Aku selalu menganggap bahwa kenangan seseorang dapat dianalogikan sebagai bintang. Alasannya? Entahlah, aku hanya tahu begitu aja. Setiap malam ketika aku memandangi bintang-bintang di langit dari kamarku, aku selalu teringat akan kenangan-kenangan masa lalu yang indah. Seolah-olah, setiap bintang itu menyimpan memori yang ingin kita ingat selamanya.
Sebuah cerita rakyat lama di desa tempatku dulu tinggal berkata, ketika seseorang mati, bintang yang menyimpan memori mereka akan pecah menjadi serbuk yang berkilau. Serbuk ini akan terbang ditiup angin dan tersebar ke seluruh penjuru dunia, kemudian lenyap begitu saja. Itulah mengapa kebanyakan orang-orang tidak tidak dapat mengingat kenangan mereka di kehidupan sebelumnya. Juga alasan mengapa orang-orang bisa merasakan de javu ketika serbuk bintang orang lain yang telah tiada tak sengaja mendarat di orang yang salah. Lalu bagaimana caranya agar serbuk itu tidak tersebar ke mana-mana?
Orang-orang bilang Historian yang menyimpannya. Hanya ada beberapa manusia di dunia yang bisa memiliki seorang Historian. Ketika manusia itu mati, Historian akan menyimpan serbuk-serbuk bintang berisi memori manusia tersebut di dalam liontin kalung mereka yang berbentuk seperti botol. Tak ada yang tahu siapa sebenarnya Historian itu atau mengapa hanya ada sedikit manusia di dunia yang memilikinya, atau bagaimana caranya memiliki seorang Historian.
Aku nyaris melompat dari kursi piano ketika pintu kamarku yang sudah cukup reyot menjeblak terbuka. Seorang gadis berpostur ramping, berambut cokelat kemerahan, dan memiliki sepasang bola mata beriris hijau kecokelatan masuk dengan sebuah nampan di tangannya. Aku buru-buru menghentikan permainan pianoku dengan gugup.
“Maaf, apa aku terlalu berisik?” tanyaku merasa bersalah. Dia tersenyum manis seraya menyelipkan rambutnya yang sepanjang pinggang ke belakang telinga. “Tidak kok, aku hanya ingin mengantarkan camilan untukmu,” tuturnya dengan suara yang lebih merdu dari suara piano tua ini. Mau tak mau aku terpesona melihatnya.
Namun perhatianku juga terganggu dengan harumnya aroma roti yang baru saja keluar dari oven di atas nampan itu. “Apa ada sosis di dalamnya?” aku mengendus sepotong roti. Roti itu terasa lembut di tanganku. “Iya, tapi bagaimana kamu tahu?” Aku menanggapinya dengan cengiran lebar. “Hidungku sangat tajam, apalagi soal makanan.” Ia tertawa, memamerkan sederet gigi yang rapi dan putih dengan sepasang bibir yang merona merah muda alami. “Makanlah ini untuk mengganjal perutmu. Aku belum memasak apapun untuk makan siang.” “Dengan senang hati,” aku mengunyah roti putih yang lembut itu dengan lahap.
“Kapan kakek dan nenek kembali, Marien?” “Astaga, sudah kubilang jangan panggil mereka seperti itu!” Marien—gadis cantik itu—menoyor kepalaku pelan. “Biasakan dirimu untuk memanggil mereka Papa dan Mama.” Aku mengerucutkan bibirku. “Maaf, Mari. Jangan marah, ok?” Ia menghela nafas pendek. “Aku tidak marah, tapi hormatilah mereka. Berkat merekalah kamu bisa tinggal di sini. Kalau bukan karena mereka, kamu mungkin masih tinggal di bawah jembatan itu.” “Baiklah, tidak akan kuulangi,” aku menunduk. “Kalau begitu istirahatlah, Marien, biar aku yang memasakkan makanan untukmu.” “Eh? Tidak, tidak apa, kamu kan sedang memainkan piano itu,” katanya. “Aku sudah selesai, kok. Istirahatlah. Setelah makan nanti, biar aku juga yang menjaga toko. Kamu tidak boleh kelelahan lagi,” kugenggang kedua tangannya yang halus.
Ketika Marien akhirnya setuju, aku cepat-cepat menghabiskan roti yang telah kugigit dan menuruni tangga loteng menuju dapur. Sejujurnya, aku tidak tahu cara memasak mashed potato dan ayam panggang yang biasanya menjadi makanan sehari-hariku di sini, tetapi aku tahu cara memasak tuna kalengan. Kurasa aku bisa membuat roti isi tuna dengan mayonnaise.
Marien memiliki jantung yang lemah sejak ia lahir. Ia tidak bisa berlari, melompat, terlalu gugup, terlalu senang, terlalu marah, terlalu gelisah, apapun yang membuat jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Walau begitu, Marien masih boleh membuat roti atau kue, salah satu kegiatan favoritnya. Semua yang dihasilkan oleh tangannya begitu enak sehingga kedua orangtuanya sepakat untuk membuatkan Marien sebuah toko roti kecil yang dikelola oleh mereka bertiga. Toko itu selalu sepi di jam-jam makan siang seperti ini, namun akan selalu dipenuhi orang-orang pada pagi dan sore hari. Biasanya, aku bertugas di bagian membuat adonan karena aku tidak bisa mengoperasikan mesin kasir.
Ah, seandainya saja aku bisa membuat roti biji poppy. Aku ingat Marien selalu menyukainya. Ia juga suka sekali memakai selai bunga mawar di dalam roti poppy-nya. Aku suka baunya, tapi tidak dengan rasanya—terlalu hambar untukku.
Setelah sandwich-ku selesai, tak lupa aku memanaskan air untuk membuat teh sebelum beranjak ke ruang makan di belakang toko. Marien telah menunggu di sana dengan sebuah buku bersampul biru muda di tangannya. Tanpa sadar aku tersenyum. Biru muda adalah warna kesayangan Marien. Kuletakkan nampan yang kubawa ke hadapan Marien dengan hati-hati.
“Terima kasih, Skyler,” suaranya yang lembut dan manis menyahut. Aku benar-benar menyukai caranya menyebut namaku. Aku ingat dia menamaiku demikian ketika ia sedang memandangi langit malam berbintang bertahun-tahun yang lalu. Aku mengangguk sebagai balasan, kemudian menduduki kursi di sampingnya. Entah sudah berapa lama waktu berlalu, aroma Marien tetap sama. Mawar, gardenia, lili, daun mint, chamomile, aroma tanah setelah hujan… tak ada yang berubah, Kurasa inilah yang sejak awal membuatku begitu tenang berada di dekatnya. Dulu aku benci sekali berada di dekat orang lain.
“Wah, ini enak, Skyler,” ucap Marien dengan nada terkejut. “Darimana kamu belajar memasak?” “Eh… entah…?” aku meringgis. Aku tidak pernah belajar memasak. Marien menunjukkan ekspresi keheranan. “Lalu bagaimana caranya kamu tahu rasanya akan enak?” “Kalau baunya enak, rasanya pasti enak,” cengirku. Aku tidak berbohong, kok. Itulah caraku mengetahui apa makanan itu layak dimakan atau tidak. “Yah… kurasa itu masuk akal,” Marien tertawa geli. Dia kembali asyik melahap makan siangnya, sementara aku mengagumi segala hal yang ada padanya.
Aku tahu tak seharusnya aku mencintai Marien yang usianya 4 tahun di atasku. Selalu 4 tahun di atasku. Selalu, tapi tidak akan bertahan lama. Aku tak bisa menjelaskan bagaimana bentuk cintaku pada Marien, tapi aku tahu cintaku padanya tak mirip dengan cinta kepada teman, saudara, orangtua, ataupun pasangan. Seperti cinta kepada Sang Pencipta? Kurasa juga tidak. Lagipula, aku tidak yakin aku percaya padaNya seperti orang lain di sekitarku.
Sebentar lagi, Marien akan berulang tahun yang ke-18. Aku tahu waktuku di masa ini tinggal sedikit sekali. Aku tahu, dan aku tak ingin terburu-buru. Dulu, aku selalu terlena dengan waktuku. 18 tahun adalah waktu yang sangat singkat ketika kita menyia-nyiakannya begitu saja. Dulu, 18 tahun adalah waktu yang amat panjang bagiku sehingga aku menyia-nyiakannya. Kali ini, aku janji akan menikmati setiap detiknya dengan hati-hati.
“Skyler, bisa tolong mainkan sebuah lagu untukku?” suara Marien berujar lemah. Besok adalah hari ulang tahunnya, dan ia telah terbaring tak bertenaga di atas tempat tidurku. Ia bilang, ia kesepian di kamarnya. Ia bilang, kamar tua berdebu yang kutinggali ini jauh lebih nyaman daripada kamarnya yang luas, hangat, dan bersih.
Aku telah bersiap di depan pianoku. “Apa yang ingin kamu dengar kali ini?” tanyaku selembut mungkin. Aku bertekad akan melakukan apapun yang dia inginkan. Akan kupastikan ia pergi dengan perasaan disayangi dan dicintai, terutama olehku. “Apapun yang mau kamu mainkan,” jawabnya. Sesederhana itu.
Aku mulai menggerakkan jariku, mendendangkan lagu-lagu klasik yang merdu. Aku tahu Marien selalu menyukainya.
“Skyler,” panggilnya dengan suara setengah berbisik. “Apa menurutmu aku akan sembuh?”
Jariku terhenti begitu saja di udara, padahal pertanyaan itu biasa kujawab, “Tentu saja” dengan sangat luwes. Kali ini, aku malah menghampiri dan menggenggam tangannya di dadaku. “Ada apa, Marien?” kata-kata itulah yang meluncur di lidahku. Rasanya menyakitkan melihat wajah cantiknya memaksakan sebuah senyum ketika sebenarnya ia ingin menangis. “Aku… aku hanya merasa aku akan pergi dalam waktu cepat…”
Ya, Marien, kamu akan pergi besok, seperti yang telah terjadi selama ini, gumamku dalam hati.
“Aku tidak ingin meninggalkan Papa dan Mama, Skyler… aku ingin belajar tentang roti dan kue di Perancis, aku ingin tahu rasanya berlari, aku ingin merasa begitu bahagia sampai dadaku mau meledak, aku…” senyumnya perlahan memudar dari wajah cantik itu, digantikan dengan suara bergetar dan tetesan air mata.
Walau hatiku ikut terasa begitu remuk melihat orang yang kusayangi menangis, aku hanya dapat memasang wajah tegar dan senyum yang mennangkan. “Apa lagi yang kamu mau, Marien?” “…aku ingin jatuh cinta… aku ingin bertemu seseorang yang mencintaiku, menikah, membangun sebuah keluarga kecil yang hangat, dan hidup bahagia dengan keluargaku,” isakan kecil muncul di sela-sela perkataannya yang merobek segala ketenanganku.
Jatuh cinta… katanya? Menikah? Membangun keluarga? Itukah yang selama ini diinginkan Marien? Tapi aku mencintainya! Sejak ia memungut seekor kucing yang tidak berdaya di tengah hujan badai yang gelap itu, ia sudah bertemu seseorang yang begitu mencintainya!
Amarahku sudah hampir membara ketika tangan Marien tiba-tiba menyentuh wajahku dengan lembut. “Dan terutama kamu, Skyler, aku tidak ingin berpisah denganmu. Walau kamu mungkin orang asing, kamu sudah seperti keluargaku sendiri… aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya berpisah denganmu,” isakannya berganti menjadi tangisan yang begitu memilukan hati.
Pada akhirnya, aku harus berhenti. Tindakanku yang brengsek ini hanya menyiksanya. Membatasi hidupnya, membuatnya mati berkali-kali, menahannya untuk bermimpi, dan mengekangnya hanya untukku sendiri. Kukira, selama ini akulah yang menderita. Aku selalu menunggu hingga majikanku tersayang terlahir kembali, tak peduli jika aku harus menunggu selama 100 tahun sekalipun. Ya, aku harus berhenti.
Aku beranjak kembali ke piano tua itu dan menggerakkan jari-jariku, memainkan lagu kuno yang menceritakan tentang Historian. Tentang diriku.
“Historian, Historian, cukupkah liontinmu untuk memoriku?”
Kulepaskan memori yang selama ini kujaga seperti nyawaku sendiri. Memoriku dan Marien selama 1320 tahun. Memori yang diawali dengan seorang gadis cantik membawa pulang seekor anak kucing berbulu putih kusam dan bermata sebiru langit.
“Mereka seindah debu bintang, yang terbang melampaui kehidupan tanpa henti,”
Hari-hariku dengannya adalah masa terbahagia dalam hidupku. Aku dilahirkan di jalanan sehingga kelaparan bukanlah hal yang asing. Tubuhku begitu kecil, bulu-buluku tak cukup hangat untuk menghadapi musim gugur yang disertai hujan, dan aku tak punya tempat yang aman untuk berlindung. Namun Marien memberiku segalanya: makanan, air, tempat tinggal, dan kasih sayang.
“Mereka abadi namun serapuh kaca. Samar pada seorang, lekat pada yang lain,”
Marien menamaiku “Skyler” ketika ia sedang memandangi langit malam yang berbintang indah. Katanya, mataku seindah langit yang berbintang itu. Katanya, badai seburuk apapun pasti akan berlalu, dan langit yang indah akan menggantikannya.
“Mereka abadi namun lekang oleh waktu. Seperti debu bintang, angin membawa mereka lenyap tak berjejak,”
Kebahagiaanku direnggut begitu saja ketika Marien sekarat di tempat tidurnya. Kurasa wabah yang menyerang negeri itu telah sampai ke desanya, dan tak perlu waktu lama bagi Marien-ku tersayang untuk akhirnya terjangkit wabah tersebut.
“Historian, Historian, simpanlah memoriku dalam senyap. Lindungi nyawa barumu, berikan ketika aku telah kembali.”
Keengganan Marien untuk pergi mengubahku menjadi Historian. Memori kami dan sisa hidupnya setelah usia 18 tahun menjadi sumber hidupku, juga tubuh manusiaku. Aku harus mengembalikannya ketika Marien terlahir kembali 20 tahun setelahnya, namun keserakahan malah menuntunku untuk tinggal bersamanya dan membuat memori baru. Aku hidup sebagai benalu yang merampas jangka hidupnya, membatasi kehidupannya di usia 18 tahun, karena sebelumnya ia mati di usia tersebut.
Tapi kini, telah kurelakan segalanya. Memori sepanjang 1320 tahun tentang diriku dan Marien yang sangat indah. Memori yang kurasa hanya menceritakan rasa cintaku padanya.
Marien terlelap, mungkin memimpikan kehidupan-kehidupan lamanya denganku. Aku tersenyum dan melompat turun dari kursi piano yang kini terlihat sangat besar. Susah payah kupanjat pinggiran ranjangku yang ternyata cukup tinggi. Aku bergelung di sampingnya. Rasanya nyaman sekali. Perlahan kututup mataku, bersiap untuk tidur setelah menjalani hidup yang sangat, sangat panjang untuk seekor kucing liar.
“Selamat tinggal, Marien-ku sayang,” bisikku, tak ingin membangunkannya. “Aku mencintaimu. Bahkan jika keegoisanku berlangsung selama 1000 tahun lagi, kujalani itu karena aku mencintaimu. Tapi untuk sekarang, hiduplah, jika itu membuatmu lebih bahagia.”
Kuharap, ketika Marien bangun nanti, ia bisa melihatku dan membelaiku lagi. Tapi tentu saja aku tahu itu mustahil. Kuharap setidaknya ia sempat melihat serpihanku yang berkilau ditimpa cahaya bulan, sebelum angin membawaku pergi.
Cerpen Karangan: Charissa. E Blog / Facebook: Choco Caramella Reminder for everyone who read this: “You are loved, you are perfect, you are precious, and you are important. Be proud of who you are, because you are YOU ;)” -Charissa E.