Dilihatnya Wulan kembali. Gadis itu terlihat semakin cantik setelah menggunakan kalung pemberian darinya. “Suka?” “Suka banget Surya. Makasih ya.” Lagi lagi, surya menampilkan senyumnya. Dia meraih tangan wulan, mengenggamnya dan mengelusnya lembut. “Wulan, aku mau ngomong sesuatu sama kamu.” “Ngomong apa?” tanya Wulan yang gelisah karena melihat perubahan raut wajah Surya yang signifikan.
“Maaf.” Wulan mengernyitkan dahinya bingung. “Maaf? maaf untuk apa?” “Aku harus pergi ke Amerika.” Wulan seketika langsung menarik tangannya dari genggaman Surya. Satu kalimat yang baru saja meluncur dari mulut Surya mampu membuat gadis itu terhenyak.
“Kenapa? Kenapa Surya? Kenapa kamu pergi?” tanya Wulan sambil mengeluarkan air mata yang tak bisa dia bendung. Sakit. Rasanya sakit. Itu yang Wulan rasakan. “Maaf. Maaf.” “Buat apa kamu kasih aku kalung ini kalau ujung-ujungnya kamu pergi juga?” “Maaf.” Surya berusaha meremat tangan Wulan namun dihempaskannya begitu saja oleh Wulan. “Aku benci kamu Surya!” Wulan menarik tangannya kasar dan meninggalkan Surya sendirian. Wulan benar benar kecewa.
Satu minggu telah berlalu dan Wulan masih saja membenci Surya. Gadis itu kini tengah berdiri di depan jendela kamarnya sembari berlinang air mata. Dua bulan yang sia sia. Wulan meremat kalung pemberian dari surya yang masih dipakainya. “Kamu jahat Surya.”
Seorang pria dengan koper besar dalam genggamannya tengah berjalan pilu di bandara. Terlihat orangtuanya ikut mengantarkan kepergiannya. Tak terbayangkan olehnya kalau dia akan meninggalkan kedua orangtuanya, tanah kelahirannya, dan gadis yang dia cinta. Wulan pasti sangat kecewa padanya.
Tapi hidup adalah pilihan. Dan jalan inilah yang dia pilih. Dia lebih mengutamakan keinginan orangtuanya. Dia bukanlah anak egois yang semua keinginannya harus terwujud.
“Mah, Pah. Surya berangkat ya. Do’akan Surya.” Sang Ibu terlihat sudah tersedu. Air matanya mengalir deras. Tak tega jika dia harus berpisah dengan putra semata wayangnya. Sementara sang Ayah terlihat berusaha tegar walau tak dipungkiri ada perasaan tak rela di hatinya. “Iya, hati hati Nak.” “Iya Pah.” Surya mencium punggung tangan Ayahnya dan memeluk pria itu erat. Begitupun dengan Mamanya. Dia juga melakukan hal yang sama.
“Pah, Mah. Surya pergi ya.” Dengan berat hati, Surya mulai melangkahkan kakinya pergi meninggalkan tempat kedua orangtuanya berdiri.
“Surya!” Baru beberapa langkah Surya berjalan, pria itu berhenti tatkala ia mendengar suara lembut yang memanggilnya. Surya membalikan badan memastikan kalau itu benar benar dia. “Wulan?”
Wulan mempercepat langkahnya dan menubrukan dirinya pada pria bongsor itu. Wulan memeluk Surya erat seperti tak ingin Surya pergi dari hadapannya.
“Wulan kamu kesini?” Wulan melepaskan pelukannya dan mengangguk lemah. “Iya.” “Makasih ya udah dateng.” “Iya.” Surya menarik kembali Wulan dalam dekapannya dan memeluknya erat sebelum dia melepaskan tubuh gadis itu.
Surya menagkup wajah cantik Wulan. Wajah yang tak akan lelah ia pandang. Surya mencium kening Wulan lembut. “Aku janji aku akan pulang.” Wulan menyeka air mata yang tak henti turun membasahi pipinya. Gadis itu mengangguk lagi untuk yang kesekian kali.
“Aku pergi dulu ya Wulan.” “Iya. Hati hati ya Surya. Baik baik di sana.” “Iya.”
Tak terasa, empat tahun sudah Surya berkuliah di Amerika. Gelar B.Sc. (Bechelor of Science) pun telah dia raih. Dan ini adalah waktu yang paling dia tunggu. Surya akan pulang ke Indonesia dan bertemu dengan Wulan. Walau dua tahun terakhir Wulan tidak ada kabar, tapi Surya yakin kalau Wulan masih menunggu Surya pulang.
Sesampainya Surya di Indonesia, pria itu langsung disambut hangat oleh orangtuanya dan mereka bertigapun segera pulang ke rumah. Surya mengistirahatkan tubuhnya yang sudah lelah menempuh perjalanan.
Sore ini, Surya sudah rapi dengan pakaiannya. Ya, dia akan menemui gadisnya dan menghapus rindu yang sudah bertahun tahun membelenggu. Namun sebelum mengunjungi rumah Wulan, Surya memilih untuk ke taman tempat dulu dia dan Wulan menghabiskan waktu untuk bersama. Tak ada banyak perubahan. Hanya terlihat penambahan air mancur di tengah tengah taman. Dahulu tempat ini tak memiliki air mancur sama sekali.
“Bukh..!” Ketika asyik melihat lihat, Surya dikejutkan oleh seorang anak kecil berumur sekitar satu tahunan dengan balon berwarna pink di tangan kanannya yang baru saja menubrukan dirinya pada Surya.
“Aduh!” rintih anak itu dan terjatuh di atas rumput hijau. “Hey, kau tak apa apa?” tak perlu berpikir lama, Surya segera menolong anak itu. “Hey Aurora! Kamu disini rupanya.” teriak seorang wanita pada anak itu. Surya mendongakkan kepalanya. Dia tahu betul pemilik suara lembut itu.
“Wulan?” “Surya?” “Mama..” teriak anak itu yang langsung menghamburkan diri memeluk wanita yang dia panggi dengan sebuatan ‘mama’ “Mama?” tanya Surya tak mengerti.
“Sayang, ini aku bawakan ice cream untuk kita bertiga.” lalu muncul seorang pria dari belakang Wulan dan memanggil wanita itu ‘sayang’
Semuanya kini semakin jelas. Kepingan puzzle yang berserakan di kepala Surya kini telah menyatu. Surya sadar apa yang terjadi. Wulan kini bukan lagi jangkauannya. Wanita itu bukan lagi tempat dia untuk pulang. Tapi ternyata laki laki beruntung di samping Wulan lah yang telah menjadikan Wulan sebagai tempatnya pulang. Dia suaminya. Dan anak perempuan itu adalah buah hati mereka.
Surya terlambat. Dia kalah. Dilihatnya sekali lagi perempuan itu. Ah, kalung itu, Wulan masih memakainya. Entah Surya harus senang atau malah sedih kalung pemberiannya empat tahun yang lalu masih Wulan pakai. Pria itu tersenyum ke arah Wulan. “Terima kasih.”
Surya pergi. Dia tak ingin mengganggu kebahagiaan keluarga kecil itu.
“Siapa dia?” “Buku yang sudah tamat. Lembaran yang hilang.” Laki laki dewasa itu sama sekali tak mengerti apa yang istrinya katakan.
“Ayah.. As klim..” pria itu langsung menggendong anaknya dan menciumi putri kecilnya itu. “As klim ayah.. Bukan tium..” “Hah.. Iya iya..”
“Eh, Ayah.. Kesana kesana..” tunjuk Aurora pada pedagang aru manis yang sepertinya menarik perhatian anak itu ketimbang ice cream. “Apa? Arumanis? Ice creamnya gimana?” “Gak mau.. Mau itu..” “Hah.. Iya iya baiklah.” sang Ayah hanya bisa mengiakan. Dia tak sampai hati menolak permintaan putrinya itu.
“Kamu ikut gak sayang?” tanya pria itu pada istrinya yang jadi pendiam semenjak beberapa menit yang lalu. “Em.. Kalian duluan aja. Nanti aku nyusul.” “Oh.. Oke.”
Ayah dan anak itu sudah pergi. Tinggallah Wulan sendiri.
Wulan masih tak menyangka kalau dia akan bertemu lagi dengan Surya. Kalung itu, dia merematnya erat dan tertunduk pilu. “Maaf, sepertinya sang surya dan rembulan memang tidak pernah ditakdirkan bersama oleh Tuhan.”
Cerpen Karangan: Tiara Vebriyanti