“Mentari karena kamu terlambat, sekarang juga kamu keluar dari kelas saya.” Gadis yang baru saja dibentak di depan kelas itu tertunduk. Merasa bersalah sekaligus juga malu. Perlahan mengangguk menuruti titah sang guru. Gadis tersebut -Mentari- terduduk lesu. Pandangannya murung. “Padahal gue cuman terlambat 20 menit.”
Bosan dengan aktivitasnya sekarang, Mentari hendak beranjak dari tempatnya. Hingga saat ia melangkah netranya menatap seseorang yang menarik perhatian. Mentari tidak pernah melepaskan pandangannya dari laki-laki yang terus berjalan dengan buku di tangannya. “Siapa dia?” Walaupun ia tidak yakin laki-laki tersebut siapa, tapi melihat seragam yang sama dengannya, Mentari memilih mengikuti laki-laki tersebut.
“Kemana dia? Ck, gue kehilangan jejak,” keluh Mentari. Padahal baru saja ia punya kegiatan selain terduduk di depan kelas. Mentari memutar kembali langkah menuju kelasnya.
Duk! “M-maaf, gak sengaja. Sekali lagi maaf banget, gak sengaja sumpah.” mohon Mentari, ia menundukkan pandangannya takut-takut kalau orang dihadapannya akan membalas. Tapi, orang dihadapan Mentari sama sekali tidak mengeluarkan suara. Mentari yang bingung pun mendongak. Terkejut, tentu saja, laki-laki yang ia tabrak ialah laki-laki yang ia ikuti tadi.
Beberapa saat Mentari terdiam. Menatap kagum dihadapannya, sosok lelaki tampan yang tidak pernah ia temui selama di Sekolah. Jika kalian percaya cinta pandangan pertama, maka Mentari akan menjawabnya percaya. Karena saat ini, ia tengah merasakannya.
“MENTARI BANGUN! DASAR KEBO! BANGUN NGGAK HAH?!” Mentari membuka matanya terkejut. Menatap sekeliling kamarnya bingung. Bukankah tadi ia bertemu dengan sosok lelaki tampan. “Sayangnya mimpi,” gumamnya.
Seorang wanita paruh baya menoyor kepala Mentari pelan. “Mimpi mimpi, cepetan bangun. Kamu gak ke sekolah?” “Sekolah?”
“Sialan, beneran kesiangan kan. Padahal tadi cuman mimpi.” Mentari terus berlari di sepanjang koridor. Berharap bahwa mimpinya tidak terulang jadi kenyataan. Rasanya nyawa Mentari seakan hilang ketika melihat kelas sudah mulai belajar. Dengan takut ia membuka pintu. Tersenyum seperti orang bodoh. “Maaf, Pak, saya terlambat.” Pak guru dengan tatapan tajamnya menatap Mentari dari atas sampai bawah. “Kenapa baru datang? 20 menit kelas sudah berlalu, dan kamu dengan mudahnya baru datang?” “Maaf, Pak.” Mentari menunduk menghindari tatapan Pak guru. “Mentari karena kamu terlambat, sekarang juga kamu keluar dari kelas saya.” Mentari yang mendengar kata tersebut terkejut. Sebentar, kalimat tadi seperti tidak asing di telinganya. Mimpi? Dengan gugup Mentari menelan ludahnya. Sadar bahwa ia menjadi pusat perhatian perlahan Mentari menuruti perintah Pak guru.
Terduduk di depan kelasnya. Kembali merenung mengingat alur mimpinya. “Benar! Ini pasti mimpi yang jadi kenyataan. Wahhh, hebat, baru kali ini gue dapet mimpi yang jadi kenyataan.” Mentari bersorak pelan. Merasa bangga pada dirinya. Mimpi menjadi sebuah kenyataan itu hebat bukan? Mentari tidak berhenti untuk tersenyum.
“Bentar, berarti… ” Mentari menutup mulutnya. Dengan gemas ia menghentakkan kakinya. “Pangeran tampan gue akan datang dong.” Mentari teriak tertahan. Kepalang bahagia, ia akan bertemu dengan pangeran tampannya. “Gue kali ini harus bersiap-siap.” Dengan sigap ia merapihkan penampilannya. Duduknya ia rubah dengan anggun, seperti putri kerajaan.
Setengah jam berlalu. Tapi, sosok lelaki tampan tersebut tidak memunculkan batang hidungnya. Mentari hendak menyerah, tapi ia urungkan karena ia yakin pangeran tampan itu pasti datang. “Ayolah datang.”
Satu jam berlalu. Mentari menatap kosong. Tidak ada siapa-siapa. Sepertinya mimpinya memang hanya sebuah bunga tidur saja.
—
“Makanya lo tuh nyari pasangan biar gak ngenes kayak sekarang.” Mentari menguap lebar mendengar temannya yang terus berbicara tentang pasangan. Mentari memang jomblo. Tapi, mencari laki-laki buat jadi pacarnya sungguh membosankan. Entah kenapa seleranya jadi tinggi. Gara-gara sebulan yang lalu ia memimpikan laki-laki tampan dari negeri dongeng, Mentari jadi berharap ia bertemu dengannya. Jika ditanya Mentari sudah melupakan pangeran tampannya apa belum, jawabannya mudah, ia belum melupakannya.
“Kebanyakan nonton drakor sih, jadi pengennya pacar lo kayak oppa-oppa korea kan?” “Ck,” decak Mentari menatap temannya. “Tau aja lo.”
Mentari mencari buku belajar di laci meja. Tangannya meraba sesuatu yang asing. “Apaan nih?” Bunga? Di laci meja belajarnya? Yang benar saja.
“Wah wah, ternyata ini yang lo rahasiakan dari gue. Lo udah punya pacar ya? Backstreet?” Mentari berdecak. “Apaan? Jangan ngaco deh lo.” “Terus ini dari siapa? Oh atau jangan-jangan lo punya secret admirer? Gila gak nyangka gue. Teman gue ternyata ada yang naksir.” Mentari tidak menanggapi ocehan dari temannya itu, yang ia pikiran siapa yang menaruh satu tangkai bunga di laci mejanya? Nyatanya itu bukan sekalinya ia mendapat bunga karena hari-hari berikutnya bunga dengan varian berbeda selalu ada di laci Mentari. Namun hari ini ada yang berbeda dengan yang sebelumnya. Terdapat bunga serta surat di laci mejanya.
Aku tau kamu selalu mengambil bunganya kan? Gimana kabarnya hari ini? Semoga cerah, secerah senyuman yang kamu tunjukkan. Maaf aku belum bisa menciptakan senyuman itu.
Teruntuk Mentari F
Mentari menatap surat itu. Membolak-balikan kertas tersebut, mungkin saja orang yang mengirimnya menyelipkan foto pengirimnya. Nyatanya nihil.
Selama hidupnya Mentari tidak pernah mendapatkan hadiah dari seseorang secara diam-diam. Ia merasa tidak secantik itu untuk mendapat penggemar rahasia. Tapi, jika boleh jujur Mentari tertarik dengan orang itu, caranya itu misterius.
—
“Coba aja dulu. Gue yakin pasti lo tertarik.” Laras- teman Mentari yang dikenal cerewet itu terus membujuk Mentari. “Nggak. Apaan sih? Setidak lakunya gue sampai lo jodoh-jodohin gue? Please lah, Ras, gue bisa kok cari cowok yang pantes buat gue sendiri.” “Siapa? Si secret admirer lo itu? Cihhh, cowok yang kayak gitu tuh yang pengecut.” Perkataan Laras membuat Mentari hanya memutar bola matanya malas. “Sekali aja, ya? Gue yakin lo pasti tertarik. Dia anak basket loh, gak mungkin lo nolak kan?”
Akhirnya Mentari memang dekat dengan si anak basket. Namanya Andra, lelaki tampan yang seringkali membuat perempuan cengo melihatnya. Selama dekat dengan Andra Mentari tidak terlalu membuka laci mejanya. Terlupakan. Mentari mengira tidak akan ada lagi setangkai bunga di lacinya.
“Nanti gue jemput deh.” Andra duduk di sebelah Mentari. Ia baru saja selesai latihan basket. Mentari menyodorkan sebotol minuman pada Andra. “Gak usah. Lagian gue bisa bareng Laras.” tolak Mentari. “Serius? Hmm?” goda Andra dengan senyum meledek, membuat Mentari sebal. “Soalnya Laras bilang dia mau sama cowoknya.” Mentari terkejut. “Serius?!” tanya Mentari dengan wajah terkejutnya yang dibalas anggukan oleh Andra. “Kenapa sih? Gamau bareng sama gue?” tanya Andra kembali. “Bukan gitu,” Mentari merengut sebal. Andra terkekeh. “Gemes banget sih.” Andra mencubit pelan pipi Mentari. Jelas hal tersebut membuat Mentari malu sekaligus gugup.
Hari demi hari Andra dan Mentari semakin dekat. Mentari saja tidak menyangka akan dekat dengan seorang yang bernama Andra ini.
“Danaunya bagus, Ndra.” Mentari berbinar melihat pemandangan di depannya. “Pasti dong.” “Kamu tau dimana tempat ini?” Mentari menatap Andra yang kini sama menatap balik Mentari. “Waktu itu aku bosan, eh ketemu danau ini. Cuman kebetulan, tapi beberapa kali aku selalu datang kesini untuk menenangkan pikiran.” jelas Andra. Mentari takjub dengan pandangan didepannya. Terlalu exited sampai-sampai ia lupa bahwa ia disini bersama Andra.
“Seneng banget sih liatnya,” ucap Andra sembari mengacak-acak kecil rambut Mentari. Mentaru terkekeh. “Banget. Entah kenapa perasaan aku senang aja gitu disini, hehe.” “Kamu bakalan seneng nggak kalo aku bilang aku cinta kamu?” Mentari membeku. “Hah? Maksud kamu?” tanya Mentari bingung. Andra tersenyum lembut. “Aku cinta kamu, Mentari.” Tangannya meraih tangan Mentari, menggenggamnya erat.
Hening beberapa saat. Mentari tersenyum lebar. “Aku juga.” Andra terkekeh sebelum akhirnya ia meraih Mentari dalam pelukannya. “Makasih, telah jadi Mentari-ku.”
Pagi sekali Mentari datang ke sekolah. Entah kenapa, mungkin saja setannya sedang hilang sekarang. “Yah, kepagian.” Mentari menidurkan kepalanya di meja. Menatap kosong kedepan. Tersentak, Mentari mengangkat kepalanya. Merasa ia mengingat sesuatu.
Bunga. Ia lupa dengan bunga yang selalu dikirim orang misterius itu. Dengan sigap Mentari meraih satu persatu bunga yang sudah layu dan beberapa yang masih terlihat segar. Surat tersebut satu-persatu Mentari baca. Hingga tepat surat yang terakhir yang ia yakini baru kemarin diletakkan di lacinya.
Apakabar? Semoga baik-baik aja. Kamu bahagia sekarang? Kalo iya, aku juga akan bahagia. Aku tau kamu lupa sama barang-barang yang aku kasih belakangan ini. Gak pa-pa. Aku hanya mau bilang, kalo kamu memang memilih dia, aku akan mundur.
Teruntuk Mentari F
Hati Mentari mencelos, membaca surat-surat tadi membuat hatinya tersentil. Mentari tidak tahu siapa itu. Yang Mentari tahu, mungkin itu hanya orang iseng yang ingin menjaili Mentari selama ini. Nyatanya orang misterius tersebut masih mengirimnya.
Brak! Mentari terjengit ditempatnya. “Siapa disana?” Mentari menelan ludahnya susah payah. Di kelas hanya dirinya seorang, ia merasa was-was kalau tiba-tiba sosok menakutkan muncul di hadapannya.
Dengan langkah gentar, Mentari melangkah menuju suara tadi berasal. “Jangan bercanda, ini sama sekali gak lucu.”
Mentari terus menuju asal suara tadi. Kakinya tersendat-sendat.
Meoww~ Mentari menghela napas lega. Hanya seekor kucing. “Ya ampun, kamu ternyata.” Mentari jongkok untuk meraih kucing yang membuatnya takut tadi. Namun kucing itu langsung berlari menjauh dari Mentari.
“Ehh, malah lari.” Mentari kembali bangkit. Menatap bangkunya. Tepat, disana sebuah bunga dan surat tergeletak di atas mejanya, berbeda dengan yang sebelumnya. “K-kapan? Sejak kapan seseorang masuk?” Mentari menoleh sekitarnya. Mencari sosok misterius tersebut. Siluet orang pun terlihat di pandangan Mentari. Hilang. Orang misterius itu hilang dengan cepat. “Sialan. Padahal gue mau tau siapa dia, ” gerutu Mentari.
Cerpen Karangan: Suci Azizah Blog / Facebook: Succi Azizah