Banyak orang bilang, menyantap mie instan di malam hari apalagi dalam kondisi cuaca yang dingin, merupakan sebuah kenikmatan sederhana yang tak bisa dijelaskan, dan aku tahu hal itu, sudah sekian lama akhirnya aku memberanikan diri untuk menyantap mie instan lagi, aku pergi ke dapur untuk memasak mie instan kuah, rasa ayam bawang favoritmu, kutaruh ke dalam mangkuk, dan kuambil sepasang sumpit. Kemudian aku langsung bergegas kembali masuk ke kamar, kubuka jendela kamar hingga nampak purnama yang sedikit tertutup awan menemaniku malam ini untuk menyantap semangkuk mie instan. Mie yang kamu makan saat pertama kali kita bertemu.
Aku bekerja sebagai karyawan baru di sebuah kantor kecil di daerah Jakarta, saat jam istirahat kondisi sedang hujan dan aku berpikir menyantap mie adalah ide yang bagus, kemudian aku pun bergegas pergi ke warkop yang tak jauh dari kantor, menggunakan payung yang tersedia, sesampainya di sana aku bertemu untuk pertama kalinya denganmu, wanita cantik berkemeja biru dan rambut yang diikat sedang duduk makan mie instan sendirian. Jujur, saat pertama kali bertemu denganmu aku terheran-heran, “tumben sekali, ada wanita secantik dirimu ternyata bisa makan di tempat seperti ini, sendirian.” Ucapku dalam hati.
Setelah melipat payung, aku kemudian duduk tepat di sebelahmu, dan memesan mie goreng double pake telur favoritku. Selagi menunggu pesananku di masak sama abang-abang warkop, aku pun memberanikan diri untuk berkenalan denganmu karena, selama di kantor aku tidak pernah melihat orang sepertimu.
“Umm… Permisi, kamu anak di kantor Poernama yaa?” Tanyaku dengan berani kepadamu. Saat itu kamu menjawab pertanyaanku dengan sangat singkat, padat, dan jelas. “nggak, di kantor sebelahnya.” Memang benar, tepat di sebelah kantorku bekerja, terdapat kantor kerja yang lain. jaraknya hanya berbeda satu bangunan. “Oh kantor sebelah, kenalin Angga, dari kantor sebelah kamu!” Sembari menyodorkan tangan untuk bersalaman, “A-anggi.” Jawabmu ragu dan hanya menganggukkan kepala, aku tau kenapa kau menjawab dengan ragu, karena kita baru pertama kali bertemu dan nama kita mirip seperti anak kembar. Aku juga ikut terkejut kok saat pertama kali mendengar namamu. Sungguh hari yang indah waktu itu, hujan yang menenangkan, sepiring mie goreng favoritku, dan bisa berkenalan dengan wanita cantik sepertimu.
—
Entah kenapa mie instan ayam bawang malam ini begitu berbeda, mungkin saja karena aku sudah lama tidak memakan mie instan. Dan terasa lebih nikmat dengan aroma yang selalu mengingatkanmu, ingat nggak kamu waktu hari rabu sore itu, hari dimana kita sudah lumayan dekat, kita sudah saling follow di instagram, dan saling bertukar nomor Whatsapp, namun masih sebagai teman tentunya. Kita bertemu di warkop seperti biasanya, meskipun aku bertemu denganmu hanya sebulan 3 kali di tempat itu, mungkin walaupun kamu suka sekali dengan mie instan, tapi kamu masih memperhatikan kesehatanmu, tidak sepertiku yang hampir setiap hari datang ke tempat itu, antara ingin menyantap mie goreng favoritku atau sekedar minum kopi bersama teman.
Aku ingat waktu itu tiba-tiba kamu bertanya kepadaku. Perihal kucing. “kamu suka kucing nggak?” Tanya kamu “Kucing? ya suka dong, hewan lucu begitu.” Jawabku sambil menyeruput secangkir kopi. Walaupun aku suka kucing dan ingin memeliharanya, namun nasib berkata lain, ibuku melarangku untuk memelihara kucing, karena dia pikir aku tidak akan bisa merawatnya dan hanya akan menelantarkannya. Padahal itu tidak benar.
Aku pun berbalik bertanya, “Kenapa emangnya?” “Iya, aku kan punya kucing nih di rumah, kucing jenis anggora yang kunamai Kimo, dia itu ngeselin, tapi aku juga sayang sama dia, jadi nih ya, pas tadi pagi sebelum aku berangkat kerja, aku ngasih makan tuh buat dia, eh pas mau naro makanannya, akunya malah dicakar dong.” Sembari kamu menunjukkan 3 garis cakaran lumayan panjang di tangan kanan kamu. Aku pun membalas, “Mungkin dia mau disayang kali, nggak mau ditinggal kerja sama kamu.”
Apa kamu tau, baru-baru ini, aku memelihara kucing kampung dengan aksen warna hitam putih, ibu sudah yakin jika aku bisa merawat seekor kucing, mendengar hal itu membuatku senang dan juga terheran-heran. Kucing itu kuberi nama Kimo, iya nama yang aku ambil dari nama kucing peliharaan kesayanganmu. Sekarang dia sedang tidur nyenyak tuh di singgasananya
—
Malam ini angin berhembus makin dingin, memasuki kamar melalui jendela yang terbuka, sepertinya hujan akan turun malam ini. Kemudian kuambil mie dari dalam mangkuk menggunakan sumpit, iya, sumpit alat makan yang sering kamu gunakan ketika makan mie instan kuah ayam bawang kesukaanmu. Meskipun ada garpu dan sendok, tetapi kamu tetap memilih sumpit. Dan bagiku sumpit ini menjadi salah satu benda mati saksi perjalanan cinta kita, kamu ingat hari itu nggak, hari selasa ketika jam istirahat siang, kita berdua seperti biasa untuk makan mie instan favorit kita masing-masing. Dan entah kenapa warkop siang itu sangat sepi, hanya berisi tiga orang, aku, kamu, dan abang-abang warkop tentunya.
“Tumben bang warkop sepi?” Tanyaku sambil menyiapkan tempat untuk kita duduk. “Iya nih, tapi paling ntar juga rame, nih mas sama mbaknya mesen kayak biasa?” “Iya bang, yang kaya biasanya.” Jawabku.
Tak lama menunggu, makanan pun sudah siap untuk disantap dan aku pun bertanya iseng kepadamu, “Kenapa kamu kalo makan mie selalu pake sumpit, padahal kan ada sendok sama garpu.” “Ya nggak kenapa-kenapa sih, tapi ya menurutku makan mie pake sumpit itu menambah cita rasa dan nafsu makanku gitu, terus untuk kuahnya langsung aku uyup deh, itu lebih enak dari pada pake sendok, lagian warkop di sini, nyedian sumpit, jadi ya aku pake sumpit terus.” “Kamu coba deh pake sumpit, pasti rasanya jauh lebih enak gitu.” Ucapmu “Nah di situ masalahnya, aku nggak bisa cara make sumpit.” Jawabku malu-malu. “Astaga, ya udah sini aku ajarin caranya pake sumpit.” Sembari mengambil sumpit yang ada di tempat alat makan. Setelahnya kamu pun mengajariku cara menggunakan sumpit, mulai dari cara memegangnya sampai mencapitnya, tetap saja aku yang payah ini, tetap kesulitan dalam menggunakannya, mungkin membutuhkan banyak latihan agar bisa menggunakannya, gumamku.
Melihatku yang masih kesusahan menggunakan sumpit, kamu langsung mengambil garpu seraya berucap “Yaudah pake garpu aja nih, daripada kamu nggak bisa makan.” Mendengar ucapanmu aku hanya bisa menatapmu dan tertawa kecil saja.
Setelah selesai kita makan, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya, aroma jalanan yang terkena hujan menguap masuk ke dalam warkop, dan kita pun terjebak di sana, menunggu hujan reda. Di saat itu aku memberanikan diri untuk menyatakan perasaan yang sudah lama kupendam, jujur, waktu itu aku takut banget buat ngungkapinnya, pikiranku berkeliaran ke sana kemari tak tentu arah, tapi aku memberanikan diri untuk menyampaikannya. “Sebenernya aku udah lama suka sama kamu, mau nggak jadi pacar aku?”
Hening. Hanya terdengar suara ketukan-ketukan rintik hujan di atap warkop, suara kendaraan yang berlalu-lalang, serta suara air yang mendidih di dalam panci. Mendengar hal itu abang-abang warkop hanya terdiam mendengar ucapanku dan aku pun juga ikut terdiam, tak tahu harus berbuat apa, jantung berdegub dengan kencang pikiran sudah terbang kemana-mana, aku takut dengan jawaban darimu. Dan entah kenapa hawa menjadi terasa panas, keringat bercucuran meskipun dalam keadaan hujan.
Kamu mengangguk seraya berucap lembut, “Iya, aku mau.”
Meledak rasanya jantung ini mendengar jawabanmu, aku sangat senang hari itu, suara rintik hujan seakan-akan berubah menjadi melodi cinta ala-ala film India di telingaku. Dan abang-abang warkop pun ikut teriak gembira mendengar jawabanmu, dia pun menggratiskan makanan yang kita pesan, sebagai tanda perayaan kita hari itu, jujur, itu adalah hari yang indah dan juga absurd, menembak wanita yang dicintai di dalam warkop, seakan tidak ada tempat lain untuk melakukannya. Sungguh hari yang sangat-sangat indah.
Cerpen Karangan: Tri Adhi Yudha Blog: bingungnulisapa.medium.com Manusia yang ingin belajar caranya menulis