Bisakah aku memohon kepada Tuhan agar kita bisa bersama? Bisakah kita menjalani cinta ini tanpa adanya sebuah penghalang? Bisakah kata ‘seandainya’ yang kini kita dambakan terwujud? Tapi inilah takdir, Sebuah alur cerita yang telah dirangkai rapih oleh sang maha kuasa. Yang hanya tinggal menjalani dan menerima apa yang telah digariskan. Termasuk jodoh.
Setiap menit yang berlalu seakan menekan dada yang sudah rapuh tertimbun beribu-ribu perasaan yang menyesakkan. Setiap hembusan angin yang melewatinya malah seakan mengambil seluruh oksigen yang ada sampai ke paru-paru.
Tubuh itu terduduk gemetaran dengan penuh antisipasi, ia harus mengakhirinya sekarang sebelum dia sendiri yang tenggelam di bawah jurang yang ia buat dan perasaan yang menggila yang akan mengambil alih seluruh akal sehatnya.
Hari sudah mulai senja, tapi perempuan itu enggan untuk meninggalkan tempatnya. Menunggu, untuk mengakhiri. Menunggu, untuk membuat luka akhir yang akan lebih lebar lagi. Menunggu, untuk membuat sinar baru untuk kedepannya.
Perempuan itu menggigit bibir bawahnya, keringat dingin mengalir di dahi, ini adalah hal terakhir yang diinginkannya, ini keputusannya dan ini adalah penyelesaian atas masalah yang ia buat sendiri.
Penyesalan tidak ada gunanya untuk saat ini. Terlambat jatuh cinta, ya… mungkin itu kata yang cocok untuk menggambarkan keadaan saat ini. Kesalahan yang begitu fatal karena telah mencintai saudara laki-laki —dari suaminya, Reza yang sudah sah sejak kemarin— saat menjelang hari pernikahannya.
Caranya tertawa, setiap tingkah lakunya telah membuat Selly jatuh cinta dan rupanya sang lelaki pun merasakan hal yang sama, tapi terlambat bagi mereka berdua untuk menjalaninya. Seandainya Selly telah lebih dulu menemukan Aldi, mungkin sekarang Aldi lah yang menjadi suaminya. Tapi takdir sudah menggariskan yang lain. Dia harus mengakhiri perasaan terlarang mereka berdua.
“Selly…” Panggilan itu menyentakkannya dari lamunannya, ketika matanya beradu pandang dengan mata Aldi tiba-tiba tidak bisa menahan rasa perih yang masih menekan di hatinya. Selly melihat mata itu penuh dengan sorot luka, sama sepertinya. Tapi sekarang sudah bukan waktunya untuk bersedih-sedih lagi, dia harus tegar kali ini.
“Hai Aldi, apa kabar? Kemarin aku tidak melihatmu datang ke acara pernikahanku, kenapa?” Selly mencoba berbasa-basi untuk sedikit memecahkan rasa canggung yang besar ini, dia menampilkan senyum tegarnya untuk menutupi perasaan sebenarnya, perasaan rindu yang meluap.
Aldi masih menatap mata Selly dalam, dia sangat merindukan gadis ini, ingin rasanya dia memeluk Selly tapi segera ia membuang pandangannya kearah lain. Ia tidak sanggup melihat Selly. “Kau tahu bagaimana keadaanku, kemarin aku tidak datang takut akan merusak hari bahagiamu,” katanya dengan pandangan lurus kearah kolam yang ada di taman itu.
Selly yang melihat Aldy enggan menatapnya, lekas menarik lengan pria itu agar duduk di sampingnya. Perempuan itu menghela napas. “Disini bukan kau saja yang merasakan sakitnya, tapi kita berdua. Kau tahu perasaanku yang sebenarnya, aku mencintaimu. Sangat. Tapi aku sudah menikah sekarang, perasaan ini terlarang. Kuharap kau mengerti…”
“Kalau begitu kau ikut aku saja! Kita kawin lari!” Aldi segera memotong perkataan Selly, mendengar hal itu membuat Selly membelalakkan matanya tidak menyangka. “Apa kau sudah gila? Kau pikir aku wanita apa? Aku memang mencintaimu, tapi akal-ku masih waras dan aku mempunyai harga diri. Itu sama saja kau merendahkan aku!” Selly marah, dia benar-benar marah, selain karena itu menjatuhkan harga dirinya, dia tidak menyangka bahwa Aldi memiliki pikiran sekonyol itu.
Aldi yang mengetahui bahwa Selly marah karena ucapannya segera mengelak. “Maafkan aku, bukan itu maksudku… aku hampir gila bahwa aku terlambat untukmu dan kau yang menikah dengan saudaraku. Kau tahu, akan sangat sulit melepaskanmu, bahkan tidak bisa… aku… aku sangat mencintaimu, Selly.” Sebulir air mata mengalir di pipinya. Melihat itu hati Selly semakin teriris. Sangat perih. Pertahanannya hampir runtuh, dinding ini akan hancur sama seperti hatinya, tapi Selly mengulas senyum menenangkan dan berkata, “Kau tahu Aldy, sejak aku mengenalmu, dekat denganmu, dan kemudian jatuh cinta kepadamu kata ‘seandainya’ yang dulu tidak pernah aku bayangkan kini aku mengharapkannya.”
Ia menghela napas sesak, “Sendainya aku menemukanmu lebih dulu. Seandainya kamu yang mengisi hatiku yang pertama. Seandainya aku belum terlambat. Seandainya kamulah sosok yang pertamakali aku tatap kala aku menutup dan membuka mata, seandainya dan seandainya. Tapi kata ‘seandainya’ sudah tidak berlaku lagi Aldy, kita sudah punya jalan yang berbeda yang telah ditetapkan Tuhan. Kita… harus mengakhirinya.” Selly menangkup wajah basah Aldy karna air mata dengan sebelah tangannya, ibu jarinya mengusap lembut sisa air mata dari pipi lelaki itu dan ia membiarkan air matanya sendiri berjatuhan, biarlah hari ini menjadi air mata terakhirnya.
Selly memandangi Aldy lekat merekam seluruh wajahnya untuk terakhir kalinya dan ia sedikit memajukan dirinya dan mengecup kening Aldy lembut. Biarkan ini semua menjadi yang terakhir. “Selamat tinggal, sayang.”
Selly mendirikan tubuhnya dan mulai melangkah, tapi baru beberapa langkah ia berbalik dengan sebelah tangan mendekap dada dan membuat gerakan seolah-olah mengambil hatinya dari dalam tubuhnya dan membuangnya ke tanah. Hatinya untuk Aldy. Selly lalu berbalik lagi dan mulai melangkah menjauh dari taman itu, dengan air mata berurai dan menahan isakan.
Akhirnya semua berakhir.
Cerpen Karangan: Trianaura Blog / Facebook: Trianaura