ndra. Gua udah gak peduli sama Randi, gue nyesel dulu terobsesi sama Randi. Ndra gue gak tau ndra cara ngungkapin rasa terimakasih buat lo, gue bingung.” “Udah tenang aja gua sayang sama lo, gua suka sama lo udah gua cuma mau ngungkapin aja lo ga usah jawab, gapapa kok, gue pengin lu tau aja kalo gue sayang sama elo.”
Kami pun melanjutkan jalan-jalan kita, melewati gerbang perumahan kemudian putar balik untuk pulang. Melihat anak kecil, remaja, orangtua sedang jalan-jalan atau olahraga pagi. Kursi rodaku melawati gerbang rumah yang sudah dibuka Indra, Kemudian Indra mengantarkanya ke kamarku dan membantuku turun dari kursi roda ke kasur. Kemudian Indra duduk di sampingku.
“Nadiya, gue minta maaf kalo seumpama kita ga bisa bertemu lagi” tutur Indra dengan raut wajah sedih. “Indra! maksud lo apa? lo habis baperin gue terus lo pergi gitu? lo yang kasihan sama gue lo sekarang tega sama gue gitu? lo sengaja ndra? tolong jelaskan ke gue ndra” kataku dengan kesal. “Maaf banget Nad, sorry ya” tutur indra sambil meninggalkan kamarku. “Indra!” teriakku agak kencang. Indrapun meninggalkan rumahku, aku merasa kesal dan bingung mengapa Indra bersikap seperti itu. Mungkin wajar saja seorang lelaki bosan dengan teman masa kecilnya karena selalu bertemu ditambah keadaan gua yang begini.
Tiga hari berlalu sejak Indra berkunjung ke kamar ini, cuaca mendung di hari rabu seperti menandakan kesedihan. Aku hanya berbaring di kasur menikmati serial Netflix dari pagi hingga saat ini tepatnya pukul sepuluh. Suara mesin cuci di belakang terdengar karena pintu kamarku terbuka, pembantuku sedang mengepel lantai di kamarku sambil menunggu mesin cucinya berhenti. Tiba-tiba suara ambulan terdengar keras tepat di depan rumahku. Aku penasaran ada yang sakit atau ada yang meninggal.
“Mba ada ambulan, ambulan siapa mba?” tanyaku ke pembantuku. “Kurang tau dek!” jawab pembantuku dengan keras karena sedang mematikan mesin cuci di belakang.
Seseorang masuk dari pagar dengan tergesa-gesa, ia langsung memasuki ke kamarku. Ternyata dia ibu Indra. “Dek, maafkan ibu ya!” kata ibu sambil memelukku dengan tangis yang tersedu-sedu. “Hah? Ada apa bu? Saya nggak tahu” tanyaku dengan heran. “Indra mengidap penyakit Arteri Koroner cukup lama, dia ingin menyembunyikan penyakitnya itu darimu, dia gak mau kamu khawatir tentangnya biar kamu bisa tetep senyum dan bahagia. Dia memberitahu ibu agar merahasiakanya pada Nadiya, kemudian dua hari lalu, hari senin, Indra operasi bypas jantung, tapi Indra” Ibu Indra menangis tersedu-sedu lagi sambil memelukku. Aku hanya terdiam melongo, meneteskan air mata dengan deras tak sanggup mengucapkan kata sepatah katapun, menangis pun tidak ada suaranya. “Sabar ya nak,” Ibu Indra sambil menepuk pundakku.
Aku pergi ke rumah Indra untuk berkunjung dan mendoakan, jam menunjukkan pukul sebelas, turun hujan seketika sangat deras. Aku berjalan dari pintu rumah Indra menggunakan alat bantu tongkat kakiku, melihat tubuh yang ditutupi penuh dengan kain, aku langsung menuju kerahnya. Bapak Indra membuka kain yang ada di wajahnya, yah itu wajah Indra. Aku memeluk Indra dan menangis sejadi-jadinya.
Hujan sudah reda, sore hari, badha Ashar, Almarhum Indra dimakamkan di tempat pemakaman umum yang ada di perumahanku. Banyak orang yang mengelilingi pemakaman Indra, akupun ikut proses pemakamanya, keluarga besar Indra berkumpul tampak sedih saat proses pemakaman Indra. Setelah pemakaman kami pun mendoakanya.
Aku pulang menggunakan kursi rodaku, disamping rumahku rumah Indra terlihat ramai. Roda kursi roda bergelinding melewati gerbang dan pintu rumahku. Aku langsung berbaring dan menghela nafas.
Cerpen Karangan: Mizan Ade Arfani Blog / Facebook: Mizan Ade Arfani