Ujung Pandang sebuah tempat romansa kita hidup berkisah, aku berusaha menemuimu diantara riuhnya kota ini yang sekarang suduh berkembang pesat. Tampak beda saat dulu dimana kita selalu mendapati satu cahaya lampu jalan yang terperangkap gelap. Sekarang gelaplah yang terperangkap dari banyaknya cahaya di kota ini. Atau bahkan kita hanya menemui satu titik ramai di kota ini. Tempat dimana antara ombak dan pasir putih bertemu mengadu mesra. Di sebuah bibir pantai Orang menyebutnya pantai losari. Sekarang titik ramai bisa kutemukan di setiap sudut sudutnya.
Saat aku menapak kaki di kota ini Kukira langitnya hanya akan berbicara tentang kita. Ternyata tampak berbeda yang kulihat. Riuh ujung pandang dengan terang dan ramainya seolah ingin menelan cerita cinta kita. Lantas kemana dirimu? Bahkan saat aku bergeser ke bantimurung dan bersandar di salah satu pohonnya, seekor kupu kupu terbang rendah di sekitarku dan tiap tiap kepakan sayapnya seolah mengusirku dan berkata “Dia tak ada disini”.
Masih ingat bantimurung? Suatu siang bergelantungan mendung di atap atap semesta. Aku dibuat iri oleh air terjunnya yang mengalir di pipimu merah merona. Masih ingat bantimurung? Airnya menggiringmu ke tepi untuk mencari tempat yang hangat mengobati pori yang sedang luka tertusuk dinginnya bantimurung kau kini sudah ingat bantimurung kan? Apalagi saat itu ada seekor kupu kupu yang hinggap di tasmu lalu berbisik seorang pria tak jauh dari sini sedari tadi menatapmu dengan penuh heran, mungkin dia sedang jatuh cinta, apa kau merasa demikian?
Aku bukanlah seorang yang muda jatuh cinta, muda mengubah rasa apalagi untuk seukuran pada pandangan pertama. Tapi karenamu ini ceritanya beda. Kutarik kataku kataku dan aku rela dipanggil seorang yang munafik yang tak memegang kata katanya tapi hanya untuk saat itu saja. Pada senyum yang diapit lesung pipimu. Pada sepasang bola matamu yang menggelinding ke jiwaku. Katakan padanya aku sedang jatuh cinta!
Bantimurung dan air terjunnya sebuah tempat di tepi kota tapi disana pusat hikayat cinta kita bermula namun sejarahnya bukan kita yang pertama membangun cinta disana.
Konon pernah ada kerajaan kera di kampung Abbo. Dengan raja yang bernama raja toakala yang berbulu putih, bertubuh besar, dan piawai bicara selayaknya manusia. Ia seekor kera yang berjenis macaca moura yang sekarang ini patungnya selalu menyambut siapapun yang datang ke bantimurung. Toakala sangat senang bila tiba suatu hari saat ia pergi berburu. Namun di perjalanan berburunya ia tak sempat menombak tubuh seekor rusa malah hatinya yang terpanah pada sosok perempuan di telaga kassi kebo yang berada di atas air terjun bantimurung.
Selayaknya seorang putri dari kerajaan wanita itu tentu berwajah cantik, berkulit putih dan berambut amat panjang. Bilamana ia mengurai rambutnya itu dibutuhkan tujuh tiang jemuran untuk menopang saking panjangnya. Dia bernama I Bissu Daeng seorang putri dari kerajaan Pattiro.
Sepulangnya toakala dari berburu ia lantas mengirim utusannya untuk meminang Bissu daeng. Namun cinta yang dipunya toakala berubah jadi amarah dan penuh murka ketika begitu tau cintanya bertepuk sebelah tangan karena toakala dipandang seekor kera tak pantas mempersunting Bissu Daeng yang cantik jelita.
Raja toakala sudah terlalu jatuh cinta. Hingga pada suatu hari ia menculik Bissu Daeng dari genggaman kerjaan Pattiro tapi seekor ular sanca raksasa menyelamatkannya dan membawanya pulang. Toakala semakin murka dan sedang membuat rencana untuk menyerang kerajaan Pattiro. mendapat kabar akan diserang, nyali Raja Pattiro ciut dan mengatur siasat jahat. Ia mengutus panglimanya untuk bertemu dengan Raja Toakala. Ia berpesan agar Toakala datang melamar secara baik-baik dengan syarat, seluruh rakyatnya harus ikut tanpa terkecuali.
Atas nama cinta kepada Bissu Daeng, amarah Toakala surut dan setuju atas permintaan itu. Ia mengerahkan seluruh rakyat dan pasukannya datang ke Pattiro untuk melamar Bissu Daeng. Sebelumnya, Raja Pattiro sudah menyiapkan sebuah ruangan besar yang terbuat dari jerami yang direkatkan getah pinus. Saat rombongan datang, mereka pun disambut dengan kenduri oleh Raja Pattiro di dalam ruangan besar itu.
Toakala dan rakyatnya sama sekali tak sadar bahwa semua itu hanya jebakan belaka. Belum usai menyantap kenduri mereka lebih dulu dilalap api. Ruangan besar itu sengaja dibakar oleh pasukan Pattiro dari luar hingga seluruh rakyat Toakala. satu ekor betina rakyat Toakala lolos begitupun sang raja yang memiliki kesaktian. Hingga akhirnya karena marah dan merasa bersalah Toakala mengasingkan diri dan bertapa di sebuah gua di Bantimurung yang sekarang dinamakan gua Toakala. Aku pernah menceritakan ini padamu kan? Lalu kubilang semoga aku tak senasib Toakala, lalu kau balas dengan pendek Amin.
Kau bersandar di pundakku dan aku bersandar pada Pantai Losari. Ditempat ini tak ada yang lebih indah dari menyantap pisang epe sambil menatap matamu. kau dengan polos bercerita bahwa tadi dalam perjalanan menuju pantai losari bulan mengikuti langkahmu kemanapun kau pergi. Ku jawab saja bahwa bulan sedang terpeson denganmu, dengan gincu yang baru kau beli melekat di bibirmu dan alis mu yang kau hitamkan dengan sesuatu yang entah apa namanya, tapi kau sebut dengan bahasa makassar yaitu calla.
Malam semakin larut dan sunyi seolah ingin menyeruput kita. Ini waktu yang kita sepakati untuk mengakhiri pertemuan kita malam ini. Sesuai janjiku kuantar kau kerumahmu dengan motor tuaku. Walaupun tanpa janji sudah seharusnya kuntar kau pulang sebab tak elok membiarkan perempuan pulang sendiri malam malam.
Di sebuah jalan dengan logat makassar kau bilang “Ini mi rumahku”, tepatnya dekat sebuah pertigaan daerah tamalanrea.
Alangkah saya dibuat terkejut dengan rumah mewahmu rupanya kau seorang anak yang berada. Berbanding denganku yanng barang berharganya hanyalah sebuah motor warisan. Dan saya semakin terkejut saat kau memaksaku untuk menemanimu melewati halaman rumahmu dan berpamitan ke orangtuanmu. Saya waktu itu takut tidak bisa memantaskan diri berada didepan orangtuamu. Selanjutnya keterlibatan orangtuamu atas kisah kita membuatnya lebih rumit.
Tragedi romantis di pantai losari adalah peraduan mesra terakhir kita. Gara gara sikap orangtuamu yang memandang seorang pria dengan motor tua sepertiku tak layak dekat denganmu. Itu juga pertama dan terkahir aku datangi rumahmu. Beberapa hari kemudian teman temanmu bilang bahwa kau tak lagi dibiarkan keluar rumah. Seakan tanpa hati orangtuamu membunuh rinduku dengan belati.
Seperti Toakala yang mengasingkan diri dari tragedi yang menghujam cintanya, aku pun sama. Semua yang ada di ujung pandang kutinggalkan. Dari kerabat yang tak pernah dekat, keluarga yang serasa teman biasa, dan sepasang nisan orangtuaku. Perempuan seperti kau hanya kudapatkan melalui takdir, jadi aku ke Jakarta mencari takdir tanpa sepengetahuanmu secara langsung kecuali hanya surat yang kutitip kepadamu yang di ujung kalimat bertulis kata perintah “jaga hatimu untukku” dan setelahnya kutulis lagi kata kerja “tunggu aku sejauh cintamu bisa memendam rindu”.
Dari nama ujung pandang dan berganti Makassar. Terhitung lima belas tahun sudah sekian tumpuk surat kutitpkan disayap merpati menuju rumahmu tapi hanya satu surat kuterima balasanmu. Kalau kau berpikir aku telah hilang nyali untuk mencitaimu berkali kali kau salah. Satu surat yang kuterima darimu membujukku kembali ke Ujung Pandang. Tunggu dulu kira kira lima belas tahun ini berapa banyak pria yang telah memetik cinta di taman sanubarimu. Kau belum dipinang dengan janji suci kan??? Akhh tak peduli. Ujung pandang aku datang desember ini menagih rindu bukan untuk sekedar berpesta tahun baru
Makassar atau ujung pandang sudah terlalu jauh meninggalkan kisah kita, atau mungkin aku yang terlalu lama merantau sedang kau disni meronta ronta menuntut mesra. Singkatnya di bantimurung kita belum bertemu dan Pantai Losari juga tak ada wajahmu disana. Hingga pun sudah memasuki tiga hari aku di makassar masih belum bertemu juga. Kepak sayap kupu kupu di bantimurung yang bilang kau tak disana, berujung membuatku berpikir jauh sebenarnya ada apa? Jika ada garis yang membentang ditengahku dan kau, mari kita patahkan, jadi temui aku sekarang. Sekalipun aku seorang pria perkasa terlatih di tanah rantau melawan rindu. Tetap saja aku seorang yang menghamba pada cintamu lalu memintanya sebagai imbalan.
Hari ke tiga di Ujung Pandang dilangitnya sedang ada pelangi yang setia menunggu hujan tapi beberapa menit kemudian pasti akan dicurangi oleh awan. Dan kota Ujung Pandang telah lumpuh digelanggang sepi. Air mata jatuh didetik detik kepualanganku yang tak mendapatkan apa apa. Padahal semua sudah kurencanakan jika memang kau belum dipinang seorang pria maka kita sepasang manusia yang paling bahagia dimalam tahun baru. Dengan kembang api yang kau tatap dan berbingar di matamu, lalu menyantap kembali pisang epe di Pantai Losaari sambil menatapmu, andai saja buka sekedar andai. Tapi tunggu saat kian dekat langkahku menuju jalan pulang seeorang perempuan mendekatiku yang wajahnya tak asing untuk kukenal, kukira itu kau ternyata dia temanmu sambil membawa pesan “Mentari telah mati dalam bunuh dirinya”.
Cerpen Karangan: Muhammad Nur Hidayat Adiyyin Blog: secangkircerpen.blogspot.com