Lima belas hari lagi. Jantungku semakin berdebar tanganku mulai berkeringat setiap kali melihat susunan tanggal tanggal di kalender yang menggantung tegak lurus di tembok kamarku. Suara kerumunan manusia yang didominasi kaum hawa terdengar sampai kamarku. Aku memalingkan wajah dari susunan tanggal tanggal dengan senyum selebar matahari dan menemui semua orang di rumahku.
“Berisik banget padahal masih pagi.” Candaku. “Kalau nggak berisik nggak seru.” Celetuk salah satu ibu sambil menggulingkan adonan ke tumpukan wijen. “Calon suaminya orang mana neng?” “Calon suami saya? orang baik baik bu.” Para ibu tertawa terbahak bahak mendengar jawabanku.
Hidungku terganngu dengan aroma seperti sampah busuk dan terasa lengket di semua penjuru tubuhku. Otakku sudah mengirimkanku signal agar kakiku terus melangkah melewati kerumunan ibu ibu dengan hati hati untuk menyegarkan tubuhku dengan mandi daripada meneruskan pembicaraan yang tanpa ujung.
Selesai mandi dengan sabun berorama sakura membuatku lebih segar. Lebih segar lagi ketika dua bola mataku menyaksikan notifikasi dari seorang yang menurutku sedingin es tapi juga sehangat matahari. “Sayang, aku on the way.” Wajahku memerah tanganku seperti mati rasa begitu membaca pesan dari calon suamiku.
Hari ini kami akan pergi untuk fitting baju pengantin dan mengambil foto prewedding. Di depan meja rias yang dipenuhi make up pikiranku seakan traveling membayangkan apa saja yang terjadi nanti. Jari jemariku mulai menyentuh peralatan make up dan mengaplikasikan secara perlahan pada wajahku.
“Dorr!!” Pintu terpelanting keras ke dinding. “Huh… jangan suka ngagetin orang!” aku meraba dadaku. “Ada kak Dito di ruang tamu.” Sambil membanting dirinya ke kasur.
Aku segera mempercepat langkahku ke ruang tamu dan kudapatkan seorang lelaki dengan hidungnya yang selancip duri mawar dan wajah yang sedingin es sedang diterpa sinar matahari yang melewati ventilasi rumahku membuatnya seperti lelaki paling tampan di dunia.
“Kamu dandan lama banget kayak siput.” “Kamu mau kan punya calon istri cantik.” “Ya mau.” “Ya harus sabar.” “Ya sudah, ayo berangkat.” Dito berdiri dan menggandeng tanganku.
Saat berhenti di lampu merah mataku tertuju pada suara bising keributan yang menggelegar antara lelaki dan perempuan. Kuperhatikan mereka dengan seksama. Perempuan berambut pendek sedang berbicara dengan sangat cepat hingga urat lehernya terlihat kepada laki laki tinggi berkulit sawo matang yang sedang menggandeng perempuan lain berambut panjang yang memegangi perutnya yang membuncit.
“Mereka nggapain lagi ribut di jalan.” Kata Dito sambil mengusap lututku. “Kayaknya yang laki laki selingkuh sampai buat anak orang hamil de…” Aku masih terus memperhatikan. “Sok tahu kamu…” “Lihat aja sendiri! kamu jangan gitu ya yang…” Aku mengelus pundak Dito. “Gak mungkin. Aku sayangnya cuma sama kamu.” “Semoga saja. Ayo jalan lampunya sudah hijau.”
Gas motor ditarik perlahan. Selama perjalan otakku masih teringat dengan kejadian yang ditangkap bola mataku. “Jika lelaki tadi benar selingkuh semoga saja hal itu tidak terjadi padaku.” Begitulah gerutuku dalam hati. Entah mengapa hati dan perasaanku menjadi tak tenang. Firasat? semoga saja tidak.
Setelah perjalan yang membuat pikiranku menjadi traveling akhirnya kita sampai di butik yang luasnya seluas gurun sahara. Ketika memasuki butik pelangi bulu badanku sampai berdiri karena dinginnya seperti es tujuh tingkat. Mataku terpana dengan kerlap kerlip yang menghiasi gaun warna warni yang terpajang di patung pada setiap sudut butik ini.
“Mbak Rena sudah datang. Mas Dito dimana?” “Mas Dito masih di motor lagi telepon sama temennya.” “Kalau gitu mbak Rena duluan fitting bajunya.”
Tangan putih nan lembut mbak butik merangkul pundakku diiringi hentakan hak tinggi warna merah muda. Mbak butik mengajakku ke ruaang ganti. Gaun berwarna putih awan dengan mutiara di seluruh bagian menarik perhatianku. Kukenakan gaun putih itu dengan hati hati. Bibirku otomatis menyunggikan senyum ketika melihat pantulan bayanganku di cermin. Senyumku memudar aku memalingkan kepala ketika telingaku terusik dengan suara keras dari Dito.
“Sayang, kamu marah marah?” “Ma.. marah marah? salah denger kamu.” Keringat mengucur deras didahinya. Dito gugup. “Terus kenapa gugup gitu?” Aku mendekatkan wajahku padanya. “Eh… kamu cantik banget pakai gaun itu.” Dia mendorongku menjauh. “Gausah ganti topik. Telepon siapa kamu sampai marah marah gitu?” “Bukan siapa siapa. Aku fitting dulu, kamu tunggu sini!”
Ada yang tidak biasa dengan sikap Dito. Aku mencoba menyangkal perasaan yang mengganggu itu. Suara notifikasi dari telepon Dito yang tergeletak persis di samping tasku membuat tanganku gatal untuk membukanya. “Dito, kamu harus tanggung jawab!” pesan itu membuat mataku tidak berkedip. Tanganku bergetar hingga membuat telepon itu jatuh. Aku terkejut, kakiku lemas hingga membuatku jatuh ke lantai.
“Mbak Rena kenapa? mas Dito! Mas Dito!” mbak butik berteriak hingga membuat semuanya panik. “Sayang kamu kenapa?” “Aku mau pulang… aku mau pulang.” “Iya kita pulang sekarang.”
Ada sekat tak terlihat antara aku Dito. Kami pun menjadi sedingin es kutub saat di jalan. Tak ada satu kata pun terucap dari mulutku dan Dito. Sampai akhirnya aku meminta Dito untuk menepikan motornya di trotoar dekat penjual bakso.
“Laper sayang?” turun dari motor. “Iya. Aku juga mau tanya sesuatu sama kamu.” Duduk di kursi penjual bakso. “Bang, bakso dua. Satu pedas satu biasa aja.” Teriak ke abang bakso “Kamu selingkuh kan?” “Kamu lagi sakit kan? ayo pulang aja!” Berdiri dan menggandeng tanganku. “Jujur sama aku.” Aku menangkis tangannya.
Dito mempermainkan ibu jarinya tanda sedang gelisah. Kepalanya hanya tertunduk. Dia tidak berani menatap mataku. Belum selesai aku menginterogasinya teleponku berdering. Teman terdekatku menelepon dia membuatku terkejut atas pernyataanya. Aku mengerutkan kening dan tanganku menggennggam kuat seperti akan menonjok Dito.
“Dasar berengsek!” “Kamu ngomong apa sih sayang?” “Bisa bisanya kamu selingkuh sama sahabatku terus dia hamil anak kamu!” “Aku bisa jelasin sayang.” Dito mencoba memelukku. “Sayang… sayang…. kamu jelasin aja ke orangtuaku.” Melepaskan pelukan Dito. “Taksi!” tanganku melambai ke arah taksi dan membuang cincin pertunangan di jalan.
Aku pulang ke rumah dengan tangisan yang menggemparkan alam semesta. Aku bersimpu, menunduk dan memeluk erat ibuku. Tubuhku gemetar tanganku mati rasa hatiku seperti ditusuk seribu pisau. Tidak ada kata kata yang sanggup keluar dari mulutku. Melihatku menangis gemetar ibuku juga ikut menangis menambah sedih suasana.
“Kenapa kak? mana Dito?” ayah datang dan duduk disebelah ibu. “Di… Dito selingkuh sama sahabatku sampai hamil.” Tangisku semakin kencang. “Sahabat kamu yang sering ke rumah? kurang ajar Dito.” Menggebrak meja.
Mendung sedang menyelimuti rumahku. Sama sekali tidak ada awan putih disini. Ayahku langsung menelepon orangtua Dito untuk datang ke rumah beserta Dito. Jarum jam terus bergulir ke kanan suara tarikan rem motor sudah terdengar. Berjalan dengan kepala tertunduk diikuti orang tuanya dibelakang, Dito memasuki ruang tamu.
“Maaf, apa Dito berbuat salah sampai Rena nangis.” “Dito sudah selingkuh sampai menghamili anak gadis orang lain. Saya mau pernikahan ini batal!” “Kita bisa bicarakan dengan kepala dingin pak.” “Ibu sama bapak pulang saja dan ajari Dito untuk menjadi manusia yang benar.”
Orangtua Dito kembali ke rumahnya beserta Dito. Kini semua persiapan di rumahku hanya sia sia. Tidak akan ada peristiwa sakral yang akan terjadi dalam lima belas hari lagi. Hati manusia seperti musim yang tidak dapat ditebak. Jika pun bisa, mungkin tebakannya akan meleset. Aku masih beruntung karena mengetahuinya sebelum pernikahan. Tuhan masih menyelamatkanku sebelum laki laki itu menghancurkanku.
Cerpen Karangan: Dimas Ayu Subekti