Piiip…!! Suara klakson panjang sebuah mobil memecah deru kendaraan yang lalu lalang siang itu. Mobil itu pun berhenti tepat di hadapanku. Dari balik riben kaca mobil samar-samar tampak dua orang berada di baliknya. Saat itu aku sedang nikmat-nikmatnya menyeruput es bobaa pinggir jalan. Cuaca cukup panas hingga membuat kerongkonganku terasa kering kerontang.
“Aldi!” Suara itu, setelah kaca mobil terbuka dan kudapati sosok gadis cantik bertopi dengan kacamata hitam pekat bersama seorang pria paruh baya, yang kutahu pasti gadis itu adalah Rihanna dan pak Ujang, sang sopir. Rihanna! Pekikku dalam hati sesaat ia turun dari fortunernya. Deg! Jantungku berlomba. Selalu saja begitu tiap awal bertemu dengannya.
“Lagi ngapain?” lanjutnya dengan senyuman lebarnya. Suaranya renyah. Rasa es bobaa yang manis ini kian manis saja demi melihat senyuman dengan deretan gigi putihnya yang berjejer rapi itu mampir di pelupuk mataku. Sumpah, aku tidak pernah bosan melihatnya.
“Ini!” Balasku singkat sambil memberikan isyarat dengan mengacungkan gelas plastik di tanganku. “Wah, asyik. Bagi dong!” Serunya mendekatiku seraya coba meraih gelas plastik di tanganku. “Eiits, enak aja. Pesan sana.” Selorohku. “Hmmm, dasar pelit!” Cibirnya lucu sembari bibir mungilnya dimonyongkan sedikit. Bukannya jelek, malah tambah cantik. Aku hanya tertawa geli. Kacamatanya dilepas dan diletakkan diatas topi mungil yang dipakainya.
Setelah memesan dua gelas es boba yang satunya diberikan kepada pak sopir, ia kemudian bergegas ke arahku. Mengambil posisi duduk yang sama di tepi trotoar jalan di cuaca yang terik ini. Seolah tak peduli dengan suasana di sekitarnya. Tak peduli dengan statusnya yang anak gedongan duduk bersamaku di trotoar jalan sambil menikmati minuman kelas ekonomi lemah sepertiku.
Dengan santai pula ia menyeruput minuman itu dan tampak sangat nikmat di tenggorokannya Bibirnya yang mungil, menari nari di ujung pipet. Kepalanya yang ditutup topi mungil warna merah sampai bergoyang pelan ke kiri dan kanan saking menikmatinya. Aku sangat senang melihatnya. Pandangannya lurus ke depan seolah menghitung kendaran yang lalu lalang di depan kami. Di balik kaca mata hitamnya, terlihat sesekali ia melirik ke arahku sambil tetap menyedot minuman itu. Sadar jika kuperhatikan, ia menoleh ke arahku. “Kenapa, kok ngeliatnya begitu amat?” tanyanya sewot. Uupz! Tertangkap basah deh. Aku pura-pura menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Ah, jadi salah tingkah. Demi melihat sikapku itu, ia terbahak-bahak memamerkan giginya yang putih dan sempurna.
Masih segar diingatanku, pertemuan terakhir itu berlangsung beberapa tahun lalu saat aku pulang dari tempat kerja. Saat itu kami bertemu tanpa sengaja. Tanpa ada janjian seperti biasanya. Kami pun menggunakan kesempatan itu mengobrol panjang lebar. Mulai soal study, pekerjaan, sampai masa depan. Hanya sebatas itu, tanpa melibatkan perasaan. Namun, kesannya bagiku sangat mendalam. Aku sangat senang bisa berjumpa dengannya, dan betah berlama-lama. Kunikmati kebersamaan itu sepenuh hati karena aku tidak yakin akan bertemu lagi nanti. Hari itu ia pamit hendak melanjutkan studinya dan kuliah di luar negeri.
Rihanna tipe cewek ceria dan energik. Cantik tentunya. Dia sahabatku semenjak di SMP. Hingga SMA pun kami masih satu sekolah walaupun beda jurusan. Tamat di SMA Nusantara Jaya, ia ingin melanjutkan pendidikannya ke negeri jiran, Malaysia. Sementara aku memilih kerja sambilan karena belum punya biaya untuk kuliah.
Bisa dimaklumi, karena Rihanna bukanlah cewek biasa. Dia orang berada. Bahkan sangat berada. Putri tunggal seorang pengusaha sukses dan kaya raya serta terkenal di kotaku. Sudah cantik, kaya pula. Banyak pria menanti cintanya. Dan setahuku, semuanya cowok tajir. Sedangkan aku? Aku hanya seonggok daging yang nyambi sebagai penulis lepas sebuah majalah. Tampang juga pas-pasan. Ekonomi pun kembang kempis. Namun kutahu pasti, Rihanna belum punya pujaan hati. Entah mengapa. Padahal jika ia mau, dengan mudah ia bisa mendapatkan pasangan yang mapan dan sepadan dengannya. Ditopang harta yang melimpah dan masa depan yang menjanjikan serta ditunjang dengan wajah yang menawan, tentu antrian barisan hati lelaki yang mengharapkan cintanya.
Kerap kali jika kami jalan bersama saat pulang sekolah, ada saja mobil mewah berbagai merk yang sekedar menyapa atau menawarkan jasa untuk mengantarnya pulang, meski kutahu Rihanna punya sederet mobil wah di garasi mobilnya. Ke sekolah setiap hari bisa saja naik mobil pribadi atau paling tidak, diantar jemput oleh sopirnya. Hal membuatku terkadang jadi rishi dan rendah diri. Aku cowok kere sedangkan dia tuan putri. Hingga merasa tak pantas untuk jalan bareng dengannya. Namun hal itu tidak lantas membuat Rihanna jadi berubah apalagi sombong. Ia tetap bergaul dengan siapa saja. Persahabatan diantara kami pun tetap terjalin, hingga akhirnya kami berpisah karena Rihanna kuliah di luar negeri.
Namun semenjak berpisah dengan Rihanna, rasanya ada sesuatu yang hilang dariku. Selain keceriaannya, aku merasakan kehilangan sesuatu yang sepertinya berat aku lepaskan. Ya, jujur saja. aku menyukainya. Sayang bahkan. Beni-benih cinta itu sudah lama bersarang. Tapi perasaanku selama bersama Rihanna aku pendam dalam-dalam. Tak pernah kuutarakan padanya. Aku pun tak ingin Rihanna tahu hal itu. Khawatir persahabatanku jadi hancur karena melibatkan perasaan (Selain alasan takut ditolak tentunya!). Mungkin itu juga yang membuatku bertahan dan berusaha tidak menggeser posisi Rihanna dengan wanita lain di hatiku walau secara de facto kami hanya sebatas sahabat. Namun jauh di hati kecilku, sangat mengharapkan jika suatu hari nanti ia sudi menempati relung hatiku. Mengisi hari-hariku indahku.
Pernah suatu saat kami duduk bersama, tak sengaja kami beradu pandang dan saling melempar senyum sehingga membuat kami berdua jadi salah tingkah dan tertunduk malu. Rihanna sampai menutup wajahnya dengan kedua tangan saking malunya. Tingkahnya lucu namun menggemaskan. Aku berusaha menahan tawa. Ah, rasanya ingin kuulangi setiap saat moment indah dan langka itu. Sesaat namun sangat berkesan. Tapi bagiku, memiliki cinta Rihanna bagai sebuah dongeng di alam mimpi. Aku hanya dianggapnya sebatas sahabat. Tidak lebih. Begitu batinku selalu. Walau sekali lagi, tak pernah sekalipun kuungkapkan rasa sayang ini padanya. Entah, apa ia membaca perasaanku selama ini atau tidak. Aku cuma berharap semuanya berjalan normal, layaknya sebagai teman dan sahabat. Itu lebih penting saat ini. Meski perasaan itu berkecamuk tiap kali berada di dekatnya.
Kenangan terakhir yang masih tersisa dari Rihanna adalah sepucuk surat dengan sampul berwarna biru, warna kesayanganku. Ya, Rihanna sangat mengenalku bahkan sampai ke hal-hal yang kecil sekalipun. Nah, saat kami bertemu dan minum bareng es boba itulah ia memberikan sebuah surat. Bahkan aku masih sempat menggodanya.
“Cie…cie, kayak anak kecil aja pakai surat-suratan!” Selorohku. Namun rupanya candaanku saat itu ditanggapi serius. Sorot matanya yang indah menatap tajam ke arahku tanpa berkedip sedikitpun hingga membuatku kaku, terdiam seribu basa. Kalau dulu aku berani menantang bahkan menikmati tatapan yang indah itu, kali ini nyaliku ciut. Seolah-olah aku berhadapan dengan sang hakim yang sedang menanti keputusan, dan surat itu adalah vonis penjara bagiku. “Jangan dibuka sampai aku kembali.” Pintanya datar saat itu. Aku hanya mengangguk lemas, seperti tak merelakannya pergi. Wajahnya tertunduk lesu setelah menyerahkan surat itu. Ada gurat sedih bergelayut di wajahnya. Ada apa denganmu Rihanna? Gumamku dalam hati. Ini bukan dirinya. Rihanna yang biasanya ceplas-ceplos, main to the point, mendadak berubah. Namun baru saja aku ingin membuka suara, Ia sudah memunggungiku, berbalik melangkah dan berlalu tanpa menoleh atau berkata apa-apa. Seolah itu jadi isyarat bagiku, jika ia tidak akan kembali lagi. Aku hanya tertegun atas sikapnya itu. Kupandangi sosoknya hingga betul-betul lenyap di pelupuk mataku.
Surat itu kusimpan hingga kini, masih utuh tanpa pernah aku buka sesuai pesannya hingga ia kembali Apakah ini artinya ia akan melupakanku? Entahlah. Hingga hari ini aku tidak pernah mengetahuinya. Isi hati Rihanna pun aku tidak pernah tahu. Dan juga, aku tidak ingin tahu apa pun saat ini. Aku hanya berharap akan bertemu lagi dengannya suatu saat nanti. Bersama lagi. Hanya itu yang ada dipikiranku.
Hari ini, di tempat ini, di tepi pantai menjelang senja tempat kami biasa bersama melepaskan tawa dan senda gurau, bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke -21 tahun. Seperti tersentak dari lamunan dan tidak percaya, saat aku sadar bahwa hari ini aku sendiri. Tidak bersamanya lagi. Bahkan tak akan pernah bisa bersamanya lagi sampai kapanpun. Tidak akan pernah melihat keceriaannya lagi, serta senyumannya yang menawan dan selalu membuatku bertekuk lutut di hadapannya. Bagai mimpi. Ya, dia telah pamit untuk pergi tak kembali. Meninggalkan kenangan manis. Kenangan indah bersamanya yang hanya aku seorang yang tahu itu.
Dengan mata yang sembab, kutatap lekat-lekat surat itu dalam genggamanku. Hanya ini yang menjadi teman dalam kenanganku yang abadi bersamanya. Ada luka menghampiri jiwa saat kucium surat itu dalam segenap rasaku. Serasa masih ada wangi jemarinya di sana, namun terasa perih. Ternyata ini isyarat dan pesan terakhirnya kalau ia akan meninggalkanku. Selamanya. Ya, kini dia telah kembali. Kembali ke sisi-Nya dalam tidur panjangnya. Seperti yang pernah ia ucapkan untuk yang terakhir kalinya di hadapanku.
Jiwaku meronta, menjerit sejadi-jadinya. Seiring rinai hujan yang turun kian deras sederas air mata, yang seolah turut merasakan duka yang mendalam atas kehilangan sahabat sekaligus pujaan hati.
Tak kuasa lagi air mata ini kubendung, saat mengetahui isi suratnya. Sederet kalimat pendek namun mampu membuat hatiku remuk redam. Kesedihan dan penyesalan menyatu tak terperih rasanya. Menyesali diri tidak pernah menyatakan rasa sayang dan cinta ini padanya. Mengapa mesti saat ia telah tiada? Mengapa tidak dari dulu aku menanyakan perasaannya kepadaku? Mengapa aku tidak pernah menyadari jika ternyata selama ini, Rihanna menungguku untuk mengatakan walau sekedar kata sayang untuknya?
To: Aldiansyah
APAKAH KAMU MENYAYANGIKU?
(Rihanna)
Cerpen Karangan: Akhir Ngalle Blog / Facebook: akhir Ngalle / akhirngalle29blogspot.com Nama Lengkap, Akhiruddin. Nama pena: Akhir Ngalle. Lahir di Makassar 35 tahun lalu. Bungsu dari sembilan bersaudara. Hobby menulis dan membaca. Saat ini menempuh pendidikan S2 di salah satu perguruan tinggi di kota Makassar.