Dia bilang, meski langit menghitam aku akan tetap menjadi surya untuknya. Dia bilang, meski tanah mengering aku akan tetap menjadi tirta baginya.
Hidung lancipnya memayungi mataku dari teriknya matahari. Kebiasaannya menatap langit membuatku tak jenuh melihatnya. Sebab irasnya semakin sedap dipandang. Ditambah hembusan angin Bandung yang melenakan. Menjadikan suasana terasa lebih sempurna.
“Apa yang kau bayangkan Fatih?” tanyaku padanya. “Dua insan yang hidup bahagia di sebuah istana,” jawabnya. Setelah itu ia pasti langsung memusatkan matanya ke arahku. Seolah berisyarat bahwa dua insan itu adalah ‘kita’. Aku hanya membalasnya dengan senyum penuh harap.
Namaku Aqila Khairunnisa. Sudah enam bulan lamanya aku dan Fatih merajut asmara. 21 Maret 2016 adalah awal sejarah asmara kami dimulai. Meski peraturan pesantren membatasi kami. Namun, kami cukup cerdik dalam memanfaatkan peluang. Jarak gedung santri dan santriwati yang tak terlampau jauh menjadi faktor pendukungnya. Bersama di sebuah istana bersama pria cerdas itu. Memandangi alis tebal di atas mata tajamnya. Bergelayut seperti sepasang ulat, hampir menyatu. Duduk bersama menikmati indahnya antariksa. Sembari merangkai asa.
“Ustadz Wisnu!” Teriakan Jihan sontak membuatku terbangun dari anganku. Tawa lepas yang ia lontarkan. Menatapku penuh rayu. “Fatih lagi?” tanyanya dengan senyum meledek. “Ih bikin kaget saja si Han. Merusak suasana saja,” balasku agak kesal. Jihan adalah sahabatku. Tak ada waktu kecuali kami selalu bersama. Ia yang selalu menjadi cctv. Selalu mengabarkan jika pengurus pesantren mulai datang memeriksa kehadiran santri. Ia mengetahui hubunganku dengan Fatih. Selalu mendukung meski terkadang merasa tak nyaman. Karena harus berpura-pura lugu padahal sejatinya berusaha membisu. Adakalanya ia tak tahan. Berupaya mengambil hatiku. Menjelaskan segala resiko yang akan aku terima jika pengurus pesantren mengetahui kelakuanku. Namun, lagi-lagi aku yang menjadi pemenang. Segala argument aku sediakan. Sampai-sampai ia tak mampu menyanggah. Dan hanya bisa mengucapkan satu kata ‘Baiklah’.
“Hari ini mendung Qil. Jangan terlalu lama ya.” “Siap Bu Bos. Terimakasih ya.”
Jum’at yang kunanti tiba. Jadwalku berjumpa dengan Fatih. Seperti biasa Jihan menungguku di teras masjid, tak jauh dari gerbang asrama. Tak mau membuang waktu, aku segera menemui kekasihku itu. Aku tak ingin Jihan naik darah karena kelambatanku. Hari itu berjalan lancar seperti biasanya. Berlalu dengan penuh kebahagiaan. Canda tawa dan balasan perhatian. Seolah semi istana sudah kami dapatkan. Hingga pada akhirnya peristiwa itu tiba…
Tiiinn…! Suara keras klakson dari arah yang berlawanan. Dan… Brakk! Suasana seketika berubah. Raga seperti melayang. Kondisi di sekeliling menjadi samar. Yang pasti bukan karena derasnya hujan. Pinggang Fatih yang semula kupegang erat terasa tiba-tiba menghilang. Aku merasa sempat berteriak ‘Aaaaaa’. Namun, setelahnya teriakan itu pergi. Ada apa ini? Apa yang terjadi?
“Qila? Sadar Qil.” “A…aku dimana?” “Kamu di rumah sakit. Kamu mengalami kecelakaan bersama Fatih,” jawab Jihan. “Fatih… dimana dia? aku ingin melihat kondisinya.” Aku berusaha bangkit dari perbaringan. “Dia sudah ditangani dokter Qil. Kamu tenang saja. Kondisimu juga masih lemah,” balasnya.
Peristiwa pilu yang kualami. Kejadian yang menyisakan luka fisik. Sampai saat ini aku masih sering merasakan sakit pada kaki kananku. Akibat benturan keras dari sepeda motor yang menabrak kami. Selain menyisakan luka fisik. Tragedi itu juga menghantarkanku kepada orangtuaku. Ya, aku dikeluarkan dari pesantren. Karena akibat peristiwa itu, pengurus pesantren mengetahui hubungan spesialku dengan santri putra. Itu memang sudah menjadi peraturan pesantren. Kekhawatiran Jihan akhirnya menjadi nyata. Aku meninggalkan pesantren dengan penuh hina. Aku meninggalkannya bukan dengan sejuta prestasi. Atau sekedar ijazah. Aku pergi karena kesalahan, kelalaian dan keburukan. Membekaskan citra nista. Semua santri memandangku hina. Kecuali Jihan. Hanya ia yang terlihat lara. Aku telah menciptakan rasa malu pada orangtuaku. Mereka marah besar. Tak habis pikir bahwa putri harapan mereka akhirnya harus pulang dalam keadaan tercela.
Hanya goresan tinta yang kini menjadi kenangan. Semua kisah perjumpaanku dengan Fatih tertulis di dalam buku diary ini. Sejak aku pindah ke sekolah baru, aku tak lagi mendapat kabar darinya. Tak pernah berhenti aku mengenangnya dalam lamunan. Dia bilang, meski langit menghitam aku akan tetap menjadi surya untuknya. Dia bilang, meski tanah mengering aku akan tetap menjadi tirta baginya. Namun, rasanya semua itu tutur belaka. Pasalnya sampai saat ini ia tak pernah mencariku. Bahkan untuk sekedar mengucapkan ‘maaf’ kepadaku. Seolah ia berlepas diri. Pengorbananku seakan kandas. Asmara dibangun berdua, namun derita ditanggung seorang. Tak ingatkah ia dengan kata-kata manisnya. Tak ingatkah ia dengan ‘Dua insan yang hidup bahagia di sebuah istana’. Atau memang seorang dari dua insan itu bukan aku. Namun, ada insan lain yang ia nanti. Lalu mengapa aku yang seolah menjadi tujuan.
Empat tahun sudah aku menantinya. Masih berharap ia datang. Sampai akhirnya kejenuhanku muncul. Kuhentikan lamunanku. Aku bertekad menghentikan semua angan yang aku tahu itu tak akan pernah menjadi fakta.
Waktu berlalu. Aku tak ingin berharap lagi. Berusaha menghapus Fatih dari pikiranku adalah cara terbaik. Meski banyak kesan yang sulit dimusnahkan. Hari itu, setelah makan siang, kuraih ponselku. Sekedar menghilangkan kejenuhanku dan mengalihkan pikiranku terhadap Fatih. Kulihat berbagai suguhan media. Mulai dari bisnis sampai berita-berita hoaks. “Tak ada yang menarik” batinku. Aku scroll feed Instagram. Sampai pada kolom “Disarankan untuk anda”. Nama akun pertama yang kulihat adalah “Fatih_anshori”. Dengan profil foto penggunanya, berdiri di depan tugu bertuliskan “UNIVERSITAS INDONESIA”. Rasa penasaran semakin menjadi. Aku pikir itu Fatih. Hem, padahal aku sudah berniat melupakannya. Namun, apalah daya. Ibu jariku tak bisa dilarang.
Akhirnya dengan jantung berdetak kencang. Kubuka akun itu. Semakin meyakinkan ketika kulihat sekilas, ada gambar gerbang pesantrenku dulu di daftar postingannya. Meski aku belum melihat wajah jelas pemiliknya. Aku terus menelusuri. Sampai pada baris kedua postingannya. Kulihat seperti sebuah undangan digital. Lagi-lagi tak bisa kutahan kenakalan jariku. Kubuka postingan itu. Dan benar, undangan digital. Kusimak vidio itu. Mataku melotot saat membaca pembukaan vidio. Disana tertulis “Wedding Invitation, MUHAMMAD FATIH ANSHORI & JIHAN ALMEERA” dilengkapi caption penuh kebahagiaan. Kuremas poselku. Air mataku kembali mengalir deras. Lukaku belum pulih. Aku belum lupa perjalanan manisku dengan pria itu. Perjalanan yang menghantarkan kami pada sebuah petaka. Bahkan sampai saat ini kaki kananku masih merasakan sakitnya. Semakin sakit ketika mengulang memori itu. Air mataku semakin deras. Namun, suara bising disertai getaran tiba-tiba mengalihkan tangisku.
Kriiing… kriiing… ternyata suara itu datang dari ponsel yang kugenggam. “Panggilan, Jihan”. Seketika kuhapus air mataku. Sejenak menarik napas. Berusaha memulihkan suaraku. Agar tak nampak bersedih.
“Assalamu’alaikum,” ucap Jihan. “Wa’alaikumussaam. A…ada apa Han?” “Em… jadi begini Qil. Besok aku akan merayakan anniversaryku dan Fatih. Aku mengundang keluarga dan teman-teman dekatku. Kamu kan sahabat baikku. Jadi kuharap kamu bisa datang ya,” jawabnya.
Itulah Deposito Laraku. Yang sampai saat ini masih terus tersimpan. Entah sampai kapan.
Cerpen Karangan: Septi Apriliani Blog / Facebook: Septi_halwey Septi Apriliani. 20 tahun. Lahir pada 10 April 2000 di Rejosari, Natar, Lamsel. Mahasiswi aktif di STIT Darul Fattah Bandar Lampung. Menjadi salah satu penulis buku antologi berjudul “Tikungan Waktu”.