Dingin malam kala itu semakin marasuk ke dalam tubuhku yang sedang terduduk sendiri sambil berselimut. Heningnya malam pada saat itu juga mewakili perasaanku dikarenakan tidak ada kabar sama sekali dari kekasihku dan seharian mengerjakan tugas sekolahku.
Beberapa menit kemudian, dering telepon berbunyi “Hallo.. Sayang..” ucapku. “Mmmm.. kamu sibuk ga? aku mau ngomong nih sama kamu” “Ngga sayang, aku nggak sibuk kok. Emang kamu mau ngomong apa?” tanyaku dengan hati yang berdebar-debar penuh dengan kecemasan. “Mmmmmm..” “Apa sayang?” ucapku. Hatiku makin berdebar-debar. Aku mencoba untuk berpikir positif.
Setelah Bintang diam sejenak, akhirnya dia mau berbicara. “Aku sudah tidak bisa menemanimu lagi, nggi!” ucap Bintang, pacarku.
Memang akhir-akhir ini Kunto sering menghindar dariku. Entah apa yang membuatnya menjauh dariku sampai akhirnya dia berani memutuskanku pada malam itu. Aku sudah tidak tahan untuk menyembunyikan air mataku, lalu aku pun menangis seraya memeluk gulingku dengan erat, membayangkan jika guling itu adalah Bintang. Aku ingin memeluknya, dan rasanya aku juga ingin menamparnya.
“Kenapa kamu tiba-tiba memutuskan untuk pergi dariku? Apa yang salah dari diriku? Apa aku kurang memberikan perhatian padamu? Apa aku kurang cantik? Apa Bintaaaang? Apaaaa?” ucapku, dengan nada sedikit berteriak sambil memeluk gulingku agar setidaknya bisa sedikit menutupi intonasiku yang cukup tinggi di tengah keheningan malam. “Tidak ada yang salah darimu, Anggi. Terimakasih ya.. selama ini kamu sudah menjadi kekasihku, sudah mau menerima kelebihan dan kekuranganku, dan kamu sudah baik dan sayang banget sama aku. Aku akan bahagia jika kamu juga bahagia”
Aku yang semakin tidak mengerti dengan penjelasannya kemudian bertanya “Maksud kamu apa sih, tang? Aku cintanya sama kamu bukan sama orang lain. Aku sekarang sama kamu. Kamu kok ngomongnya ngelantur gitu sih? Kalo ada masalah cerita dong jangan mutusin aku kaya gini” ucapku dengan nada kesal. Setelah mendengar jawabanku, Bintang tiba-tiba menutup teleponnya tanpa ada sepatah kata pun. “Hallo.. Halloo..” ucapku.
Sejak hari itu, pagi ke pagi kulalui dengan hati yang penuh luka. Aku memang tidak biasa tanpanya. Tapi aku harus kuat dalam menghadapi ini semua. Semua ini memang sudah suratan takdir yang Maha Kuasa. Aku tak bisa mengelaknya.
“Tok tok Tok.. Anggi..”, bunyi pintu diketuk-ketuk. Entah siapa yang datang. “Iya sebentar..” aku segera ke bawah untuk membukakan pintu. “Eh, Alin. Ayo masuk! Sebentar ya aku ambilin minum dulu” “Oke, Nggi”, sahutnya.
Alin dan Bintang sudah bersahabat sejak SMP hingga sekarang. Aku dan Alin sudah sejak lama dari sebulan lalu tidak bertemu. Aku menduga kalau dia adalah orang suruhan Bintang untuk menyampaikan alasan mengapa dia memutuskanku malam itu. Tanpa basa-basi aku menanyakan alasan hubunganku yang kandas dengan Bintang.
“Lin, kamu tau ngga kenapa Bintang mutusin aku lusa kemarin?”, tanyaku. “Mmmmm.. sebenernya aku juga mau ngomong soal itu sih sama kamu”, ujarnya. “Ayo dong cerita! Aku mau tahu Lin..”, aku berbicara dan mulai menangis.
“Begini, nggi.. sebelum dia mutusin kamu, dia lagi pergi sama aku di Café Chia tempat biasa kita nongkrong. Dia di sana cerita kalo dia punya penyakit paru-paru udah dari tiga bulan yang lalu dan itu tidak ada yang tahu. Hanya aku yang tahu. Aku pengen banget bilang ke kamu sesudah dari sana, tapi dia ngelarang aku buat gak bilang ke kamu. Waktu itu dia ada kepikiran buat mutusin kamu karena dia gak pengen kamu khawatir soal penyakitnya. Dia sebenarnya ngga tega buat mutusin kamu, tapi setelah dia pikir-pikir akhirnya dia mutusin kamu di hadapanku.” “Ya ampuuuun.. Kenapa sih dia jahat banget gak bilang sama aku kalo dia punya penyakit itu. Aku tuh pacarnya. Kalo khawatir ya wajar dong. Terus sekarang dia dimana? Aku mau ketemu dia!”, kataku sambil mengusap ingusku yang mulai keluar dan hatiku yang sedang kacau.
Saat sampai di Rumah Sakit aku langsung menemuinya dan kondisi saat itu dia lagi sadar dari opnamenya. Sontak aku langsung memeluknya dan disitulah aku memulai mengobrol.
“aku sayang sama kamu, apapun keadaanmu aku bisa menerimamu. Tolong jangan suruh aku pergi atau meninggalkanku karena kondisimu”. Ucapku sambil memeluknya dengan perasaan sedih melihat kondisinya. “Aku mutusin kamu karena aku sudah tidak bisa menjagamu lagi, seperti yang kamu lihat sekarang, inilah keadaanku”. Jawabnya sambil meneteskan air mata.
Aku tidak terima dengan jawabannya, sehingga aku marah dan membantah perkataannya. “Aku nggak seperti itu, aku sudah menerimamu apa adanya. Gak ada laki-laki satu pun yang bisa membuatku bahagia selain kamu! Aku bukan pacar yang menemani dikala kamu sedang bahagia atau senang saja, tetapi aku juga kekasihmu yang mau menerimamu disegala kondisi apapun itu!” kataku yang keluar dari perasaanku.
Setelah menemuinya, aku baru menyadari bahwa dia bersikap seperti ini kepadaku karena dia menyayangiku dan dia juga tidak mau jika aku masuk dalam permasalahannya, serta intinya dia tidak bisa melihatku sedih dan menangis karena aku terus memikirkannya.
Cerpen Karangan: Firda Nuril Faizah Blog / Facebook: Firda Nuril Azifah