Diiringi angin yang makin menusuk, suap demi suap mie kumakan, dan kuuyup kuahnya. Kehangatannya mengalahkan dinginnya angin yang berhembus. benar katamu, mie instan kuah, rasa ayam bawang kesukaanmu, ternyata tidak begitu buruk dibanding dengan mie goreng favoritku.
Apa kamu ingat setelah beberapa bulan kita berpacaran aku pun datang ke rumahmu, disaat pasangan lain mungkin memesan makanan seperti ayam bakar, ayam geprek, bakso, dan apapun itu segala makanan yang ada di bumi, kita malah tetap memasak mie instan, seakan mie instan adalah makanan khas bagi kita, sampai pada akhirnya kamu bertanya kepadaku.
“Aku perhatiin, kamu nggak pernah makan mie kuah ya.” Tanyamu penasaran. “Iya nggak suka, ribet ada kuah-kuahnya, pas ngaduk kuahnya nyiprat ke mata lah, kalo tumpah ribet lah, lebih praktis mie goreng, kalo udah abis yaudah nggak usah diapa-apain lagi.” “Ih lebih enak mie kuah tau, lebih kenyang gitu, terus makan pas cuaca dingin kuahnya itu loh, ngangetin gitu.” “Tetep aja goreng yang terbaik!” “Kuah yang terbaik!” “Goreng!” “Kuah!” Kita pun saling tatap dengan perdebatan sepele itu, dan pecahlah tawa dari kita berdua, benar kata orang-orang, hal sepele yang dilakukan bersama pasangan, itu terasa lebih spesial.
“Tapi kapan-kapan cobain mie kuah kesukaanku ya? “Iya janji, kucobain kalo inget dan bakal makan pake sumpit.” Jawabku, Sambil menyodorkan jari kelingking.
Tak lama setelah itu, kita duduk di sofa menghadap jendela dan terlihat rintikan hujan turun perlahan hingga semakin deras, aku sempat bingung dengan hujan, setiap ada kita berdua, mie instan, pasti akan ada juga hujan, seakan mengikat menjadi satu kesatuan di hubungan kita berdua.
“Wah, hujan, kamu suka hujan nggak? Kalo aku sih suka banget, kayak suara hujan itu bisa bikin aku tenang, meskipun beberapa orang nggak suka hujan, tapi aku suka banget sih.” Ujarmu. “Aku juga suka hujan kok, bener kata kamu, suara hujan itu bisa bikin tenang, setelah hujan berenti pun, entah kenapa aku ngerasa suasana jadi damai banget, dan aku juga yakin kalo hujan itu anugerah yang indah,” Kamu pun mengangguk, setuju.
Kemudian aku melanjutkan ucapanku, “Iya anugerah, kamu tau nggak, gara-gara hujan juga yang bisa bikin aku ketemu kamu di warkop itu, aku yang memberanikan diri buat kenalan sama kamu, meski ya, kamu masih jutek banget waktu itu, wajar juga sih, namanya juga baru pertama kali ketemu, mungkin kamu juga takut aku culik waktu itu.” Kamu hanya terdiam mendengarkanku bercerita.
“Kita aneh ya, nama kita mirip, Angga dan Anggi, makanan kesukaan kita juga mirip, mie instan, bahkan kita berdua sama-sama suka hujan. Terus pertama kali kenal di warkop, deket juga di warkop, sampe jadian pun di warkop, kayaknya abang warkop bakal aku undang deh, kalo kita nikah nanti. Jadian di warkop itu bagian paling absurd sih, padahal waktu itu rencananya setelah pulang kerja, aku pingin ngajak kamu pergi muter-muter pake motor sekalian nyari tempat yang cocok gitu buat nembak. Gara-gara hujan, jadinya nembak di warkop deh dan aku juga udah nggak bisa nahan sih.” Ucapku
“Mungkin, memang hal kesukaan kita yang bikin kita sampe di titik ini, jadian di warkop, sedikit absurd sih, tapi itu unik kok, kapan lagi kan ada pasangan yang jadian di warkop, kayaknya kita doang deh, tempat mah nggak masalah buat aku, memori dan momen yang tercipta, itu yang paling penting. Dan setuju juga sih, kalo kita undang abang warkop kalo nikah nanti.” Ujarmu dibarengi tawa kecil.
Mendengar ucapan dari bibirmu, semakin meyakinkanku jika kita memang ditakdirkan untuk bersatu. Kita pun melanjutkan obrolan diiringi suara hujan, dari belakang sofa muncul makhluk berbulu abu-abu datang menghampiriku, iya itu adalah kucingmu si Kimo kemudian ia duduk di pangkuanku sembari ku elus pelan badannya, kita bertiga, aku, kamu, dan Kimo, duduk bersama melanjutkan obrolan dan tenggelam bersama suara hujan yang makin deras, dalam kebahagiaan.
—
Malam ini, sudah kuhabiskan setengah mie instanku, dan kemudian, benar saja hujan pun turun, hujan malam ini berbeda, tiba-tiba membuatku sangat ingin bertemu denganmu untuk menemaniku malam ini. Satu kesatuan ini kurang tanpamu, hujan, mie instan, aku, dan kamu yang tidak ada disisiku, hujan saat ini tidak membawa kebahagiaan bagiku, ia hanya membawa rindu kepadaku, ada yang pernah berkata, “hujan membawa rindu, kata orang yang sedang merindu,” dan akulah orang itu.
Hujan ini selalu mengingatkanku pada waktu itu, tepat setelah satu tahun kita berpacaran. pada waktu libur bekerja kamu berencana pergi liburan bersama teman kantormu, pagi itu aku mengantarmu ke kediaman rumah temanmu yang menjadi titik pertemuan, entah kenapa sejak pagi saat aku mengantarmu, aku dihantui perasaan yang tidak nyaman.
“Kamu yakin jadi mau pergi?” Tanyaku dengan nada yang merendah “Iya dong jadi, masa nggak jadi sih, ini aja tinggal nungguin satu orang lagi si Tini, kenapa emangnya?” “batalin aja bisa nggak? liburan bareng aku aja, minggu depan aku udah libur kerja kok.” Ucapku masih dalam keadaan cemas. “Ya nggak bisa dong ngga, kan aku udah janjian sama yang lain, masa dibatalin gitu aja.” Ujarmu. “Tapi…” Belum sempat menyelesaikan perkataanku, tiba-tiba Tini sudah datang di tempat pertemuan. “Tuh Tini udah nyampe, kita mau siap-siap dulu nih.”
Aku yang terdiam, hanya bisa melihatmu memasukkan tas ke dalam bagasi mobil itu, setelah selesai dengan semuanya, kamu datang mengampiriku, memelukku, dan berucap, “Pacarnya mau pergi liburan dulu ya?” aku memelukmu sangat erat waktu itu, seakan kita tidak akan pernah bisa bertemu kembali, kemudian aku memegang erat tangan kananmu, tak ada rasa ingin untuk melepasnya, kamu kemudian menggenggam kedua tanganku dan berkata, “Udah, nggak apa-apa, nanti kalo aku udah sampe, aku kabarin.” Setelah mendengar ucapanmu, aku perlahan bisa melepaskan genggamanku.
Aku hanya bisa memandangimu ketika kamu pergi ingin masuk ke dalam mobil itu. Sebelum kau benar-benar masuk ke dalam mobil. Kamu tersenyum dan berkata kepadaku. “Dadah, sampai ketemu lagi ya.” Senyum itu, senyum yang tidak bisa hilang dari ingatanku. Dan tak kusangka akan menjadi senyum terakhir yang kau berikan kepadaku.
—
Malam ini, hanya tersisa satu tegukan terakhir dari kuah mie instan ayam bawang kesukaanmu, hujan pun masih turun dengan derasnya yang menghasilkan bunyi di atas atap kamarku. Tak hanya itu, sudah tak kuat aku menahannya ia ikut turun dari kedua mataku membanjiri pipi ini, sejak kejadian itu membuatku marah pada diriku sendiri, seandainya aku bisa lebih tegas waktu itu, mungkin kamu masih bisa terselamatkan dan tetap bisa berada di sisiku.
Hal itu juga membuatku menghindari hujan, menjauhi mie instan, dan menjauhi warkop kesukaan kita, karena ketika memikirkan ketiga hal itu, selalu membuka ingatan akan dirimu, temanku selalu mengingatkan ku untuk bisa bangkit dari masalah ini, memang mudah untuk diucapkan, tapi sangat sulit bagiku untuk melakukannya. Tapi malam ini perlahan aku sudah bisa kembali menyantap mie instan, perlahan sudah bisa menemukan lagi ketenangan yang dihasilkan hujan, meskipun masih terngiang akan dirimu.
Semangkuk mie instan sudah kuhabiskan tak tersisa, ku masih mencoba mengusap-usap air mata yang tak kunjung berhenti, dan hujan pun, perlahan-lahan mulai mereda bersamaan dengan masalah yang kupikul, mengubah suasana dan diriku menjadi lebih damai, serta aku bisa damai, untuk melepaskan kepergianmu.
Sekali lagi benar katamu, Mie instan kuah, rasa ayam bawang, dimakan menggunakan sumpit, memanglah yang terbaik.
Cerpen Karangan: Tri Adhi Yudha Blog: bingungnulisapa.medium.com Manusia yang ingin belajar caranya menulis